Selasa, 12 Maret 2019

Study Amsal 17:27-28


             Oleh            Fergie Lourency Baweleng
 “STUDI AMSAL 17:27-28”
PENDAHULUAN
            Sering dalam kehidupan komunitas, entah itu formal maupun non-formal kita sering temukan ada komunikasi dalam bentuk seminar,  studi interaktif, debat, rapat, diskusi, belajar-mengajar, canda, obrolan, celoteh, gosip dan lain sebaginya. Tidak jarang juga kita menemukan ada seni orang berbicara, misalnya bicaranya lantang, tegas, tenang, jelas, benar, argumentative, asal bunyi (asbun), tidak jelas, bahkan sama sekali tidak bicara atau diam. Dinamika atau fenomena ini membuat kita akan berpikir dan menilai diri kita maupun orang lain. Penilaian ini pun bermacam-macam, kadang-kadang benar, kadang-kadang tidak tepat. Fenomena ini bukan baru terjadi pada komunitas kita sekarang. Rupanya fenomena ini dialami juga oleh komunitas dulu, khususnya di komunitas guru hikmat atau penulis-penulis Amsal dan muridnya atau orang-orang di sekelilingnya.
            Bagaimana fenomena ini bisa terjadi dan apa penilaian atau pendapat guru hikmat atau penulis Amsal? Studi Amsal 17:27-28 dalam paper ini diharapkan memberikan gambaran atau pun wawasan dalam menilai fenomena ini. Mengapa Amsal? Karena dalam kitab Amsal terdapat nilai-nilai etis-religius juga theologis-religius yang berkaitan dengan fenomena kita ini.  Juga ada nilai-nilai hikmat/kebijaksanaan yang mendominasi kitab Amsal ini. Dalam segi historis pun kitab Amsal yang termasuk dalam kumpulan sastera hikmat memiliki nilai signifikan dalam kehidupan umat Israel dan negara-negara di Dunia Timur Tengah Kuno. Karena dalam Dunia Timur Tengah kuno hikmat adalah bagian dari kehidupan rohani dan kebudayaan yang sangat dihargai. Walaupun kita harus membedakan hikmat di Israel dan negara-negara lain, yaitu Hikmat di Israel Allah selalu berada di pusat pemikiran[1].
TAFSIRAN
Terjemahan bebas
Ayat 27
`hn")WbT. vyaiä x:WrªÎ÷-rq;y>п-rq;w>À t[;D"_ [;dEäAy wyr"m'a]â %fEåAx
Orang yang telah mengerti pengetahuan mengendalikan perkataan-perkataannya,
Orang yang berpengertian berpikiran dingin/tenang

Ayat 28

`!Ab)n" wyt'äp'f. ~jeÞao bve_x'yE ~k'äx' vyrIx]m;â lywIåa/ ~G:Ü
Juga benar orang bodoh akan dipikir bijak apabila diam, dan cepat mengerti apabila menutup bibir/mulutnya.

Dalam terjemahan ini tidak ada masalah yang rumit, hanya kalau dilihat dalam teks asli Ibrani, pada ayat 27, bentuk yr"m'aadalah bentuk jamak (lengkapnya kata benda maskulin jamak konstruk, dengan tambahan sufiks orang ketiga tunggal)  yang berarti ‘perkataan-perkataannya-nya’. Ini menunjukkan bahwa orang berhikmat atau orang yang mengetahui pengetahuan tidak hanya berkata sekali tetapi sering. Mungkin ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemimpin, guru dan lain sebagainya (cat. Dalam LAI diterjemahkan dalam bentuk tunggal). Oleh karena itu saya hanya ingin menegaskan bahwa orang yang mengetahui hikmat adalah bisa seorang guru ataupun pemuka. Bagian lain yang perlu diperhatikan adalah frase x:WrªÎ÷-rq;y>п-rq;w>À. Di sini ada kata sifat maskulin tunggal yang berstatus kethib untuk   rq;" dan kata sifat maskulin tunggal dalam bentuk konstruct dan berstatus qere yaitu  rq'y" Tujuan kita memperhatikan ini adalah untuk memilih dan berhati-hati dalam penafsiran. Menurut Roland E. Murphy Ketib ‘cool/dingin’ akan menjadi lebih diminati pada Qere (‘precious’ of spirit) atau nilai yang berharga dari roh/pikiran[2]. Tetapi saya berkesimpulan bahwa dua bentuk kata sifat ini tidak mempengaruhi penafsiran, karena ‘dingin/tenang’ ataupun ‘berharga’ adalah nilai/sifat baik dari orang yang berpengetahuan.

Struktur
Amsal 17:27-28 termasuk dalam bagian kedua kitab Amsal secara keseluruhan yaitu pasal 10-22 :16[3]. Di sini terdapat 375 Amsal yang pendek, dan yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Yang penting di sini ialah pengalaman orang yang bijaksana, yang saleh ataupun yang fasik[4]. Dalam pembagian struktur pasal 17, ayat 27 dan 28 ada dalam jenis Amsal (perbandingan) orang bijak/berhikmat dan orang bodoh[5]. Perbandingan ini bisa dikatakan bersifat paralelisme hal-hal yang berlawanan[6]. Atau semacam antithesis di antara keduanya[7].
Tafsiran
Ayat 27 : Pada ayat ini dapat kita lihat pengajaran dari guru hikmat yang mengajarkan beberapa ciri dan cara seseorang menunjukkan dirinya adalah seorang yang bijak (berhikmat). Yaitu, melalui temperamen yang baik, keharmonisan/manis dan ketenangan dari pikirannya. Pengertian yang ada pada orang ini berasal dari roh/pikiran yang ekselent/sempurna dan pikiran yang berharga. Ia menghargainya dengan baik, menaruhnya dengan baik pula dalam framenya. Sehingga baginya hal ini adalah mudah dan menyenangkan bagi orang lain[8]. Implementasinya adalah melalui kata-kata yang ia ucapkan, yang penuh dengan keramahan. Inilah yang sangat bernilai bagi orang bijak. Pikirannya dingin/tenang, tidak kacau, tidak menimbulkan derita bagi orang lain dan nafsu yang menimbulkan keributan; sebaliknya ditegaskan kembali bahwa ia hanya memiliki pikiran atau kepala yang dingin, tetapi juga dengan hati yang hangat. Bagi Matthew Henry inilah sebuah komposisi orang yang mengerti akan pengetahuan, yang layak untuk diberikan respek[9].  Menurut Tremper Longman III, dalam kitab Amsal, khususnya bagi orang berhikmat, kata-kata mampu mendatangkan kehidupan ataupun kematian; kata-kata jelas bukan sesuatu yang tidak berbahaya; kata-kata memiliki posisi kritis sebagaimana yang ditunjukan oleh sejumlah besar amsal. Lagipula kitab Amsal adalah kitab yang memberikan nasehat mengenai bagaimana mengarungi kehidupan secara sukses, dan nasehat-nasehat itu mengambil bentuk perkataan, baik secara tertulis maupun secara lisan. Bagi orang berhikmat di Israel, baik wanita maupun pria kata-kata mencerminkan kondisi hati (lih. Am.12:23; 16:23; 18:4; 10:20; 26:23). Kata-kata orang berhikmat pun sangat berkaitan dengan realitas eksternal atau komunitas, sedangkan kebalikannya kata-kata orang bodoh menyimpangkan hubungan antara pikiran dan dunia nyata. Kata-kata orang berhikmat menghindari kebohongan, pertengkaran, hinaan/umpatan, gosip, bujuk rayu dan lain sebagainya[10]. Orang berhikmat tahu betul bahwa setiap kata-kata yang ia ucapkan memilki konsekwensi logis yaitu apakah membangun atau memberi kontribusi bagi orang lain atau justru menghancurkan. Inilah yang dipertimbangkannya dengan hati-hati/seksama ketika ia ingin bicara. Mungkin ia akan berpikir, merencanakan, serta memilih kata-kata dan siap menerima konsekwensi. Dari sini bisa saya simpulkan bahwa ketika orang berhikmat mengendalikan kata-katanya dengan pikiran yang tenang maka yang ada ialah respek dan cinta kasih dari komunitas atau muridnya.
Ayat 28 : Sikap orang bijak atau berpengetahuan di atas mungkin salah dimengerti oleh orang lain. Sehingga dengan rasa takut salah, takut dicemoh dan takut ditertawakan mereka memilih untuk berdiam diri dan menutup bibirnya/tidak bicara. Juga akan dianggap orang lain mereka telah mengerti atau bijak. Menurut Mathew Henry bukan hanya diam yang dianggap bodoh tetapi yang berkata sedikit dan tidak bermakna. Mereka dianggap bijak karena diamnya mereka seakan-akan tidak ada penyimpangan yang dibuat, ada observasi lain atau pengamatan dan analisa terhadap kata-kata orang lain atau orang yang mereka dengar. Tetapi menurut Amsal dari guru hikamat ini, Allah tahu isi hati dan rancangan mereka. Guru hikamat tahu betul orang yang diam dalam komunitas[11]. Rupanya mereka bisa saja punya rancangan yang jahat, iri hati dengki, minder dan lain sebagainya. Dari ciri orang bodoh ini akhirnya sulit untuk menemukan kesalahan mereka apabila ada penghakiman. Dalam tulisan-tulisan hikmat Mesir orang bodoh yang dimaksudkan di sini adalah ‘heated man/pengacau’. Ia digambarkan menyeupai pribadi yang diam tetapi ada kemarahan perlahan-lahan dalam dirinya. Menurut Roland Murphy hal ini benar karena orang bodoh bisanya tidak dapat mengontrol mulutnya dan mereka konsisten dalam mengucapkan kebodohan-kebodohan untuk keselamatan diri sendiri[12]. Dalam ayat ini juga kemungkinan besar seorang guru hikmat ingin agar dalam dunia pendidikan Israel, khususnya bagi murid-muridnya harus ada interaksi yang baik dan realistis. Murid-muridnya harus bisa mendengar, menganalisa, tetapi juga menanggapi dan memberi kesimpulan dalam belajar. Ini tidak berhenti pada pendidikan formal saja di kelas tetapi juga dalam komunitas sosial masyarakat, pemerintahan, keluarga maupun di lingkungan agama. Bicara dan bertanya mungkin yang diharapkan sang guru tetapi harus kembali mengingat ayat 27 (Orang yang telah mengerti pengetahuan mengendalikan perkataan-perkataannya, Orang yang berpengertian berpikiran dingin/tenang). Bukan diam dan merancangkan sesuatu yang mengacaukan orang lain dan mencari keselamatan diri sendiri.


KESIMPULAN
Berbicara tidak hanya dengan bibir tetapi juga hati, pikiran, pertimbangan, analisa, rencana, rancangan, pengertian, argumentasi dan lain sebagainya. Berbicara juga bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan sikap yang lebih hidup dan actual dalam realitas. Bicara juga bukan sekedar celoteh, diskusi, seminar, konseptual, tetapi harus praghmatis. Sebaliknya diam tidak berarti bijak, walaupun kita perlu dian pada moment-moment tertentu. Diam, menyendiri, menutup mulut, bukan berarti menyimpang dari komunitas atau realitas. Tetapi menyendiri untuk menyatakan bahwa kita tidak sendiri dan harus berinteraksi dalam komunitas. Kita adalah makhluk sosial yang punya potensi unutk bersosialisasi. Kita adalah makhluk ciptaan yang punya sense untuk berpikir, berbicara, berperasaan, menganalisa dan memberi kesimpulan. Oleh karena itu pergunakanlah sesuai dengan proporsinya dengan tujuan yang mulia, untuk membangun komunitas tetapi juga untuk memuliakan Allah. Saya percaya bahwa semua kita bisa berbicara dengan baik, bisa memberi ide cemerlang, bisa menciptakan damai dengan kata-kata dan hidup kita, bisa tenang, walaupun dengan porsi yang berbeda-beda. Mungkin karena pendidikan, status sosial dan lain sebaginyanya. Tetapi pada prinsipnya kita adalah makhluk yang berbicara dengan baik, karena telah dianugerahkan akal budi, hati, perasaan bahkan roh dari Allah sendiri. Walaupun tidak dipungkiri ada hati yang jahat, roh yang jahat dan rancangan yang jahat. Amsal ini memberikan pelajaran yang sangat relevan untuk kita, baik di lingkungan akdemik, gereja, masyarakat, bangsa maupun keluarga. Oleh karena itu saatnya kita berefleksi dan menilai diri kita. apakah kita masuk dalam golongan orang yang telah mengerti pengetahuan dan berpikiran tenang atau kita adalah kelompok orang bodoh yang hanya berdiam diri, menutup mulut, dan merencanakan sesuatu yang destruktif/menghancurkan.
RELEVANSI
Ada beberapa relevansi yang ingin saya kemukakan berkaitan dengan pesan Amsal 17:27-28, antara lain :
1.      Dalam lingkungan pendidikan: banyak sekali kita temukan metode pendidikan di Indonesia sifatnya adalah monolog atau indoktrinasi. Artinya guru bicara banyak, siswa atau murid mendengar, mencatat dan diam. Guru menyatakan ‘A’ murid mengikutinya. Kesalahannya bukan hanya ada pada murid yang diam. Tetapi juga pada metode guru yang monoton. Terkadang pun pengajarannya adalah keliru walaupun banyak yang disampaikan. Sehingga tidak jarang kalau muridnya tidak mengerti atau menjadi orang yang baik. Ini menjdi habitat yang terus menerus dibangun sehingga budaya murid Indonesia adalah diam, seakan-akan telah mengerti. Sedangkan dengan banyak bicara sang guru merasa dirinya adalah orang terpintar atau bijaksana. Oleh karena itu lewat pembelajaran Amsal ini kita diajak baik guru maupun murid untuk berkata-kata dengan baik, bebas-bertanggung jawab, berhati-hati, berargumentatif, bermakna dan membangun pengetahuan sekaligus moral murid dan guru. Adanya interaksi yang santun maka akan timbul dan berkembang komunitas yang hidup. Juga diharapkan guru tidak hanya mengajarkan sesuatu yang bersifat teoritis atau konseptual tetapi juga moral dan etika yang akan membangun murid dalam kehidupan di lingkungan yang lebih luas. Moral dan etika itu bisa dilakukan oleh guru terlebih dahulu dari pengalaman dan kehidupan sehari-harinya.

2.      Dalam kehiduapan bangsa dan negara : Sebelum era reformasi, sebagian orang, rakyat, komunitas, aktifis di bungkam oleh penguasa untuk diam dan ada juga karena tabiat atau tradisi yang selalu diam. Pada zaman reformasi sampai sekarang justru sebagian orang atau kelompok berkata-kata dengan sembarang, tidak bertanggung jawab, anarkis, reaktif, provokatif dan lain sebagainya. Sehingga yang terjadi di bangsa ini hanyalah ketidakteraturan, perselisihan, rancangan kejahatan semakin membius dan sebaginya. Mungkin kita perlu belajar dari Amsal ini.


3.      Dalam kehidupan gereja : Sering ada gereja tertentu yang tidak memberi peran kepada jemaat baik dalam memberikan ide, melakukan kegiatan-kegiatan gereja dan lain sebagainya. Yang melakukan tugas gereja hanyalah Pendeta atau Majelis gereja. Jemaat pun hanya ingin mengikuti kebaktian saja tanpa punya inisiatif untuk membangun kehidupan gereja secara bersama-sama. Oleh karena itu perlu untuk dilakukan pelayanan yang interaktif baik di lingkungan Sekolah Minggu, Pemuda maupun jemaat umum.

4.      Dalam kehidupan keluarga : Banyak orang tua yang punya beribu-ribu kata yang justru tidak mendidik anaknya dengan baik. Nasehatnya pun kosong, caranya dengan kekerasan, ada indoktrinasi, hanya tuntutan-tuntutan terhadap anak. Sebaliknya ada juga orang tua yang tidak peduli dengan memberi nasehat kepada anak-anak. Anak-anak dibiarkan mencari dan menjalani kehidupannya sendiri. Juga dari anak-anak hanya bisa menuntut haknya tanpa melakukan kewajiban, memberikan masukan kepada orang tua dan lain sebagainya. Yang memprihatinkan adalah keluarga yang tidak ada komunikasi sama sekali. Mungkin karena sibuk memikirkan makan, materi dan lain sebaginya. Keluarga yang semacam ini perlu untuk menghadirkan hikmat.

KEPUSTAKAAN

Bergant, Dianne & Robert J. Karris., Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Jogyakarta : Kanisius, 2002
Blommendaal , J., Pengantar kepada Perjanjian Lama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003
Henry,  Matthew., Commentary of Proverb, Bible Works 7.

Longman III , Tremper., Hikmat dan Hidup Sukses, terj. James C. Pantou, Jakarta : PPA, 2007
Murphy, Roland E., World Biblical Commentary : Proverbs, Nashville : Thomas Nelson Publishers, 1998


[1]  J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), hal.152, 153.
[2] Roland E. Murphy, World Biblical Commentary : Proverbs, (Nashville : Thomas Nelson Publishers, 1998), hal. 127
[3]  Op.cit., hal.154
[4]  Ibid., hal.154
[5]  Tremper Longman III, Hikmat dan Hidup Sukses, terj. James C. Pantou, (Jakarta : PPA, 2007), hal.202. bagian Nas-nas yang relevan. Bandingkan juga dengan Matthew Henry, Commentary of Proverb, Bible Works 7.
[6]  Ibid., hal.45
[7]  Roland E. Murphy., loc.cit., hal. 132.
[8]  Matthew Henry, Commentary of Proverb, Bible Works 7.
[9]  Ibid. bagian komentar.
[10] Tremper Longman III.,Loc.cit., lih. hal. 189-199.
[11]  Matthew Henry., Op.cit. bagian komentar
[12]  Roland E. Murphy., Op.cit., hal, 132. Di sini ada pemahaman amsal Latin yang tua, yang menyatakan bahwa apabila seseorang diam maka orang akan menjadikan dia seorang filsuf. Jadi bisa dikatakan pemahaman ini tidak selalu tepat, dan tidak seperti orang berhikmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar