Oleh Fergie Lourency Baweleng
“STUDI AMSAL 17:27-28”
PENDAHULUAN
Sering
dalam kehidupan komunitas, entah itu formal maupun non-formal kita sering
temukan ada komunikasi dalam bentuk seminar,
studi interaktif, debat, rapat, diskusi, belajar-mengajar, canda, obrolan,
celoteh, gosip dan lain sebaginya. Tidak jarang juga kita menemukan ada seni
orang berbicara, misalnya bicaranya lantang, tegas, tenang, jelas, benar,
argumentative, asal bunyi (asbun), tidak jelas, bahkan sama sekali tidak bicara
atau diam. Dinamika atau fenomena ini membuat kita akan berpikir dan menilai
diri kita maupun orang lain. Penilaian ini pun bermacam-macam, kadang-kadang
benar, kadang-kadang tidak tepat. Fenomena ini bukan baru terjadi pada
komunitas kita sekarang. Rupanya fenomena ini dialami juga oleh komunitas dulu,
khususnya di komunitas guru hikmat atau penulis-penulis Amsal dan muridnya atau
orang-orang di sekelilingnya.
Bagaimana fenomena ini bisa terjadi
dan apa penilaian atau pendapat guru hikmat atau penulis Amsal? Studi Amsal
17:27-28 dalam paper ini diharapkan memberikan gambaran atau pun wawasan dalam
menilai fenomena ini. Mengapa Amsal? Karena dalam kitab Amsal terdapat nilai-nilai
etis-religius juga theologis-religius yang berkaitan dengan fenomena kita ini. Juga ada nilai-nilai hikmat/kebijaksanaan yang
mendominasi kitab Amsal ini. Dalam segi historis pun kitab Amsal yang termasuk
dalam kumpulan sastera hikmat memiliki nilai signifikan dalam kehidupan umat
Israel dan negara-negara di Dunia Timur Tengah Kuno. Karena dalam Dunia Timur
Tengah kuno hikmat adalah bagian dari kehidupan rohani dan kebudayaan yang
sangat dihargai. Walaupun kita harus membedakan hikmat di Israel dan
negara-negara lain, yaitu Hikmat di Israel Allah selalu berada di pusat
pemikiran[1].
TAFSIRAN
Terjemahan bebas
Ayat 27
`hn")WbT. vyaiä
x:WrªÎ÷-rq;y>п-rq;w>À t[;D"_ [;dEäAy wyr"m'a]â %fEåAx
Orang yang telah mengerti
pengetahuan mengendalikan perkataan-perkataannya,
Orang yang berpengertian
berpikiran dingin/tenang
Ayat 28
`!Ab)n" wyt'äp'f.
~jeÞao bve_x'yE ~k'äx' vyrIx]m;â lywIåa/ ~G:Ü
Juga benar orang bodoh akan
dipikir bijak apabila diam, dan cepat mengerti apabila menutup bibir/mulutnya.
Dalam terjemahan ini tidak ada masalah yang rumit,
hanya kalau dilihat dalam teks asli Ibrani, pada ayat 27, bentuk yr"m'a]â adalah bentuk jamak (lengkapnya
kata benda maskulin jamak konstruk, dengan tambahan sufiks orang ketiga
tunggal) yang berarti ‘perkataan-perkataannya-nya’.
Ini menunjukkan bahwa orang berhikmat atau orang yang mengetahui pengetahuan
tidak hanya berkata sekali tetapi sering. Mungkin ini menunjukkan bahwa ia
adalah seorang pemimpin, guru dan lain sebagainya (cat. Dalam LAI diterjemahkan
dalam bentuk tunggal). Oleh karena itu saya hanya ingin menegaskan bahwa orang
yang mengetahui hikmat adalah bisa seorang guru ataupun pemuka. Bagian lain
yang perlu diperhatikan adalah frase x:WrªÎ÷-rq;y>п-rq;w>À. Di sini ada kata sifat maskulin tunggal yang
berstatus kethib untuk rq;" dan kata sifat maskulin tunggal
dalam bentuk konstruct dan berstatus qere yaitu rq'y" Tujuan kita memperhatikan ini adalah untuk memilih dan berhati-hati dalam
penafsiran. Menurut Roland E. Murphy Ketib ‘cool/dingin’ akan menjadi lebih
diminati pada Qere (‘precious’ of spirit) atau nilai yang berharga dari
roh/pikiran[2].
Tetapi saya berkesimpulan bahwa dua bentuk kata sifat ini tidak mempengaruhi
penafsiran, karena ‘dingin/tenang’ ataupun ‘berharga’ adalah nilai/sifat baik
dari orang yang berpengetahuan.
Struktur
Amsal 17:27-28 termasuk dalam bagian kedua kitab Amsal
secara keseluruhan yaitu pasal 10-22 :16[3].
Di sini terdapat 375 Amsal yang pendek, dan yang tidak memiliki hubungan satu
sama lain. Yang penting di sini ialah pengalaman orang yang bijaksana, yang
saleh ataupun yang fasik[4].
Dalam pembagian struktur pasal 17, ayat 27 dan 28 ada dalam jenis Amsal
(perbandingan) orang bijak/berhikmat dan orang bodoh[5].
Perbandingan ini bisa dikatakan bersifat paralelisme hal-hal yang berlawanan[6].
Atau semacam antithesis di antara keduanya[7].
Tafsiran
Ayat 27 : Pada ayat ini dapat kita lihat pengajaran dari guru
hikmat yang mengajarkan beberapa ciri dan cara seseorang menunjukkan dirinya
adalah seorang yang bijak (berhikmat). Yaitu, melalui temperamen yang baik, keharmonisan/manis
dan ketenangan dari pikirannya. Pengertian yang ada pada orang ini berasal dari
roh/pikiran yang ekselent/sempurna dan pikiran yang berharga. Ia menghargainya
dengan baik, menaruhnya dengan baik pula dalam framenya. Sehingga baginya hal
ini adalah mudah dan menyenangkan bagi orang lain[8]. Implementasinya
adalah melalui kata-kata yang ia ucapkan, yang penuh dengan keramahan. Inilah
yang sangat bernilai bagi orang bijak. Pikirannya dingin/tenang, tidak kacau, tidak
menimbulkan derita bagi orang lain dan nafsu yang menimbulkan keributan; sebaliknya
ditegaskan kembali bahwa ia hanya memiliki pikiran atau kepala yang dingin,
tetapi juga dengan hati yang hangat. Bagi Matthew Henry inilah sebuah komposisi
orang yang mengerti akan pengetahuan, yang layak untuk diberikan respek[9]. Menurut Tremper Longman III, dalam kitab
Amsal, khususnya bagi orang berhikmat, kata-kata mampu mendatangkan kehidupan
ataupun kematian; kata-kata jelas bukan sesuatu yang tidak berbahaya; kata-kata
memiliki posisi kritis sebagaimana yang ditunjukan oleh sejumlah besar amsal. Lagipula
kitab Amsal adalah kitab yang memberikan nasehat mengenai bagaimana mengarungi
kehidupan secara sukses, dan nasehat-nasehat itu mengambil bentuk perkataan,
baik secara tertulis maupun secara lisan. Bagi orang berhikmat di Israel, baik
wanita maupun pria kata-kata mencerminkan kondisi hati (lih. Am.12:23; 16:23;
18:4; 10:20; 26:23). Kata-kata orang berhikmat pun sangat berkaitan dengan
realitas eksternal atau komunitas, sedangkan kebalikannya kata-kata orang bodoh
menyimpangkan hubungan antara pikiran dan dunia nyata. Kata-kata orang
berhikmat menghindari kebohongan, pertengkaran, hinaan/umpatan, gosip, bujuk
rayu dan lain sebagainya[10]. Orang
berhikmat tahu betul bahwa setiap kata-kata yang ia ucapkan memilki konsekwensi
logis yaitu apakah membangun atau memberi kontribusi bagi orang lain atau
justru menghancurkan. Inilah yang dipertimbangkannya dengan hati-hati/seksama ketika
ia ingin bicara. Mungkin ia akan berpikir, merencanakan, serta memilih
kata-kata dan siap menerima konsekwensi. Dari sini bisa saya simpulkan bahwa
ketika orang berhikmat mengendalikan kata-katanya dengan pikiran yang tenang maka
yang ada ialah respek dan cinta kasih dari komunitas atau muridnya.
Ayat 28 : Sikap orang bijak atau berpengetahuan di atas mungkin
salah dimengerti oleh orang lain. Sehingga dengan rasa takut salah, takut
dicemoh dan takut ditertawakan mereka memilih untuk berdiam diri dan menutup
bibirnya/tidak bicara. Juga akan dianggap orang lain mereka telah mengerti atau
bijak. Menurut Mathew Henry bukan hanya diam yang dianggap bodoh tetapi yang
berkata sedikit dan tidak bermakna. Mereka dianggap bijak karena diamnya mereka
seakan-akan tidak ada penyimpangan yang dibuat, ada observasi lain atau
pengamatan dan analisa terhadap kata-kata orang lain atau orang yang mereka
dengar. Tetapi menurut Amsal dari guru hikamat ini, Allah tahu isi hati dan
rancangan mereka. Guru hikamat tahu betul orang yang diam dalam komunitas[11].
Rupanya mereka bisa saja punya rancangan yang jahat, iri hati dengki, minder
dan lain sebagainya. Dari ciri orang bodoh ini akhirnya sulit untuk menemukan
kesalahan mereka apabila ada penghakiman. Dalam tulisan-tulisan hikmat Mesir
orang bodoh yang dimaksudkan di sini adalah ‘heated man/pengacau’. Ia
digambarkan menyeupai pribadi yang diam tetapi ada kemarahan perlahan-lahan
dalam dirinya. Menurut Roland Murphy hal ini benar karena orang bodoh bisanya tidak
dapat mengontrol mulutnya dan mereka konsisten dalam mengucapkan kebodohan-kebodohan
untuk keselamatan diri sendiri[12]. Dalam
ayat ini juga kemungkinan besar seorang guru hikmat ingin agar dalam dunia
pendidikan Israel, khususnya bagi murid-muridnya harus ada interaksi yang baik
dan realistis. Murid-muridnya harus bisa mendengar, menganalisa, tetapi juga menanggapi
dan memberi kesimpulan dalam belajar. Ini tidak berhenti pada pendidikan formal
saja di kelas tetapi juga dalam komunitas sosial masyarakat, pemerintahan,
keluarga maupun di lingkungan agama. Bicara dan bertanya mungkin yang
diharapkan sang guru tetapi harus kembali mengingat ayat 27 (Orang yang telah mengerti pengetahuan mengendalikan perkataan-perkataannya,
Orang yang berpengertian berpikiran dingin/tenang). Bukan diam dan merancangkan sesuatu yang
mengacaukan orang lain dan mencari keselamatan diri sendiri.
KESIMPULAN
Berbicara
tidak hanya dengan bibir tetapi juga hati, pikiran, pertimbangan, analisa, rencana,
rancangan, pengertian, argumentasi dan lain sebagainya. Berbicara juga bukan
hanya dengan kata-kata tetapi dengan sikap yang lebih hidup dan actual dalam
realitas. Bicara juga bukan sekedar celoteh, diskusi, seminar, konseptual,
tetapi harus praghmatis. Sebaliknya diam tidak berarti bijak, walaupun kita
perlu dian pada moment-moment tertentu. Diam, menyendiri, menutup mulut, bukan
berarti menyimpang dari komunitas atau realitas. Tetapi menyendiri untuk
menyatakan bahwa kita tidak sendiri dan harus berinteraksi dalam komunitas.
Kita adalah makhluk sosial yang punya potensi unutk bersosialisasi. Kita adalah
makhluk ciptaan yang punya sense untuk berpikir, berbicara, berperasaan,
menganalisa dan memberi kesimpulan. Oleh karena itu pergunakanlah sesuai dengan
proporsinya dengan tujuan yang mulia, untuk membangun komunitas tetapi juga
untuk memuliakan Allah. Saya percaya bahwa semua kita bisa berbicara dengan
baik, bisa memberi ide cemerlang, bisa menciptakan damai dengan kata-kata dan
hidup kita, bisa tenang, walaupun dengan porsi yang berbeda-beda. Mungkin
karena pendidikan, status sosial dan lain sebaginyanya. Tetapi pada prinsipnya
kita adalah makhluk yang berbicara dengan baik, karena telah dianugerahkan akal
budi, hati, perasaan bahkan roh dari Allah sendiri. Walaupun tidak dipungkiri
ada hati yang jahat, roh yang jahat dan rancangan yang jahat. Amsal ini
memberikan pelajaran yang sangat relevan untuk kita, baik di lingkungan
akdemik, gereja, masyarakat, bangsa maupun keluarga. Oleh karena itu saatnya
kita berefleksi dan menilai diri kita. apakah kita masuk dalam golongan orang
yang telah mengerti pengetahuan dan berpikiran tenang atau kita adalah kelompok
orang bodoh yang hanya berdiam diri, menutup mulut, dan merencanakan sesuatu
yang destruktif/menghancurkan.
RELEVANSI
Ada beberapa relevansi yang ingin saya kemukakan
berkaitan dengan pesan Amsal 17:27-28, antara lain :
1.
Dalam lingkungan
pendidikan: banyak sekali kita temukan metode pendidikan di Indonesia sifatnya
adalah monolog atau indoktrinasi. Artinya guru bicara banyak, siswa atau murid
mendengar, mencatat dan diam. Guru menyatakan ‘A’ murid mengikutinya. Kesalahannya
bukan hanya ada pada murid yang diam. Tetapi juga pada metode guru yang
monoton. Terkadang pun pengajarannya adalah keliru walaupun banyak yang
disampaikan. Sehingga tidak jarang kalau muridnya tidak mengerti atau menjadi
orang yang baik. Ini menjdi habitat yang terus menerus dibangun sehingga budaya
murid Indonesia adalah diam, seakan-akan telah mengerti. Sedangkan dengan
banyak bicara sang guru merasa dirinya adalah orang terpintar atau bijaksana.
Oleh karena itu lewat pembelajaran Amsal ini kita diajak baik guru maupun murid
untuk berkata-kata dengan baik, bebas-bertanggung jawab, berhati-hati,
berargumentatif, bermakna dan membangun pengetahuan sekaligus moral murid dan
guru. Adanya interaksi yang santun maka akan timbul dan berkembang komunitas
yang hidup. Juga diharapkan guru tidak hanya mengajarkan sesuatu yang bersifat
teoritis atau konseptual tetapi juga moral dan etika yang akan membangun murid
dalam kehidupan di lingkungan yang lebih luas. Moral dan etika itu bisa
dilakukan oleh guru terlebih dahulu dari pengalaman dan kehidupan
sehari-harinya.
2.
Dalam kehiduapan
bangsa dan negara : Sebelum era reformasi, sebagian orang, rakyat, komunitas,
aktifis di bungkam oleh penguasa untuk diam dan ada juga karena tabiat atau
tradisi yang selalu diam. Pada zaman reformasi sampai sekarang justru sebagian
orang atau kelompok berkata-kata dengan sembarang, tidak bertanggung jawab,
anarkis, reaktif, provokatif dan lain sebagainya. Sehingga yang terjadi di
bangsa ini hanyalah ketidakteraturan, perselisihan, rancangan kejahatan semakin
membius dan sebaginya. Mungkin kita perlu belajar dari Amsal ini.
3.
Dalam kehidupan
gereja : Sering ada gereja tertentu yang tidak memberi peran kepada jemaat baik
dalam memberikan ide, melakukan kegiatan-kegiatan gereja dan lain sebagainya.
Yang melakukan tugas gereja hanyalah Pendeta atau Majelis gereja. Jemaat pun
hanya ingin mengikuti kebaktian saja tanpa punya inisiatif untuk membangun
kehidupan gereja secara bersama-sama. Oleh karena itu perlu untuk dilakukan
pelayanan yang interaktif baik di lingkungan Sekolah Minggu, Pemuda maupun
jemaat umum.
4.
Dalam kehidupan
keluarga : Banyak orang tua yang punya beribu-ribu kata yang justru tidak
mendidik anaknya dengan baik. Nasehatnya pun kosong, caranya dengan kekerasan,
ada indoktrinasi, hanya tuntutan-tuntutan terhadap anak. Sebaliknya ada juga
orang tua yang tidak peduli dengan memberi nasehat kepada anak-anak. Anak-anak
dibiarkan mencari dan menjalani kehidupannya sendiri. Juga dari anak-anak hanya
bisa menuntut haknya tanpa melakukan kewajiban, memberikan masukan kepada orang
tua dan lain sebagainya. Yang memprihatinkan adalah keluarga yang tidak ada
komunikasi sama sekali. Mungkin karena sibuk memikirkan makan, materi dan lain
sebaginya. Keluarga yang semacam ini perlu untuk menghadirkan hikmat.
KEPUSTAKAAN
Bergant, Dianne & Robert
J. Karris., Tafsir Alkitab Perjanjian
Lama, Jogyakarta : Kanisius, 2002
Blommendaal , J., Pengantar
kepada Perjanjian Lama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003
Henry, Matthew., Commentary
of Proverb, Bible Works 7.
Longman III , Tremper., Hikmat dan Hidup Sukses, terj. James C.
Pantou, Jakarta : PPA, 2007
Murphy, Roland E., World Biblical Commentary : Proverbs,
Nashville : Thomas Nelson Publishers, 1998
[1] J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,
2003), hal.152, 153.
[2] Roland
E. Murphy, World Biblical Commentary :
Proverbs, (Nashville : Thomas Nelson Publishers, 1998), hal. 127
[5] Tremper Longman III, Hikmat dan Hidup Sukses, terj. James C. Pantou, (Jakarta : PPA,
2007), hal.202. bagian Nas-nas yang relevan. Bandingkan juga dengan Matthew Henry, Commentary of Proverb, Bible Works 7.
[10] Tremper
Longman III.,Loc.cit., lih. hal. 189-199.
[12] Roland E. Murphy., Op.cit., hal, 132. Di sini
ada pemahaman amsal Latin yang tua, yang menyatakan bahwa apabila seseorang
diam maka orang akan menjadikan dia seorang filsuf. Jadi bisa dikatakan
pemahaman ini tidak selalu tepat, dan tidak seperti orang berhikmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar