Selasa, 12 Maret 2019

Studi Amsal 21:9


By Fergie Lourency Baweleng STh  (050538)
“STUDI AMSAL 21:9 ”
PENDAHULUAN
            Lebih baik duduk di atas sudut atap rumah daripada bersatu/bersama di rumah dengan wanita yang suka bertengkar. Sekilas amsal pendek ini seakan-akan ingin menunjukkan kepada kita sikap pesimis dari seorang laki-laki terhadap hubungannya dengan seorang perempuan (suami-istri). Perempuan yang suka bertengkar dan pemarah membuatnya tidak tenang, gelisah, bahkan mungkin kecewa sehingga baginya lebih baik tinggal di atas sudut atap rumah. Mungkin orang akan bertanya apakah masih perlu hidup dengan perempuan semacam ini. Apakah tidak ada solusi lagi untuk mengatasi hal ini, terutama bagi mereka yang telah masuk dalam pernikahan kudus? Atau mungkin amsal ini adalah sebuah bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan? Karena sangat mungkin seorang laki-laki bisa memiliki sifat pemarah dan suka bertengkar. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan ada gambaran jawabannya apabila kita meneliti dan mengambil pesan apa yang ingin disampaikan penulis amsal ini kepada kita.
TAFSIRAN
Terjemahan bebas
` `rb,x'( tybeîW ~ynI©y"d>mi÷ tv,aeîme gG"+-tN:Pi-l[; tb,v,îl' bAjª
 Lebih baik duduk di atas sudut atap rumah daripada bersatu/bersama di rumah dengan wanita yang suka bertengkar.
Struktur dan Bentuk
            Amsal ini termasuk dalam bagian kedua dari kitab amsal secara keseluruhan, yaitu amsal-amsal pendek atau amsal yang lebih spesifik. Dari segi bentuknya, amsal ini merupakan bentuk paralelisme ‘lebih baik…..dari pada…..’ Dalam bahasa Ibrani, bentuk amsal ini dimulai dengan kata yang berarti ‘lebih baik’. Di sini kita dapat memperhatikan bahwa bentuk paralelisme ‘lebih baik…dari pada….’ Hendak menampilkan nilai relative dari dua hal. Hal-hal yang diperbandingkan adalah kepemilikan materil dengan kualitas relasi[1].  
Tafsiran
            Sebelum kita membahas baris pertama amsal ini, terlebih dahulu kita melihat siapakah sosok wanita yang dimaksudkan dalam baris kedua. Daripada bersatu/bersama di rumah dengan wanita yang suka bertengkar. Wanita yang dimaksudkan di sini adalah wanita yang sudah menikah (eset), karena ia tinggal dengan seorang laki-laki yang telah menjadi suaminya. Idealnya seorang istri yang telah tinggal dengan suaminya harus juga tinggal dalam rumah yang penuh persahabatan/harmoni[2]. Namun yang terjadi menurut amsal ini, wanita sering bertengkar atau membuat cekcok dengan suaminya. Menurut Derek Kidner wanita ini disebut dengan wanita yang cerewet[3], jadi mungkin digambarkan atau dinyatakan dengan kata-kata lewat bibirnya. Berbeda dengan tokoh-tokoh ini, dengan menghindari diskriminasi atau pendeskreditan terhadap kaum wanita, W. Harris menyatakan bahwa wanita ini digambarkan dengan temperamen yang tidak stabil/normal (ill-temper). Temperamen inilah yang menguasainya, sehingga ia selalu cerewet dan muram. Temperamen ini tidak dibuat-buat atau direncanakan terlebih dahulu, tetapi muncul secara spontan. Jadi menurut Harris sikap wanita ini bukan seperti badai yang penuh nafsu[4].  
            Apakah adalah sebuah penderitaan besar bagi seorang suami apabila dengan tiba-tiba istrinya mencercanya dengan teriakan keras, atau dalam peristiwa tertentu istrinya juga memarahinya dengan tiba-tiba, memarahi anak-anak dan juga pembantunya? Menurut Matthew Henry sikap ini bukan saja membuat suami ini menderita secara batin tetapi juga menjengkelkan seluruh jiwa dan pikirannya. Mengapa demikian? Karena kemungkinan besar situasi yang dibuat istrinya akan mengganggu pekerjaannya, mencoreng integritasnya di dalam keluarga maupun di masyarakat. Kemungkinan besar amsal ini dituliskan berdasarkan pengalaman penulis yang adalah seorang terkenal di mata masyarakat dan bangsanya. Ia memiliki rumah yang luas dan megah. Memiliki pembantu yang banyak, dan kerabat yang terhormat. Temperamen istrinya yang menjengkelkan ini akan mempengaruhi hubungannya dengan teman atau rekan-rekannya yang akan bertamu ke rumahnya.  Kesenangan dan persahabatan yang didambakan di dalam keluarga dan relasi sang suami dengan masyarakat serta teman-temannya tidak akan didapat lagi. Ia hanya akan merasa malu dan menderita batin dengan situasi istrinya ini[5]. Bagi penulis kondisi hati yang luka dan kecewa, rasa malu yang mendalam serta hati yang penuh kejengkelan dari laki-laki atau sang suami adalah wajar sebagai seorang manusia.
            Dengan melihat wanita dan sifat serta perilakunya ini apakah seorang laki-laki atau suami harus meninggalkannya atau menceraikannya? Amsal ini memberikan jawaban yang menakjubkan bagi kita. Sang suami atau laki-laki ini memiliki hikmat untuk menyelesaikan masalah ini. Ia tidak menceraikan istrinya, karena yang melebihi penderitaan dan kejengkelannya adalah kasih sayang terhadap istrinya. Juga karena ia menjaga kekudusan dalam sebuah pernikahan dan rumah tangga. Hikmatnya ini diejawantahkan lewat pilihan sikap berdiam diri di atap/sotoh rumahnya ‘lebih baik tinggal di atas sudut atap rumah?  Menurut amsal, suami atau laki-laki ini tetap tinggal atau hidup dengan istrinya, oleh karena itu ia harus memberi jalan keluar terhadap masalah istrinya ini. Atap rumah adalah tempatnya untuk menyendiri dan menenangkan batinnya. Atap rumah sebenarnya bukan sebuah tempat yang selalu menyenangkan. Di atap rumah panas matahari sangat terasa kalau siang hari. Dan kalau hujan serta badai datang siapapun yang berdiam diri di atap rumah akan basah kuyup dan terhempas jatuh. Kalau tengah malam angin yang berhembus di atap rumah sangat dingin dan bisa menyebabkan orang jatuh sakit. Tetapi masih  ada hal-hal yang menyenangkan untuk beristirahat di sudut atap rumah. Hujan tidak selalu turun, badai tidak selalu menghempas; matahari masih bisa memberikan sebuah kesejukan dari sinarnya, angin malam masih bisa menghembuskan kesejukan refresing[6]. Situasi di sudut atap rumah ini dibandingkan dengan wanita atau istri yang terus menerus bertengkar, maka sang suami memilih lebih baik duduk di sudut atap rumah. Karena mungkin di sudut atap rumah yang rawan badai dan hujan sekalipun masih bisa memberikan kesejukan dan ketenangan sewaktu-waktu. Sedangkan istri yang terus-menerus bertemperamen tinggi dan suka bertengkar mungkin jarang untuk memberikan suasana damai di rumah, terutama dalam relasinya dengan sang suami. Sungguh sebuah sarkasme yang keras[7] dari amsal ini.   

KESIMPULAN
Dari hasil tafsiran di atas dapat penulis simpulkan beberapa hal, antara lain :
1.      Pertengkaran pasti selalu ada dalam setiap rumah tangga. Baik itu yang ditimbulkan oleh suami, istri, anak maupun sanak keluarga. Namun dalam amsal ini wanitalah yang digambarkan suka bertengkar sehingga membuat suami dan orang-orang di sekitarnya merasa jenuh bahkan menderita. Kalau kita perhatikan ini bukan sebuah pendeskreditan terhadap kaum perempuan. Karena mungkin yang dilihat dan dialami laki suka bertengkar, karena ia pun manusia yang punya kelemahan dan potensi untuk marah atau bertengkar. Mungkin juga kita perlu untuk melihat konteks budaya Yahudi yang sangat memberikan dominansi kaum laki-laki di segala bidang. Oleh karena itu memang mungkin kurang etis secara budaya kalau laki-laki yang dikatakan suka bertengkar.

2.      Penulis tidak melakukan sebuah penelitian psikologis untuk melihat potensi tertinggi dalam hal bertengkar dan marah antara laki-laki dan perempuan. Tetapi berdasarkan pengalaman, seperti yang dialami penulis amsal ini, memang perempuan yang sering bertengkar/cerewet. Tapi kebanyakan cerewetnya itu pun karena ulah suami atau ada sebuah masalah keluarga. Oleh karena itu, memang sebagai suami harus memberi jalan keluar dan pengertian, mungkin tidak harus tinggal di sudut atap rumah tetapi melakukan tindakan lain yang meredam suasana menjadi kondusif.

3.      Satu hal yang perlu kita ingat bahwa apabila ada pertengkaran antara suami-istri, tidak harus sang suami atau istri harus saling meninggalkan, tetapi mencari solusi untuk damai. Karena ada sebuah ikatan perkawinan yang kudus antara keduanya. Ini harus ada tanggung jawab pemeliharaan kekudusan sebuah pernikahan karena akan berhubungan dengan pertanggunggjawaban kepada Allah.


4.      Kalau ada istri atau suami yang suka bertengkar, munculkanlah cinta dan kasih sayang dari hati. Karena inilah obat yang paling mujarab untuk meredam sebuah pertengkaran.

5.      Sikap suka bertengkar mungkin sebuah masalah ill-temperamen (psikologis) oleh karena itu bukan tidak mungkin untuk dirubah. Jadi, untuk merubahnya harus ada dukungan dari pasangannya.
RELEVANSI
            Dari studi amsal ini dapat kita relevansikan nilai-nilai atau pesan etis dan hikmat bagi kehidupan gereja masa kini. Misalnya :
1.      Ada banyak perceraian ataupun pisah ranjang di keluarga-keluarga Kristen saat ini. Salah satu pemicunya adalah masalah suka bertengkar. Bertengkar karena kebiasaan atau habit, juga karena cemburu, iri hati, dendam dan lain sebagainya. Dan biasanya alasan para suami yang menceraikan istrinya adalah karena istrinya suka bertengkar/cerewet. Para suami tidak harus langsung mengambil sikap seperti ini, tetapi harus menjadi bijak dan juru damai. Istripun harus berbenah dan belajar seperti sudut atap rumah dan suasananya yang tidak selalu buruk, tetapi juga memberikan kesejukan dan ketenangan. Hingga akhirnya benar-benar menjadi istana yang damai dan harmonis.

2.      Amsal ini juga bisa bernilai pengajaran bagi kaum muda yang belum menikah atau mendapat tambatan hatinya. Bagi kaum muda, mereka harus benar-benar dan bijaksana dalam memilih pasangan hidupnya. Caranya adalah semasa pacaran sikap keterbukaan dari masing-masing harus ada. Masa pengenalan atau penjajakan harus dilalui oleh mereka dengan baik. Setiap karakter, sikap, bahkan kelemahan-kelemahan harus sudah dikenal semasa pacaran.

KEPUSTAKAAN
Delitzsch, Franz.,  Biblical Commentary on the Proverbs of Solomon Vol.II, Michigan : WM. B. Eerdmans Publishing Company, no date
Harris, W., The Preacher’s Complete Homiletic : Commentary on the Book of the Proverbs, Michigan : Baker Book House, Grand Rapids, 1980
Henry, Matthew., Commentary of Proverb, Bible Works 7.
Kidner, Derek., The Tyndale Old Testament Commentaries : Proverbs : an Introduction & Commentary, Leicester : Inter-Varsity Press, 1964
Longman III, Tremper., Hikmat dan Hidup Sukses, terj. James C. Pantou, Jakarta : PPA, 2007
https://youtu.be/518Gvhaoh20https://youtu.be/518Gvhaoh20


[1]  Tremper Longman III, Hikmat dan Hidup Sukses, terj. James C. Pantou, (Jakarta : PPA, 2007), hal. 47
[2]  Franz Delitzsch, Biblical Commentary on the Proverbs of Solomon Vol.II, (Michigan : WM. B. Eerdmans Publishing Company, no date ), hal. 69
[3]  Derek Kidner, The Tyndale Old Testament Commentaries : Proverbs : an Introduction & Commentary, (Leicester : Inter-Varsity Press, 1964), hal. 142.
[4]  W. Harris, The Preacher’s Complete Homiletic : Commentary on the Book of the Proverbs, (Michigan : Baker Book House, Grand Rapids, 1980),  hal. 613
[5]  Matthew Henry, Commentary of Proverb, Bible Works 7.
[6]  W. Harris., loc.cit., hal. 613
[7]  Tremper Longman III, op.cit., hal. 184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar