By Fergie Lourency Baweleng STh (050538)
“STUDI AMSAL 21:9 ”
PENDAHULUAN
Lebih baik duduk di atas sudut atap rumah daripada
bersatu/bersama di rumah dengan wanita yang suka bertengkar. Sekilas amsal pendek ini seakan-akan ingin menunjukkan
kepada kita sikap pesimis dari seorang laki-laki terhadap hubungannya dengan
seorang perempuan (suami-istri). Perempuan yang suka bertengkar dan pemarah
membuatnya tidak tenang, gelisah, bahkan mungkin kecewa sehingga baginya lebih
baik tinggal di atas sudut atap rumah. Mungkin orang akan bertanya apakah masih
perlu hidup dengan perempuan semacam ini. Apakah tidak ada solusi lagi untuk
mengatasi hal ini, terutama bagi mereka yang telah masuk dalam pernikahan
kudus? Atau mungkin amsal ini adalah sebuah bentuk diskriminasi terhadap kaum
perempuan? Karena sangat mungkin seorang laki-laki bisa memiliki sifat pemarah
dan suka bertengkar. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan ada gambaran
jawabannya apabila kita meneliti dan mengambil pesan apa yang ingin disampaikan
penulis amsal ini kepada kita.
TAFSIRAN
Terjemahan bebas
`
`rb,x'( tybeîW ~ynI©y"d>mi÷ tv,aeîme gG"+-tN:Pi-l[; tb,v,îl' bAjª
Lebih baik duduk di atas sudut atap rumah
daripada bersatu/bersama di rumah dengan wanita yang suka bertengkar.
Struktur dan Bentuk
Amsal
ini termasuk dalam bagian kedua dari kitab amsal secara keseluruhan, yaitu
amsal-amsal pendek atau amsal yang lebih spesifik. Dari segi bentuknya, amsal
ini merupakan bentuk paralelisme ‘lebih baik…..dari pada…..’ Dalam bahasa
Ibrani, bentuk amsal ini dimulai dengan kata yang berarti ‘lebih baik’. Di sini
kita dapat memperhatikan bahwa bentuk paralelisme ‘lebih baik…dari pada….’ Hendak
menampilkan nilai relative dari dua hal. Hal-hal yang diperbandingkan adalah kepemilikan
materil dengan kualitas relasi[1].
Tafsiran
Sebelum
kita membahas baris pertama amsal ini, terlebih dahulu kita melihat siapakah
sosok wanita yang dimaksudkan dalam baris kedua. Daripada bersatu/bersama di rumah dengan wanita yang suka bertengkar. Wanita
yang dimaksudkan di sini adalah wanita yang sudah menikah (eset), karena ia tinggal dengan seorang laki-laki yang telah
menjadi suaminya. Idealnya seorang istri yang telah tinggal dengan suaminya
harus juga tinggal dalam rumah yang penuh persahabatan/harmoni[2].
Namun yang terjadi menurut amsal ini, wanita sering bertengkar atau membuat
cekcok dengan suaminya. Menurut Derek Kidner wanita ini disebut dengan wanita
yang cerewet[3],
jadi mungkin digambarkan atau dinyatakan dengan kata-kata lewat bibirnya. Berbeda
dengan tokoh-tokoh ini, dengan menghindari diskriminasi atau pendeskreditan
terhadap kaum wanita, W. Harris menyatakan bahwa wanita ini digambarkan dengan temperamen
yang tidak stabil/normal (ill-temper). Temperamen inilah yang menguasainya,
sehingga ia selalu cerewet dan muram. Temperamen ini tidak dibuat-buat atau
direncanakan terlebih dahulu, tetapi muncul secara spontan. Jadi menurut Harris
sikap wanita ini bukan seperti badai yang penuh nafsu[4].
Apakah
adalah sebuah penderitaan besar bagi seorang suami apabila dengan tiba-tiba
istrinya mencercanya dengan teriakan keras, atau dalam peristiwa tertentu
istrinya juga memarahinya dengan tiba-tiba, memarahi anak-anak dan juga
pembantunya? Menurut Matthew Henry sikap ini bukan saja membuat suami ini
menderita secara batin tetapi juga menjengkelkan seluruh jiwa dan pikirannya.
Mengapa demikian? Karena kemungkinan besar situasi yang dibuat istrinya akan
mengganggu pekerjaannya, mencoreng integritasnya di dalam keluarga maupun di
masyarakat. Kemungkinan besar amsal ini dituliskan berdasarkan pengalaman
penulis yang adalah seorang terkenal di mata masyarakat dan bangsanya. Ia
memiliki rumah yang luas dan megah. Memiliki pembantu yang banyak, dan kerabat
yang terhormat. Temperamen istrinya yang menjengkelkan ini akan mempengaruhi
hubungannya dengan teman atau rekan-rekannya yang akan bertamu ke rumahnya. Kesenangan dan persahabatan yang didambakan di
dalam keluarga dan relasi sang suami dengan masyarakat serta teman-temannya tidak
akan didapat lagi. Ia hanya akan merasa malu dan menderita batin dengan situasi
istrinya ini[5].
Bagi penulis kondisi hati yang luka dan kecewa, rasa malu yang mendalam serta
hati yang penuh kejengkelan dari laki-laki atau sang suami adalah wajar sebagai
seorang manusia.
Dengan
melihat wanita dan sifat serta perilakunya ini apakah seorang laki-laki atau
suami harus meninggalkannya atau menceraikannya? Amsal ini memberikan jawaban
yang menakjubkan bagi kita. Sang suami atau laki-laki ini memiliki hikmat untuk
menyelesaikan masalah ini. Ia tidak menceraikan istrinya, karena yang melebihi
penderitaan dan kejengkelannya adalah kasih sayang terhadap istrinya. Juga
karena ia menjaga kekudusan dalam sebuah pernikahan dan rumah tangga. Hikmatnya
ini diejawantahkan lewat pilihan sikap berdiam diri di atap/sotoh rumahnya ‘lebih baik tinggal di atas sudut atap rumah? Menurut amsal, suami atau laki-laki ini tetap
tinggal atau hidup dengan istrinya, oleh karena itu ia harus memberi jalan
keluar terhadap masalah istrinya ini. Atap rumah adalah tempatnya untuk
menyendiri dan menenangkan batinnya. Atap rumah sebenarnya bukan sebuah tempat
yang selalu menyenangkan. Di atap rumah panas matahari sangat terasa kalau
siang hari. Dan kalau hujan serta badai datang siapapun yang berdiam diri di
atap rumah akan basah kuyup dan terhempas jatuh. Kalau tengah malam angin yang
berhembus di atap rumah sangat dingin dan bisa menyebabkan orang jatuh sakit.
Tetapi masih ada hal-hal yang
menyenangkan untuk beristirahat di sudut atap rumah. Hujan tidak selalu turun,
badai tidak selalu menghempas; matahari masih bisa memberikan sebuah kesejukan
dari sinarnya, angin malam masih bisa menghembuskan kesejukan refresing[6].
Situasi di sudut atap rumah ini dibandingkan dengan wanita atau istri yang
terus menerus bertengkar, maka sang suami memilih lebih baik duduk di sudut
atap rumah. Karena mungkin di sudut atap rumah yang rawan badai dan hujan
sekalipun masih bisa memberikan kesejukan dan ketenangan sewaktu-waktu.
Sedangkan istri yang terus-menerus bertemperamen tinggi dan suka bertengkar
mungkin jarang untuk memberikan suasana damai di rumah, terutama dalam
relasinya dengan sang suami. Sungguh sebuah sarkasme yang keras[7]
dari amsal ini.
KESIMPULAN
Dari hasil tafsiran di atas dapat penulis simpulkan
beberapa hal, antara lain :
1.
Pertengkaran
pasti selalu ada dalam setiap rumah tangga. Baik itu yang ditimbulkan oleh
suami, istri, anak maupun sanak keluarga. Namun dalam amsal ini wanitalah yang
digambarkan suka bertengkar sehingga membuat suami dan orang-orang di
sekitarnya merasa jenuh bahkan menderita. Kalau kita perhatikan ini bukan
sebuah pendeskreditan terhadap kaum perempuan. Karena mungkin yang dilihat dan
dialami laki suka bertengkar, karena ia pun manusia yang punya kelemahan dan
potensi untuk marah atau bertengkar. Mungkin juga kita perlu untuk melihat
konteks budaya Yahudi yang sangat memberikan dominansi kaum laki-laki di segala
bidang. Oleh karena itu memang mungkin kurang etis secara budaya kalau
laki-laki yang dikatakan suka bertengkar.
2.
Penulis
tidak melakukan sebuah penelitian psikologis untuk melihat potensi tertinggi
dalam hal bertengkar dan marah antara laki-laki dan perempuan. Tetapi
berdasarkan pengalaman, seperti yang dialami penulis amsal ini, memang
perempuan yang sering bertengkar/cerewet. Tapi kebanyakan cerewetnya itu pun
karena ulah suami atau ada sebuah masalah keluarga. Oleh karena itu, memang
sebagai suami harus memberi jalan keluar dan pengertian, mungkin tidak harus
tinggal di sudut atap rumah tetapi melakukan tindakan lain yang meredam suasana
menjadi kondusif.
3.
Satu
hal yang perlu kita ingat bahwa apabila ada pertengkaran antara suami-istri,
tidak harus sang suami atau istri harus saling meninggalkan, tetapi mencari
solusi untuk damai. Karena ada sebuah ikatan perkawinan yang kudus antara
keduanya. Ini harus ada tanggung jawab pemeliharaan kekudusan sebuah pernikahan
karena akan berhubungan dengan pertanggunggjawaban kepada Allah.
4.
Kalau
ada istri atau suami yang suka bertengkar, munculkanlah cinta dan kasih sayang
dari hati. Karena inilah obat yang paling mujarab untuk meredam sebuah
pertengkaran.
5.
Sikap
suka bertengkar mungkin sebuah masalah ill-temperamen (psikologis) oleh karena
itu bukan tidak mungkin untuk dirubah. Jadi, untuk merubahnya harus ada
dukungan dari pasangannya.
RELEVANSI
Dari
studi amsal ini dapat kita relevansikan nilai-nilai atau pesan etis dan hikmat bagi
kehidupan gereja masa kini. Misalnya :
1.
Ada
banyak perceraian ataupun pisah ranjang di keluarga-keluarga Kristen saat ini.
Salah satu pemicunya adalah masalah suka bertengkar. Bertengkar karena
kebiasaan atau habit, juga karena cemburu, iri hati, dendam dan lain
sebagainya. Dan biasanya alasan para suami yang menceraikan istrinya adalah
karena istrinya suka bertengkar/cerewet. Para suami tidak harus langsung mengambil
sikap seperti ini, tetapi harus menjadi bijak dan juru damai. Istripun harus
berbenah dan belajar seperti sudut atap rumah dan suasananya yang tidak selalu
buruk, tetapi juga memberikan kesejukan dan ketenangan. Hingga akhirnya
benar-benar menjadi istana yang damai dan harmonis.
2.
Amsal
ini juga bisa bernilai pengajaran bagi kaum muda yang belum menikah atau
mendapat tambatan hatinya. Bagi kaum muda, mereka harus benar-benar dan
bijaksana dalam memilih pasangan hidupnya. Caranya adalah semasa pacaran sikap
keterbukaan dari masing-masing harus ada. Masa pengenalan atau penjajakan harus
dilalui oleh mereka dengan baik. Setiap karakter, sikap, bahkan kelemahan-kelemahan
harus sudah dikenal semasa pacaran.
KEPUSTAKAAN
Delitzsch,
Franz., Biblical Commentary on the Proverbs of Solomon Vol.II, Michigan :
WM. B. Eerdmans Publishing Company, no date
Harris,
W., The Preacher’s Complete Homiletic :
Commentary on the Book of the Proverbs, Michigan : Baker Book House, Grand
Rapids, 1980
Henry, Matthew.,
Commentary of Proverb, Bible Works 7.
Kidner,
Derek., The Tyndale Old Testament
Commentaries : Proverbs : an Introduction
& Commentary, Leicester : Inter-Varsity Press, 1964
Longman III, Tremper., Hikmat dan Hidup Sukses, terj. James C. Pantou, Jakarta : PPA, 2007
https://youtu.be/518Gvhaoh20https://youtu.be/518Gvhaoh20
[1] Tremper
Longman III, Hikmat dan Hidup Sukses, terj.
James C. Pantou, (Jakarta : PPA, 2007), hal. 47
[2] Franz Delitzsch, Biblical Commentary on the Proverbs of Solomon Vol.II, (Michigan :
WM. B. Eerdmans Publishing Company, no date ), hal. 69
[3] Derek Kidner, The Tyndale Old Testament Commentaries : Proverbs : an Introduction & Commentary, (Leicester :
Inter-Varsity Press, 1964), hal. 142.
[4] W. Harris, The
Preacher’s Complete Homiletic : Commentary on the Book of the Proverbs, (Michigan
: Baker Book House, Grand Rapids, 1980),
hal. 613