Senin, 11 Maret 2019

KITAB TAURAT


Kitab Taurat
Pdt. Barnabas Lujdi D.Th

Yang dimaksudkan dengan Kitab Taurat adalah Kitab-kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Kelima kitab ini biasa juga disebut Pentateukh atau kelima Kitab Musa. Mereka disebut Kitab Musa, karena menurut tradisi Yahudi, kelima kitab tersebut telah ditulis oleh Musa. Akan tetapi ditinjau dari sudut studi kritis sulit untuk menerima pandangan bahwa Musa yang menulis seluruh Kitab Taurat.
            Secara keseluruhan isi Kitab Taurat ialah mulai dari kejadian alam semesta sampai dengan kematian Musa di gunung Nebo. Jika Kitab Taurat kita baca secara teliti, maka kita akan terlihat bahwa di sana-sini terdapat cerita-cerita yang hampir sama. Ada cerita yang hanya mengulangi cerita-cerita yang lain dengan beberapa perbedaan kecil. Kitab Ulangan misalnya hampir hanya berisi cerita-cerita yang terdapat pada Kel 19 sampai dengan Bil 10, walaupun dalam bentuk yang lebih singkat. Yang lain misalnya Kej 2:4b-25 sama dengan Kej 1:1-2:4a, bahkan ada cerita yang diulangi tiga kali, yaitu Kej 12:10-20; 20:1-18; dan 26:1-11. Pengulangan ini perlu diteliti lebih lanjut.
Kej 1:1-2:4a dan 2:4b-25. Kedua perikop ini menceritakan dua hal yang sama yaitu tentang alam semesta. Namun di antara keduanya terpat beberapa perbedaan, yaitu a.l.
Kej 1:1-2:4a menceritakan kejadian alam secara teratur dan sistematis, mulai hari pertama sampai dengan hari ketujuh, masing-masing hari dengan isinya sendiri-sendiri. Sedangkan Kej 2:4b-25 tidak mempunyai perincian sistematis seperti itu.
Selanjutnya Kej 1 memberikan perhatian utama terhadap seluruh ciptaan. Sedangkan Ke 2 hanya memberi perhatian utama kepada manusia dengan segala tingkah lakunya. Perbedaan-perbedaan lain dapat ditambahkan. Namun di atas semua perbedaan itu satu hal yang dalam studi PL cukup menentukan pengertian terhadap cerita itu ialah,
Bahwa dalam Kej 1 sang pencipta hanya disebut dengan nama Allah (Elohim). Sedangkan dalam Kej 2, sang pencipta disebut dengan nama Yahwe Ellohim (TUHAN Allah). Apakah arti dari perbedaan dan persamaan itu? Di antara hal-hal yang bisa dicatat, ada 2 hal penting:
Kedua perikop itu hendak menceritakan hal yang sama yaitu tentang permulaan alam semesta. Oleh karena hanya satu saja permulaan alam semesta, maka kedua cerita itu berasal peristiwa yang satu itu.
Bahwa kedua perikop itu adalah hasil atau cerita dari dua pencerita yang tidak sama.
Pencerita yang satu dapat bercerita secara teratur dan sistematis dengan urutan yang baik, sedangkan yang lain rupanya hanya mau menekankan dan menonjolkan hal yang ia anggap penting, yaitu manusia dengan segala tingkah lakunya. Akhirnya kedua cerita itu digabungkan begitu saja mungkin oleh pencerita pertama atau pencerita kedua atau oleh orang lain.
Pengulangan tiga kali dalam Kej 12, 20, dan 26. Dalam ketiga pasal ini ada cerita yang sama, yaitu bahwa istri-istri nenek moyang Israel diakui sebagai saudara perempuan oleh suami-suami mereka di negeri asing. Di sana raja-raja negeri asing itu bermaksud memperistrikan istri leluhur Israel, tetapi niat ini kemudian dibatalkan, karena para raja yang dimaksud mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Kej 12, menceritakan Abraham dan istrinya berada di Mesir. Abraham mengakui Sarai sebagai saudara perempuannya, lalu Firaun Mesir bermaksud memperistrikan Sarai. Namun setelah diketahui keadaan yang sebenarnya, Firaun membatalkan niatnya itu.
Kej 20, menceritakan Abraham dan Sarai berada di Gerar dangan raja Abimelekh. Di sana Abraham juga mengakui Sarai sebagai saudara perempuannya. Abimelekh pun bermaksud memperistrikan Sarai. Tetapi setelah ia mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka gagal pula niatnya itu.
Kej 26, menceritakan Ishak dan Ribka di Gerar dengan raja Abimelekh juga . Di sana Ishak juga mengakui Ribka sebagai saudara perempuannya. Karena itu Abimelekh pun berniat memperistrikan Ribka, namun niatnya itu juga dibatalkan setelah ia mengetahui keadaan sebenarnya.

Dalam ketiga cerita ini jelas bahwa masing-masing raja akan memeperistrikan istri masing-masing nenek moyang Israel dan dengan alasan tertentu, niat itu dibatalkan. Penelitian yang cermat terhadap teks-teks ini akan memperlihatkan kepada kita bahwa Kej 12,20 sebenarnya berasal dari sumber cerita yang sama, hanya penceritanya yang berbeda. Sedangkan Kej 12 dan 26 merupakan dua cerita yang berbeda, tetapi ditulis oleh satu orang. Kej 12 dan 26 sama-sama memakai nama TUHAN (Yahwe), sedangkan Kej 20 memakai nama Allah (Elohim). Dengan kedua contoh di atas dan bagian-bagian lain di dalam Pentateukh ternyata ada bagian-bagian yang hanya memakai nama Allah. Penelitian terhadap bagian-bagian itu membawa kesimpulan, bahwa ada 2 pencerita yang berbeda yang hasil ceritanya sama-sama terdapat dalam Pentateukh, yaitu pencerita yang menggunakan nama Yahwe dan pencerita yang menggunakan nama Elohim. Pencerita yang menggunakan nama TUHAN (Yahwe) oleh para ahli disebut Yahwist (Y), sedangkan pencerita yang memakai nama Elohim (Allah) biasa disebut Elohist (E).

Penulis Yahwist

Penelitian secara saksama terhadap seluruh Pentateukh menunjukkan bahwa penulis Y mempunyai cara berpikir/gaya cerita dan teologi tersendiri. Cerita tentang nenek moyang Israel oleh pencerita Y didahului dengan cerita tentang manusia (Mankind) secara umum. Pencerita itu mulai dengan cerita bahwa pada mulanya manusia itu diciptakan Tuhan laki-laki dan perempuan (Kej 2:4b-3:24). Dalam bahasa Ibrani manusia disebut Adam. Manusia dihubungkan dengan tanah (adama). Nama manusia berasal dari nama tanah. Manusia berhubunagan dengan nama tanah, karena,
ia dibuat dari tanah (Kej 2:7).
ia hidup dan makan dari tanah (Kej 3:17-18).
Manusia mati kembali ke tanah (Kej 3:19)
Selanjut Y menceritakan bahwa hidup manusia itu adalah hidup dalam ketidakpercayaan, kesombongan, dan kebanggaan yang semuanya menyebabkan adanya kesengsaraan dan kekurangharmonisan dalam kehidupan. Oleh karena itu menurut Yahwist, Tuhan membuat pembatasan-pembatasan kepada manusia dan memberikan pengharapan masa depan. Pembatasan-pembatasan itu  tampak dalam adanya peraturan-peraturan dan kematian manusia itu sendiri. Sementara pengharapan masa depan dimulai oleh pencerita Yahwist dengan menyebutkan adanya janji dan penggilan Tuhan kepada Abraham (Kej 12). Janji itu antara lain bahwa seluruh bangsa di dunia ini akan memperoleh berkat melalui Israel.
Selanjut Y menceritakan bahwa Tuhan itu sangat dekat dengan manusia. Tuhan berada bersama manusia, Tuhan dilukiskan seperti manusia. Hal itu jelas dari hal-hal seperti Tuhan berjalan pada waktu hari sejuk dan mencari manusia (Kej 3:8,9); Tuhan bekerja seperti manusia (Kej 2:7); Tuhan menjadi tukang taman atau kebun (Kej 2:8); dan menjadi pembuat pakaian (Kej 3:21). Secara singkat bagi penulis Y, Tuhan itu bukanlah tokoh metafisis supra-natural jauh dari manusia, melainkan tokoh yang dekat dengan manusia, dekat dengan kehidupan manusia sehari hari. Selanjutnya bagi Y pusat lokasi cerita Abraham adalah Hebron (Kej 12,13,15,16,18,19). Dalam cerita Yusuf, tokoh Yahuda sangat menonjol. Karena itu pencerita Y diduga berasal dari Yehuda pada zaman Daud dan Salomo (abad 10 sM).

2. Penulis Elohist 
Di atas telah kita catat bahwa Kej 12 dan 26 adalah hasil tulisan Yahwist, sedangkan Kej 20 adalah hasil tulisan Elohist. Penulis E lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam Kej 12, niat Firaun dibatalkan karena Firaun menerima musibah dari Tuhan. Dalam Kej 26, niat  Abimelekh dibatalkan karena Abimelekh melihat Ishak dan Ribka bercumbu rayu. Sedangkan Kej 20 niat Abimelekh dibatalkan karena Abimelekh berbicara dengan Allah melalui mimpi. Jelas bahwa di samping sebutan nama Allah, Kej 20 juga memperlihatkan bahwa Allah berhubungan dengan manusia lewat mimpi. Mimpi menjadi sarana komunikasi Allah dengan manusia. Dalam Kej 28:13-16, 17-22 Yakub bertemu dengan Allah juga lewat mimpi. Oleh karena itu Kej 28:13-16 dan Kej 20 ditulis oleh penulis yang sama yaitu Elohist. Dari dua contoh tulisan E di atas (Kej 20 dan 28) dapat dikatakan bahwa Elohist mempunyai cirri-ciri:
Ø  Penulis ini memakai nama Elohim (Allah).
Ø  Menurut penulis Elohist, Elohim itu jauh dari manusia. Allah berbicara dengan manusia melalui perantara seperti mimpi dan para malaikat.
Ø  Menekankan konsepsi takut akan Allah yang menyebabkan manusia bersikap setia atau sama sekali tidak setia kepada Allah.
Ø  Elohist senang menggambarkan Allah sebagai yang mencobai kesetiaan manusia (Kej 22:1-19).
Ø  Penulis E banyak mengunakan bentuk cerita dialog antara Allah dan manusia dan antara manusia dengan sesamanya.
Ø  Dalam cerita tentang Abraham E memusatkan lokasi cerita di Bersheba.
Ø  Dalam cerita tentang Yusuf tokoh yang menonjol adalah Ruben.
Ø  Penulis ini senang akan cerita perpisahan (contoh Kej 27, 48,50).
Ø  Penulis ini berasal dari Israel Utara (mungkin para nabi).

3. Kelompok imam atau Priester (P)
Di luar penulis-penulis Y dan E ternyata masih ada penulis yang lain yang menunjukkan ciri yang khas. Masih ada bagian-bagian dari Pentateukh yang tidak bisa dimasukkan dalam ciri Y dan E. Contoh Kej 1:1-2:4a. Pada satu pihak menggunakan nama Elohim seperti ciri E. Pada pihak yang lain Allah berfirman langsung kepada manusia seperti ciri Y. Namun perikop ini mengandung ciri-ciri di luar ciri-ciri Y dan E yaitu, adanya keteraturan urutan cerita (sistematika yang baik). Keteraturan dan sistematika yang baik seperti ini terdapat juga dalam cerita-cerita silsilah (Kej 4:17-5:3, 6-10 d.l.l.). Kej 1:1-2:4a juga menceritakan bahwa apa yang terjadi itu, terjadi hanya karena firman Allah. Allah berfirman adalah terang, maka terang itu ada. Cerita seperti ini juga terdapat dalam Ke 9 dan 17 :1-16 yang berisi perjanjian antara Allah dengan Nuh dan Abraham terjadi hanya karena firman di mana Nuh, Abraham tidak menjawab apa-apa kecuali melakukan firman Allah. Dengan demikian Kej 1:1-2:4a, 9 dan 17 menampilkan ciri yang sama yaitu bahwa firman Tuhan berkuasa menampilkan apa saja. Ciri-ciri seperti itu ternyata tidak dimiliki oleh Y dan E, tetapi hanya dimiliki oleh kelompok imam-imam.

Para imam adalah kelompok yang mempunyai,cara kerja, cara berpikir, cara bercerita yang sistematis, suka kepada keteraturan dengan urutan yang baik.
Para imamlah yang mempunyai kepercayaan dan pegangan bahwa firman Allah itu berkuasa menjadikan apa saja. Kelompok para imam ini disebut dengan Priester (P).

Dengan demikian banyak bagian Pentateukh yang berasal dari kelompok para imam ini. Tulisan para imam ini mempunyai ciri-ciri seperti,
Berbicra tentang perjanjian Allah dengan Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub dengan tanda-tanda meterai perjanjian, pelangi, sunat, dan Hari Sabat.
Mementingkan kuasa firman Allah. Firman Allah merupakan asal-usul dari semua yang ada. Setiap kenyataan adalah akibat dari firman.
Ø  Kelompok ini banyak menulis tentang silsilah (teledot), umur-umur, dan riwayat hidup.
Ø  Kelompok ini menonjolkan hukum dan peraturan-peraturan yang harus dilakukan bangsa Israel.
Ø   Kelompok ini juga sangat memperhatikan kehidupan kultus dan lembaga-lembaga keagamaan seperti Hari Sabat, sunat, d.l.l.

Kelompok ini berasal dari Yehuda dan berkarya selama zaman pembuangan di Babel sekitar abad ke-5 sM.. Penelitian lebih jauh terhadap Pentateukh menunjukkan bahwa penulis Y,E, dan P mempunyai peranan utama dalam proses terjadinya Kitab Taurat. Tidak ada satu kitab pun dari Taurat yang tidak memuat Y,E, dan P, bahkan yang menyusun Kitab Taurat dalam bentuk yang sekarang adalah kelompok penulis P. Apabila Y dan E kebanyakan menulis dalam bentuk prosa dan cerita (narasi), maka P sebagian terbesar menulis peraturan-peraturan dan hanya sedikit saja yang berisi cerita biasa (Kitab Imamat).

4. Penulis Deuteronomis 
Hanya satu kitab dalam Pentateukh yang sebagian besar isinya tidak termasuk dalam ciri Y,E, dan P, yaitu Kitab Ulangan (Deuteronomi). Kitab ini ditulis oleh kelompok yang disebut Deuteronomis atau D. Penulis D ini mempunyai ciri-ciri khas seperti,
Sangat menekankan hubungan kasih antara Allah dengan manusia dan antara sesama (Ul 6:4,5).
Menekankan bahwa ibadah yang benar dan syah ialah ibadah yang berpusat di Yerusalem (Ul 12). Hal ini bertentangan dengan Kel 20:24 di mana dikatakan bahwa ibadah boleh dilakukan di mana saja.
Menurut D yang berhak menjadi imam adalah suku lewi, sedangkan menurut P, yang berhak menjadi imam adalah Harun dan anak-anaknya. Sedangkan suku Lewi hanya membantu para imam. Penulis atau mashab ulangan berasal dari abad ke 8 sM. Selanjutnya dalam Kitab Ulangan dapat ditemukan ciri khas D yang lain, yaitu,
Dasar teologis D tentang hukum ialah tindakan kasih Allah yang mendahului kesetiaan Israel. Kalau Allah memberikan hukum-hukum yang harus ditaati Israel, maka hal itu telah didahului oleh tindakan kasih-Nya kepada Israel. Artinya kesetiaan Israel kepada Allah melalui pelaksanaan hukum-hukum Allah adalah respon Israel terhadap tindakan kasih Allah kepada mereka. Bagi penulis D, melakukan hukum tidak ada hubungannya dengan memperoleh pahala. Contoh persembahan berbagai korban yang harus disediakan bangsa Israel bagi Allah setiap hari dimengerti bukan sebagai korban yang membuat Israel selamat (supaya selamat). Jawaban Israel kepada Allah karena Allah telah lebih dahulu melakukan tindakan kasih terhadap Israel.
Penulis menekankan pentingnya hubungan perjanjian antara Allah dengan Israel di gunung Sinai. Perjanjian yang telah dibuat pada waktu yang lampau itu bagi penulis D masih tetap berlaku terus baik bagi orang-orang dahulu mau pun bagi orang-orang sekarang, bahkan bagi orang-orang yang akan datang pun. Seluruh Kitab Ulangan sebenarnya memang dimaksudkan untuk memproklamasikan secara baru perjanjian Sinai yang dahulu itu. Perjanjian itu berlangsung terus dan sebagai jaminannya, Allah berkenan menempatkan nama-Nya di satu tempat yang dipilih-Nya yaitu Yerusalem. Ibadah di yerusalem adalah satu-satunya ibadah yang sah tempat perjanjian dihayati kembali. Sekaligus dengan itu, penulis D juga menekankan pentingnya nama Tuhan dalam hubungan perjanjian. Dari penulis D inilah kita mengenal teologi nama Tuhan dan teologi perjanjian yang kemudian diikuti oleh penulis P.
Maksud utama penulis D ialah pemberian hukum agar Israel hidup suci di hadapan Allah (Ul 7:6; 14:2; 26:18-19). Kegagalan untuk menjadi bangsa yang suci bagi Allah adalah sebab utama hilangnya berkat perjanjian dari tengah bangsa Israel.
Usaha penulis D ini disambut baik oleh Raja Yosia di Yerusalem pada abad ke-7 sM, sehingga Raja Yosia mengadakan reformasi yang bertujuan membangun kembali kehidupan yang suci dan memulihkan bangsa Israel kepada hubungan yang benar dengan Tuhan  Allah. Reformasi ini didasarkan pada perjanjian Sinai. Yosia menghapuskan berhala-berhala dari tengah-tengah bangsa Israel dan memerintahkan  untuk berbakti hanya di Bait Allah Yerusalem (2 Raj 23:4-15).

Kesimpulan tentang terjadinya Kitab Taurat
Kitab Taurat ditulis oleh paling kurang 4 kelompok penulis yaitu, Y,E,D, dan P. Para imam (P) adalah kelompok penulis terakhir yang merangkum hasil penulis-penulis terdahulu. Dalam usahanya itu P kadang-kadang membiarkan secara utuh tulisan-tulisan Y,E, dan D, tetapi juga sering mengolahnya kembali.
Oleh karena banyak karangan yang isinya hampir sama, tetapi berasal dari kelompok penulis yang berbeda, maka kita temukan dalam Kitab Taurat sekarang adanya doublet (sepasang cerita yang hampir sama) dan triplet (tiga cerita yang hampir sama).
Jelas bahwa Kitab Taurat ditulis oleh manusia dengan ciri-ciri kemanusiaannya dan memakan waktu yang sangat panjang (5 abad).

Bentuk sastra yang dipakai    
Di dalam Kitab Taurat kita temukan bentuk sastra tertentu yang digunakan oleh para penulis. Kita temukan bentuk prosa dan puisi. Bentuk prosa termasuk bentuk yang paling banyak digunakan, sedangkan bentuk puisi kita temukan a.l. dalam Kej 4:23-24 (nyanyian Lamekh); Kel 15:1-15 (nyanyian Musa) yang digunakan dalam liturgy badah di Bait Allah Yerusalem. Dilihat dari sudut isi nyata juga bahwa dalam Kitab Taurat bayak terdapat hukum-hukum (taurat) dan cerita asal-usul (aetiologis). Contoh cerita aetiologis a.l. Kej 1:1-2:4a merupakan cerita asal-usul alam semesta yang memuncak pada asal-usul Sabat. Kej 3 a.l. memuat cerita asal-usul ular jalar menjalar. Kej 28:10-22 memuat cerita asal-usul nama Bet’el. Kel 15:22-24 merupakan cerita asal-usul nama Mara. Kel 17 :1-7 memuat cerita asal-usul nama Masa dan Meriba. Kej 21:22-31 mengenai asal-usul nama Bersyeba yang artinya sumur ketujuh. Sebenarnya nama-nama itu sudah ada sebelumnya, kemudian dibuat ceritanya, baru memiliki asal-usul yang di tempat itu terjadi peristiwa-peristiwa tertentu. Isi Kitab Taurat mulai dari kejadian alam samapai dengan cerita tentang kematian Musa (Kej 1-Ul 34). Mulai dari yang sangat universal hingga ke lingkungan yang makin sempit dan berakhir dengan munculnya bangsa Israel, suatu bangsa yang terkecil saja dari ribuan bangsa yang ada.
 













































Hermeneutika

Pengertian Istilah. Ada tiga istilah yang berhubungan dengan istilah hermeneuse.
Istilah hermeneitika
Istilah hermeneutik
istilah hermeneuse

Ketiga istilah ini berasal dari bahasa Yunani hermeneuein, yang artinya menafsirkan atau menerjemahkan. Sedangkan istilah hermeneus dikenakan kepada seseorang yang mempunyai keahlian menerjemahkan suatu bahasa ke bahasa lain. Istilah ini kemungkinan berhubungan dengan dewa hermes yang dianggap sebagai juru bicara para dewa Yunani..
            Dari segi etnologi, hermeneuein sejajar dengan istilah eksagein (exagein) yang berarti mengartikan atau menafsirkan. Sedangkan kata benda hermeneutika dekat dengan istilah eksegesis. Namun dalam rangka ilmu tafsiran Kitab Suci, istilah eksagein dan hermeneuein mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah eksegese atau tafsir berarti menafsirkan atau mengartikan salah satu teks Kitab Suci. Sedangkan istilah-istilah, hermeneutika, hermeneutik, dan hermeneuse berhubungan dengan apa yang dibutuhkan untuk menafsirkan salah satu teks Kitab Suci secara tepat dan baik.
            Untuk sementara perlu juga kita membedakan ketiga istilah: hermeneutika, hermeneutik, dan hermeneuse.
Hermeneutika ialah ilmu yang menentukan kaidah dan patokan yang perlu diperhatikan dalam menafsirkan salah satu teks alkitab. Kaidah-kaidah itu bersifat obektif, yang bersangkutan dengan teks itu sendiri.
Hermeneutik, ialah prasyarat dari pihak penafsir sendiri guna menolong penafsir dalam memahami teks yamg ditafsir. Jadi tidak menyangkut teknik dan metodik penafsiran.
Hermeneuse, ialah meliputi hal-hal yang berhubungan dengan hermeneutika dan hermeneutik. Dengan demikian, hermeneuse, ialah ilmu pembantu untuk melakukan pekerjaan menafsir. Ilmu praktis itu menyelidiki, menganalisis, dan menentukan apa yang perlu supaya salah satu teks Kitab Suci dapat diartikan  dengan baik dan dapat dipahami secara tepat.
Hermeneuse dapat dibagi atas dua, yaitu, hermeneuse profan  yang berhubungan dengan dukumen manusiawi dan hermeneuse suci yang berhubungan dengan dukumen yang bersifat manusiawi dan ilahi.

Perkembangan Hermeneutika ke hermeneutik
            Dalam perkembangan sejarah kita dapat membedakannya atas tahap-tahap yang sangat berbeda. Tahap pertama, menghasilkan apa yang disebut Hermeneutika dan tahap kedua adalah hermeneutik.
Ø  Hermeneutika tradisional alkitabiah.
Orang pertama yang merumuskan suatu hermeneutika ialah, Origenes yang sehidup sekitar tahun 185/186 –254/255. Dalam karangannya yang disebut “Peri arkhon” yang terbit sekitar tahun 230. Hermeneutika Origenes belum dapat dikatan lengkap atau tepat. Setelah Origenes muncul muncul lagi beberapa tahap hermeneutika, antara lain:
Ø  Hermeneutika Alexanderia – Mesir.
Hermeneutika ini muncul sebagai alat bantu tafsiran alegoris yang memeperhatikan 3 makna alkitab, yaitu makna hurufiah, makna moril, dan makna rohani.
Ø  Hermeneutika Antiokhia – Siria.
Hermeneutika ini sangat mengutamakan makna hurufiah dan makna historis alkitab tanpa mencari hal-hal yang tidak tampak dalam teks.
Ø  Hermeneutika Reformasi yang dipelopori oleh Luther yang mulai mengembangkan hermeneutika Siria (Antiokhia).
Ø  Hermeneutika modern menghentikan hermeneutika Luther.
Hermeneutika modern mulai berkembang sejak abad ke-18-s/d 20, dan masih bertahan sampai abad 21 ini. Hermeneutika ini mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu, menekankan eksegese kritis historis. Berarti hermeneutikan ini sangat menekankan sifat historis Kitab Suci.

Semua tahap hermeneutika yang baru kita sebut tadi walau terdapat perbedaan-perbedaan dalam hal makna, namun satu hal yang menonjol yang menunjukkan persamaan di antara mereka ialah, bahwa semua tahap itu menekankan teks alkitab itu sendiri, sama-sama mengutamakan makna hurufiah teks alkitab (sensus literalis) Mereka tanpa memperhatikan subyek atau penafsir itu sendiri sebagai unsur yang menentukan apakah Kitab Suci itu dimengerti atau tidak.
            Sedangkan perbedaannya antara hermeneutika-hermeneutika lainnya dengan hermeneutika modern, ialah bahwa hermeneutika lainnya (klasik) sama sekali tidak memperhatikan aspek historis alkitab. Mereka menerima alkitab sebagai wahyu yang sudah sedemikian adanya. Sebaliknya hermeneutika modern sangat menyadari akan sifat historis Kitab Suci.. Tujuan hermeneutika modern ialah suatu eksegese yang seobyektif mungkin, tanpa dipengaruhi oleh pra – andai/pra –paham penafsir.

Sejarah selanjutnya
            Dalam sejarah selanjutnya, hermeneutika diperluas dan untuk itu muncul istilah baru, yang disebut hermeneutik. Perkembangan ini muncul sebagai reaksi terhadap hermeneutika modern yang sama sekali tidak memperhatikan makna alkitab bagi kehidupan orang-orang yang hidup di luar zaman alkitab itu sendiri. Hal ini merupakan akibat dari penekanan yang sangat sepihak pada aspek historis alkitab. Krisis penafsiran meodern ini  mau dihadapi dengan interpretasi eksistensial (hermeneutik). Hermeneutik ini dipelopori dan diperluas oleh Rudolf Bultmann. Ia tetap mempertahankan aspek historis alkitab – sama halnya dengan hermeneutika modern. Di samping itu perlu diikut sertakan unsur-unsur subyektif penafsir itu sendiri yang sama pentingnya dengan kritik historis. Bahkan Bultmann sangat mengecilkan arti historis itu bagi penafsir itu. Apapun hasil penelitian itu, tidak ada sangkut pautnya dengan diri penafsir itu sendiri.
            Menurut Bultmann, kepercayaan-kepercayaan Kristen tidak ada sangkut pautnya dengan alkitab sebagai dokumen historis. Yang dicari dari dalam alkitab adalah sebuah interpretasi terhadap eksistensi manusia sekarang dan setiap detik. Yang dikatakan alkitab bukanlah  sebuah obyek di luar manusia, melainkan yang difirmankan adalah menyangkut subyek – manusia itu sendiri pada zaman dan waktu manapun.
            Alkitab bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan terjadinya, sejarahnya dulu. Melainkan menjawab dan memecahkan masalah yang ditimbulkan manusia sekarang. Seseorang dikatan mengerti alkitab, apabila ia merasakan adanya persoalan dalam dirinya, setelah ia membaca alkitab. Berita alkitab itu harus disambut dengan memberikan keputusan menerima atau menolaknya, dan mengatur hidupnya menurut keputusannya. Menurut Bultmann hanya dengan cara itu aktualisasi alkitab tetap dipertahankan.
            Untuk mencapai tujuan itu, ada prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu bahwa hermeneutik harus dapat menyingkapkan dan menyadarkan prasyarat diri penafsir. Penafsir harus menghubungkan eksistensinya serta semua persoalan fundamental  dengan alkitab, dan mengajukan pertanyaan mengenai eksistensinya kepada alkitab.
            Hermeneutik yang dikembangkan Bultmann ini memang mempunyai tujuan yang positif, yaitu menyelamatkan alkitab dari relativisme historis.
            Walaupun demikian ada juga kritik keras terhadap hermeneutik Bultmannini. Hermeneutik ini sama sekali mengosongkan Kitab Suci dari sejarah dan karya menyelamatan Allah yang juga mengandung nilai-nilai historis. Bultmann lupa bahwa pernyataan dan tindakan penyelamatan Allah itu terjadi dalam sejarah, sehingga nilai historis karya Allah tidak dapat disingkirkan begitu saja, tanpa memperhatikannya dalam relasi dengan manusia sekarang. Alkitab memberitahukan sesuatu/kejadian-kejadian dalam sejarah yang sampai sekarang bermakna bagi eksistensi manusia serta seluruh persoalannya.
Hermeneutik baru
            Hermeneutik ini menggunakan cara pendekatan yang terdapat dalam hermeneutik modern dan Bultmann. Di samping itu ia juga memperhatikan prasyarat dari manusia itu sendiri, supaya pemberitaan yang obyektif dan netral benar-benar bermakna – kena mengena dengan diri manusia sendiri, supaya berita yang historis itu menjadi aktual. Sebuah dukumen historis dapat dikatakan bermakna apabila ia aktual-kena mengena dengan kehidupan pada segala zaman, dan apabila aktual dan kena mengena dengan baru dikatakan pembaca memahami alkitab. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa hermeneutik baru tetap mempertahankan kritik historis alkitab, agar penafsir tidak memasukkan pikirannya sendiri, agar jangan terjadi apa yang disebut eiksegese. Di samping itu ia juga mengutamakan subyak/penafsir untuk memahami alkitab.
            Berhubungan dengan hermeneutik baru ada persoalan yang perlu dipertanyakan, bagaimanakah menghidupkan kembali firman Allah. Dengan jalan historis kritis saja tidak cukup mengaktualkan tradisi historis itu. Atau dengan perkatan lain, bagaimana tradisi historis yang terdapat dalam alkitab itu menjadi kejadian yang aktual.
Tak jelas bahwa hanya dengan mengenal dan mengetahui historis, latar belakang sastranya serta teks tidak cukup untuk mengaktualkan berita alkitab. Oleh karena itu perbedaan antara hermeneutik dengan hermeneutika bukan saja perbedaan mengenai metode, melainkan perbedaan mengenai struktur.
            Sebelum kita datang pada pemahaman khusus mengenai hermeneutik teologis alkitabiah, terdahulu kita mencoba memahami hermeneutik umum.
            Kalau kita berbicara tentang hermeneutik, kita tidak bisa mengatakan bahwa hermeneutik itu hanya menyangkut alkitab. Tetapi sebenarnya hermenetik berasal dari dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. Para ahli filsafat menggunakan kta hermeneutik dalam arti khusus dan dalam arti yang luas sekali. Hermeneutik dimengerti dalam arti ilmu pemahaman. Apa arti pemahaman atau arti memahami. Untuk itu kita perlu membedakan antara memahami dan mengetahui atau mengenal. Mengetahui atau mengenal hanya mengenai  objek belaka, terlepas dari subjek yang mengetahui pengetahuan. Yang diketahui tidak eksistensial.
            Sedangkan memahami jauh lebih mendalam daripada mengetahui. Memahami artinya mengerti apa itu adanya, apa hubungannya dengan objek-objek lain, apa kedudukannya dalam keseluruhan objek. Yang paling penting ialah apa kedudukan objek itu terhadap subjek itu sendiri. Apa arti dan makna objek itu bagi pribadi subjek sendiri. Inilah yang eksistensial. Hal ini hanya bisa tercapai apabila apabila subjek bergaul mesra dengan objek, sehingga objek itu turut mempengaruhi hidup subjek. Harus pula disadari bahwa memahami itu merupakan hakikat manusia; paling tidak seseorang harus memahami dirinya sendiri. Hermeneutik bukan pertama-tama menaruh perhatian pada objek yang dipahami dan metodik untuk mengenalnya secara tepat sebagai objek, tetapi yang diutamakan ialah subjek yang memahami.
            Yang menjadi masalah ialah bagaimana menemukan ujung relasi antara subjek dan objek. Itulah yang diperhatikan dalam Hermeneutik. Pengertian hermeneutik umum inilah yang diambil alih dan diterapkan ke dalam ilmu tafsir alkitab. Dengan demikian dikenallah apa yang disebut hermeneutik teologis alkitabiah.

Hermeneutik teologis – alkitabiah
            Sebagaimana hermeneutik umum dipahami, demikian jugalah hermeneutik teologis – alkitabiah itu dipahami. Masalah utama dalam hermeneutik teologis – alkitabiah ialah, bagaimana orang benar-benar dapat memahami pernyataan Tuhan yang berupa tindakan dan firman yang disampaikan kepadanya melalui tradisi yang disampaikan umat Allah sepanjang sejarah dan bagaimana tradisi itu dapat diungkapkan begitu rupa  sehingga tetap aktual?
            Hermeneutik teologis juga mempunyai peranan negatif sejauh ia menjaga supaya orang hanya mengungkapkan secara teologis apa yang dapat dipertanggungjawabkan  dan supaya secara teologis dapat mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang dikatakannya.
            Hermeneutik teologis – alkitabiah, dengan tidak mengurangi perlunya penekanan pada objek, sangat mementingkan subjek secara eksistensial ia harus terlibat dalam apa yang sesungguhnya  dusuarakan alkitab. Secara pribadi orang harus menangkap dan menanggapi apa yang difirmankan Allah kepada diri itu sendiri. Hermeneutik selalu menuntut suatu sikap dan pandangan tertentu yang turut menentukan, apakah orang akan memahami objek itu dan bagaimana memahaminya. Artinya bahwa hermeneutik teologis – alkitabiah menuntut agar terlebih dahulu seseorang memiliki suatu pandangan yang menyeluruh tentang alkitab. Mendekati alkitab dengan keyakinan bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang dapat menolong manusia sekarang. Inilah yang disebut prasyarat dalam hermeneutik, bahkan merupakan syarat mutlak dalam menafsirkan alkitab.
            Dalam hermeneutik ilmu-ilmu lain juga terdapat prasyarat serupa, misalnya dalam ilmu sejarah. Namun prasyarat/prapaham seperti di atas belum cukup untuk hermeneutik teologis – alkitabiah. Untuk hermeneutik teologis – alkitabiah, kita perlu menambahkan sesuatu yang khas, yaitu yang mengikat dan mewajibkan. Kita menyadari bahwa alkitab bukanlah tradisi yang begitu saja dapat disamakan dengan tradisi-tradisi keagamaan lainnya.
            Tradisi alkitab adalah tradisi yang mengikat dan mewajibkan Umat Kristen. Ini berarti pula, bahwa yang menjadi masalah khusus dalam hermeneutik alkitabiah, adalah bagaimana dapat menerangkan bahwa tradisi alkitabiah terus mengikat dan mewajibkan Umat Kristen sekarang. Bagaimana orang dapat memahaminya, sehingga orang benar-benar merasa diri terikat.
            Untuk menerangkan masalah ini ada dua hal yang perlu kita catat.
Alkitab berisikan kejadian-kejadian historis yang tidak bertahan, bahkan yang hilang lenyap, sama seperti kejadian-kejadian historis lainnya. Artinya kejadian yang tercantum dalam alkitab secara definitif itu hilang lenyap dan tidak terulang lagi.
Akan tetapi di pihak lain, alkitab bukan saja mengandung laporan tradisi-tradisi historis, melainkan juga mengandung suatu kesaksian dan berita yamg merupakan isi dari tradisi-tradisi historis itu. Dalam istilah prof. Dr. Sri Wismoady Wahono, bahwa dalam alkitab terdapat akta historis dan akta kredo. Orang-orang percaya memahami kejadian-kejadian historis itu sebagai karya penyelamatan Allah dalam sejarah.
Dalam hermeneutik alkitabiah ini disadari adanya kaitan antara traddisi alkitabiah yang historis itu dengan pewartaan itu sendiri. Kedua aspek itu sama sekali tidak dapat dipisahkan. Kesaksian itu tidak mungkin dapat dipisahkan dari kejadian-kejadian historis. Lebih dari itu hermeneutik alkitabiah ini mengikat dan mewajibkan orang kristen terhadap tradisi historis dan pewartaan alkitab. Mengapa demikian? Karena tradisi historis dan berita alkitab itu berasal dari orang-orang percaya dulu. Itu berarti bahwa kepercayaan orang dulu sama dengan kepercayaan orang-orang sekarang. Konsekwensinya ialah, bahwa kepercayaan orang orang sekarang tidak akan melebihi kepercayaan orang-orang dulu. Mengapa demikian? Karena kepercayaan orang-orang sekarang ditimbulkan oleh kesaksian sebagaimana kepercayaan orang dulu yang diberitakan alkitab. Karena itulah kepercayaan orang sekarang termasuk dalam kepercayaan orang dulu. Kepercayaan itu sampai kepada umat sekarang melalui sejarah yang tercantum dalam alkitab. Kepercayaan umat lahir dari dan oleh sejarah, berlangsung dalam sejarah dan dipertahankan oleh pemberitaan yang tercantum dalam alkitab. Inilah ciri alkitab yang mengikat dan mewajibkan. Ciri khas inilah yang harus diperhatikan sungguh-sungguh, sehingga benar-benar orang tertolong dalam memahami alkitab. Dengan prasyarat mengikat dan mewajibkan itu membuat tradisi historis yang mengandung kesaksian tentang sejarah tindakan penyelamatan Allah itu menjadi aktual bagi umat sekarang.
            Berdasarkan prasyarat/ciri hermeneutik alkitabiah yang mengikat dan mewajibkan itu, maka ada ciri lain yang perlu ditambahkan, yaitu ciri/prasyarat, bahwa hermeneutik tidak dapat mengambil sikap kritis terhadap kesaksian yang terdapat dalam alkitab. Sikap kristis hanya dapat dilakukan dalam metode kritis historis. Setelah kritis historis ditemukan, maka ketika memasuki wilayah makna dan kesaksian, sikap kritis itu sudah harus ditinggalkan, dan disertai sikap pasrah. Dengan jalan ini, maka terhindarlah seseorang dari kecenderungan eiksegese.
            Berbarengan dengan sikap ini, orang tidak lagi bebas memilih: menerima atau menolak, justru sebaliknya, bahwa prapaham dan paham orang harus disesuaikan  dengan kesaksian yang diberitakan alkitab, sehingga melahirkan kepercayaan yang sama. Dengan perkataan lain, bukan manusia atau umat yang menilai alkitab, tetapi alkitablah yang menilai dan mengeritik kepercayaan , paham dan pemikiran umat.

Sitz im leben

            Ciri lain yang perlu diperhatikan lagi ialah Sitz im leben. Artinya konteks hermeneutik itu sendiri. Dengan perkataan lain, lingkungan , rangka situasi di mana hermeneutik itu berperan dan berfungsi. Yang dimaksudkan dengan Sitz im leben di sini ialah, lingkungan hermeneutik itu berfungsi. Lingkungan yang dimaksud ialah umat yang sudah percaya sebagaimana kepercayaan orang dahulu. Mereka inilah yang berkumpul dan mendengarkan firman Tuhan Allah yang berwibawa, yang mengungkapkan kepercayaan orang dahulu – tentang tidakan penyelamatan Allah dalam sejarah. Di lain pihak umat itu diciptakan oleh firman Allah melalui kepercayaan yang dilahirkan oleh firman Allah. Mereka ini menanggapi firman itu  dengan iman, sehingga menjadi firman Allah yang diperdengarkan kepada jemaat, yang berisikan sesuatu yang terjadi sekarang, yakni tindakan penyelamatan Allah melaui: pengampunan dosa, pengaruniaan roh Kudus, menghibur, menasihati, dan sebagainya.
            Dengan perkataan lain hermeneutik sebagai ilmu hanya berupa refleksi atas apa yang terjadi dalam jemaat.
            Oleh karena itu, setiap penyampaian firman Allah dalam bentuk apa saja harus disampaikan secara hermeneutis dan bukan bahan informasi belaka. Bahkan harus disampaikan menurut sitz im leben aslinya, sehingga tetap aktual.
            Sitz im leben bukan saja memperhatikan sitz im leben umat yang mendengarkan firman Allah sekarang, tetapi juga memperhatikan zitz im leben mereka pada waktu tradisi alkitab itu ditulis. Mengapa demikian? Karena kesaksian alkitab  juga sangat ditentukan oleh Sitz im leben mereka yang hidup pada waktu itu. Misalnya, ketika kita membaca Amos 4:4-5. Kita tidak akan memahami dengan baik kesaksian teks ini, apabila kita tidak memperhatikan apa yang terjadi pada waktu Amos berbicara pada waktu itu. Karena itu kritik historis sangat penting untuk diperhatikan.

Beberapa kesimpulan mengenai hermeneutik:
Hermeneutik alkitabiah ialah ilmu yang menolong untuk dapat mengaktualkan berita yang terkandung dalam kejadian historis yang dipaparkan dalam tradisi alkitab.
Hermeneutik berfungsi untuk melayani berita alkitab, sehingga kepercayaan orang dahulu yang berlangsung dalam sejarah menjadi milik umat sekarang – oleh karena itu umat merasa terikat dan wajib mendengarkan firman itu.
Sebab itu, hermeneutik herus menghindari/melepaskan sikap kritis terhadap kesaksian itu, kecuali sikap kritis terhadap kritis historisnya. Hermeneutik harus menolong orang untuk pasrah pada kesaksian itu dan memberi dirinya kepada kepercayaan, pemahaman, dan pemikirannya untuk dikritik alkitab, dan bukan sebaliknya.

Tugas Hermeneuse Alkitabiah dan Prisip yang berperanan di dalamnya
Ø  Tugas Hermeneuse
            Dari catatan di atas, kita sudah mengetahui bahwa tugas hermeneutik/hermeneuse alkitabiah mempunyai persamaannya dengan hermeneutik/hermeneuse umum. Berbedanya hanya dalam prapaham tertentu. Kali ini kita lebih mempertajam pemahaman kita tentang tugas hermeneutik/hermeneuse alkitabiah..
            Berdasarkan tugas umum hermeneutik/hermeneuse,, maka tugas itu dapat dibagi atas tiga.
Hermeneuse bertugas menemukan syarat-syarat, menyingkapkan, dan membuka jalan yang memungkinkan salah satu kesaksian alkitab dapat dipindahkan kepada manusia/masyarakat yang mempunyai konteks yang berbeda sekali, baik secara historis, maupun secara kultural rohani, rasa dan pandangan hidup, paham terhadap dunia, manusia, dan sebagainya. Mengapa berbeda? Karena dokumen/alkitab terjadi dalam sejarah
Hermeneuse perlu menentukan jalan-jalan manakah yang harus ditempuh, supaya tradisi historis itu sungguh-sungguh dimengerti dan dapat berarti serta bermakna secara eksistensial. Untuk itu hermeneuse perlu mengerjakan hal-hal sbb.
Dengan bantuan hermeneutika tradisional yang sedikit diperluas (melalui metode kritis lteral historis) hermeneuse berusaha menemukan isi riil dan makna dokumen alkitab itu dalam konteks historisnya sendiri dan atas persoalan manakah teks alkitab itu mau memberikan jawaban.
Menentukan manakah konteks historis kultural manusia yang menerima kesaksian alkitab itu.. Hermeneuse perlu menyingkapkan bagaimana pada manusia dengan konteks historisnya sekarang ditemukan persoalan fundamental dan eksisitensial yang sama seperti yang menjadi latar belakang teks alkitab itu. Untuk ini kita perlu pula mempelajari anthropologi budaya dsb.
Mempertemukan butir 1 dan 2. Maksudnya bahwa hermeneuse itu bertugas supaya sifat historisnya dinilai semestinya dan seteliti mungkin, sehingga konteks historis dilihat dengan jelas. Selanjutnya konteks historis  dari teks alkitab itu dipertemukan dengan konteks historis yang baru (pendengar firman sekarang). Hal ini perlu, agar konteks historis teks dan konteks historis yang sekarang tidak menghalangi isi tradisi itu ditangkap
Untuk itu hermeneuse perlu juga memperlihatkan dan menonjolkan segi-segi yang relatif dan segi-segi yang umum dalam tradisi historis, dan apa yang benar-benar relevan di dalamnya.
            Dengan perkataan lain dokumen historis itu harus disampaikan kepada manusia dalam situasi historis lain sedemikian rupa, sehingga menimbulkan tanggapan, kepercayaan yang sama dengan kepercayaan yang bersaksi lewat kesaksian alkitab. Hal itu hanya dapat terjadi, apabila kesaksian itu dialami sebagai jawaban atas persoalan dan keperluan fundamental manusia, yaitu kebutuhan akan penebusan/penyelamatan dari eksistensi yang tampaknya hampa dan kosong.
Dengan demikian ciri yang mengikat dan mewajibkan tidak hanya berdasarkan pada kewibawaan lahiriah (bukan hanya karena alkitab adalah suci), tetapi oleh karena hermeneuse mampu mengemukakan jawaban atas persoalan fundamental eksistensi manusia yang membuat orang sungguh-sunggu menyambutnya dan menuntut orang untuk mengambil sikap, entah menolak sekalipun.
Satu hal yang perlu dicatat, ialah bahwa walaupun ketiga tugas hermeneuse itu tidak dapat dipisah-pisahkan, namun ketiga pekerjaan itu tidak musti dikerjakan oleh seorang saja. Tugas itu dapat dibagi-bagi menurut keahliannya. Ada ahli yang secara serius memperhatikan konteks historis teks-teks alkitab; ada pula yang memperhatikan konteks historis penerima kesaksian itu sekarang. Para pelayan firman dapat mengambil alih hasil penelitian itu untuk memasang jembatan dalam mengaktualisasikan kesaksian alkitab  bagi menusia masa kini.


Prapaham

            Apa yang dimaksudkan dengan prapaham telah disinggung dalam penjelasan di atas. Kali ini kita mencoba memperdalam isi dari prapaham ini.

Prapaham pada umumnya. Prapaham sama dengan pra pengertian. Kita dapat merumuskannya sebagai berikut. Prapaham adalah suatu pandangan dan pengertian terhadap dunia, hidup, dan manusia, yang mau tidak mau ada pada siapapun yang mau memahami sesuatu misalnya, membaca alkitab atau ilmu-ilmu lain. Sebelum menyelidiki atau memahami sesuatu, seseorang sudah mempunyai prapaham/pra anggapan/pra pengertian terhadap apa yang mau diselidiki. Walaupun belum tentu cocok dengan hasil penyelidikannya nanti.

Dalam hermeneutik, prapaham yang tepat (tidak sama dengan benar). Prapaham yang tepat menjamin bahwa seseorang dapat mengajukan pertanyaan yang tepat dan menentukan pula jawaban yang tepat. Akan tetapi perlu dicatat bahwa prapaham itu tidak perlu berperan  dalam proses memahami (alkitab).  Sebab penyelidikan itu bersifat ilmiah, sedangkan prapaham adalah pra anggapan yang pra  ilmiah. Dengan demikian hermeneuse/hermeneutik hanya berupa refleksi terhadap proses memahami. Prapaham kadang-kadang juga disebut situasi hermeneutik, tidak untuk menekankan isi prapaham penafsir.

Tafsiran dengan prapaham. Pertama-tama perlu kita bedakan antara pra paham dari pra sangka. Pra sangka ialah sesuatu keputusan mutlak yang diambil sebelum ada penyelidikan. Kira-kira demikian  jalan pikirannya. Ia ingin memperoleh sesuatu dari alkitab yang sesuai dengan pendapatnya sendiri. Akibatnya terjadilah apa yang disebut eiksegese. Sedangkan pra paham lebih cocok dikatakan sebagai latar belakang yang dari dalamnya orang mengajukan pertanyaan, dan pertanyaan itu harus benar-benar pertanyaan dan bukanlah jawaban yang berkedok pertanyaan. Seseorang yang menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, mendorongnya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu dan mengharapkan jawaban tanpa menentukan jawaban mana yang akan ditemukan  Ia bukan hanya mempunyai masalah, tetapi juga sudah ada salah satu jawaban atas masalahnya. Sebab tidak mungkin orang menhadapi alkitab dengan sikap netral dan dingin tanpa mempunyai latar belakang yang membuat orang itu secara pribadi merasa terlibat pada apa yang diharapkan dari alkitab itu.  Keterlibatan itu dirangsang oleh harapan untuk menemukan jalan-jalan yang dapat menjawab masalahnya. Kalau tidak ada masalah dan kalau tidak ada harapan memperoleh jawaban dari alkitab, orang tidak mungkin dapat penyelidiki alkitab. Berarti bagaimanapun, setiap orang yang menghadapi alkitab harus selalu ada pra paham. Yang perlu dijaga ialah, jangan sampai prapaham berubah menjadi  prasangka.

Pra paham yang tepat. Tugas hermeneuse selanjutnya sebagai bagian dari hermeneutik  untuk menemukan pra paham yang tepat pada orang-orang yang secara eksistensial memahami alkitab. Dalam hal ini dibedakan pra paham terhadap alkitab secara menyeluruh, dan pra paham terhadap masing-masing bagian alkitab.
Pra paham yang tepat terhadap Kitab Suci secara menyeluruh. Dalam catatan sebelumnya, kita sudah membahas ciri khas alkitab, yang dengan pra paham itu orang mendekati alkitab (mengikat dan mewajibkan). Tanpa pra paham yang tepat orang tidak mungkin dapat mendekati Kitab Suci secara tepat dan orang juga tidak mungkin dapat mengajukan pertanyaan yang tepat. .

Menghadapi alkitab tidak mungkin tanpa prapaham. Walaupun prapaham itu tidak perlu lengkap dan seluruhnya tepat.
            Paling kurang harus ada prapaham bahwa alkitab itu perlu dianggap sebagai kitab keagamaan yang dapat memberikan jawaban terhadap masalah-masalah keagamaan dan bukan jawaban atas masalah sosial-politik. Kitab Suci memang mempunyai dimensi sosial-politik, tetapi belum tentu mampu memecahkan masalah sosial politik secara konkret dalam pengertian alkitab secara hurufiah. Orang dapat mengajukan pertanyaan dengan prapaham latar belakang sosial politik, namun bukan untuk menemukan jawabam atas masalah-masalah sosial politik, tetapi untuk menemukan dimensi sosial-politik.. Misalnya  kita tidak menemukan teks-teks alkitab yang berbicara tentang narkoba. Kita juga tidak menemukan teks alkitab berbicara tentang sistim pemerintahan di Indonesia.
            Prapaham itu masih bisa dikoreksi melalui pemahaman itu sendiri. Akan tetapi perlu diingat bahwa prapaham itu tidak boleh seluruhnya salah. Prapaham lain seperti yang kita catat sebelumnya, alkitab sebagai kesaksian jemaat yang percaya tentang tindakan dan penmyelematan Allah dalam sejarah, yang menurut tradisi iman kristen  mencapai puncaknya pada diri Yesus. Di samping itu alkitab juga merupakan kesaksian yang mengandung berita yang menimbulkan kepercayaan yang sama pada pembaca alkitab.. harus pula disadari bahwa kesaksian itu diberitakan dengan mengunakan bahasa yang sesuai dengan kultur historis orang percaya dulu, walaupun  bahasa dan situasi sejarah itu tidak lebih daripada alat saja, yang berfungsi untuk menemukan apa yang hendak disaksikan alkitab. Bahasa itu hendak menyaksikan suatu realitas karya penyelalamatan Allah dalam sejarah. Bersamaan dengan itu, bahasa itu bermaksud membahasakan respons orang yang menyambut realitas itu.
            Karena itu, hermeneuse, pertama-tama harus mencari realitas itu melalui bahasa yang berbeda-beda; setelah setelah realitas itu tercapai barulah  tafsir Kitab Suci itu tepat.
            Suatu hal yang perlu kita ingat pula dalam mendekati alkitab ialah, bahwa kesaksian alkitab itu sendiri sebenarnya adalah sebuah interpretasi terhadap tindakan dan karya penyelamatan Allah. Interpretasi itu sendiri ditentukan oleh situasi historis dan eksistensial tertentu. Dengan perkataan lain orang percaya dulu juga mempunyai prapaham yang turut mempengaruhi interpretasinya, walaupun prapaham itu dikoreksi pula atas dasar realitas yang diinterpretasi. Sebenarnya kita tidak lagi menemukan realitas yang semurni-murninya. Penafsiran mengenai Tuhan Yesus dalam Injil-injil misalnya. Tuhan Yesus menurut injil Matius tentu sudah mengalami interpretasi sesuai dengan cara pandang Penulis injil Matius, yang tentu berkaitan dengan realitas historis penafsir/penulis injil Matius. Demikian pun Tuhan Yesus menurut penafsir/penulis injil-injil Markus, Lukas, dan Yohanes. Coba bandingkan narasi peristiwa angin ribut dalam Injil Matius 8:23-27, dengan Luk 8:22-25 dan Mark 4:35-41.
            Hal yang terakhir yang perlu diperhatikan dalam kita mendekati Kitab Suci ialah : bahwa Alkitab sebagai sarana hermeneuse mempunyai struktur dialog. Allah bertindak dan berfirman mengenai tindakan-Nya dan jemaat memberikan responsnya. Struktur dialog ini perlu diketahui dan dirasakan sebelum orang benar-benar dapat memahami alkitab.

Prapaham terhadap isi Alkitab
            Prapaham yang dimaksud ialah prapaham dalam rangka usaha memahami isi dari bagian alkitab. Pada prapaham pertama yang telah kita catat, menentukan prapapaham yang tepat, sehingga orang juga dapat mengajukan prapaham yang tepat. Demikian juga dalam hal mendekati isi dari bagian-bagian alkitab. Namun dalam mendekati isi bagian-bagian alkitab itu selain mengajukan pertanyaan yang tepat, juga pertanyaan-pertanyaan itu harus konkrit. Masalah konkrit yang diajukan itu sendiri harus pula secara eksisitehsial. Itu berarti bahwa masalah konkrit itu mempunyai sangkut paut dengan masalah konkrit jemaat. Sedikit tidaknya masalah konkret itu sudah diketahui dan untuk itu sudah ada pula. Jawabannya paling tidak, memuaskan. Misalnya orang mengajukan pertanyaan tentang keadilan atau kejahatan. Sebelum seseorang mencoba memahami bagian alkitab, ia sudah mempunyai prapaham tentang keadilan atau kejahatan itu. Misalnya bagian alkitab yang ingin kita dekati ialah Mikha 3:1-12.

Lingkaran Hermeneutik

            Yang dimaksudkan dengan lingkran hermeneutik ialah, pertemuan antara prapaham dengan apa yang difirman dalam alkitab. Di sinilah letaknya inti proses memahami. Dalam pertemuan antara prapaham dengan apa yang difirmankan itu, perlu ada keterbukaan dari prapaham itu. Prapaham itu perlu membuka diri untuk dikeritik dan diperbaiki oleh apa yang difirmankan. Dalam proses ini, prapaham itu dikonfrontasikan dengan apa yang dikatakan atau dengan apa yang difirmankan, sehingga  terjadilah semacam krisis atau penilaian, yang menyebabkan prapaham itu dijelaskan terus menerus tanpa batas waktu. Menurut Dilthey (ahli hermenetik), lingkaran hermeneutik termasuk ke dalam proses memahami sendiri dan menjadi unsur hakiki.. Artinya, dalam proses memahami alkitab itu mutlak harus terjadi pertemuan antara prapaham dengan apa yang difirmankan dan juga secara mutlak harus terjadi proses yang konfrontatif antara prapaham dengan apa yang difirmankan atau yang dipahami, sehingga terjadi krisis atau penilaian yang didasarkan pada sifat terbukanya prapham itu. Tanpa unsur hakiki ini, seseorang tidak akan dapat memahami firman Allah secara baik dan tepat.

Metode-metode penafsiran

            Untuk meneliti teks-teks Kitab Suci, para ahli sejak  gereja mula-mula sampai dengan zaman modern ini telah menggunakan berbagai metode tafsiran. Salah satu bahasan kita ketika belajar Bidang Studi Introduksi alkitab, kita sudah mengetahui pendekatan-pendekatan yang dirangkum oleh Martin Achard dalam bukunya yang berjudul,”An Approach to the Old Testament.

            Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, saya mencatat kembali pendekatan-pendekatan  yang dimaksud secara singkat.
Pendekatan Atomistis. Asal kata atom (bagin terkecil). Pendekatan ini bertolak dari suatu keyakinan bahwa alkitab itu adalah Firman Allah. Setiap kitab, halaman ayat telah mendapat inspirasi dari Allah. Tuhan berada di atas semua penulis, keadaan, persoalan yang bersangkut paut dengan alkitab. Dasar pendekatan ini ialah 2 Tim 3:16 dan 2 Pet 1:21.
Pendekatan Historis. Pendekatan ini menyadari bahwa alkitab ini ditulis dalam waktu dan sejarah yang panjang dan ditulis dalam konteks sejarah Israel (alkitab ada sejarahnya). Pembacaan historis ini sering juga menganggap bahwa semua yang dicatat dalam PL adalah fakta sejarah. Pendekatan itu tidak memperhatikan makna teks-teks untuk masa kini.
Pendekatan Tipologis. PL adalah persiapan bagi PB. Semua yang ada dalam PB sudah tercatat dalam PL. PB merupakan pemenuhan terhadap berita-berita PL. Mengabaikan kepelbagaian dan melupakan sama sekali tindakan-tindakan penyelamatan Allah dalam sejarah umat PL.
Pembacaan secara teologis. Pendekatan ini menuntut usaha yang serius untuk menemukan kerugma/berita asli dari kitab-kitab/teks alkitab. Usaha ini bermaksud untuk mempertemukan pembaca dengan Tuhan. Tuhan yang berbicara melalui Amos kepada umatNya pada abad ke-8 sM, berbicara lagi dengan umatNya yang sekarang. Dan umat dituntut untuk memberikan jawaban.





Catatan singkat mengenai keempat pendekatan di atas.
Pendekatan 1 dan 3 sangat hidup di kalangan kau fundamentalis. Tetapi kaum fundamentalis sebenarnya juga lahir dari dari cara pendekatan seperti itu.
Pendekatan seperti itu bisa melahirkan umat yang memiliki sifat fanatisme agama yang berlebihan. Sebab melaksanakan ayat-ayat alkitab secara hurufiah adalah keharusan, sebab itu semua ayat-ayat atau kata-kta berasal dari Allah. Menurut Regerson, tafsiran alkitab yang berdasarkan suatu doktrin atau dogma termasuk dalam penafsiran yang fundamentalistis.
Pendekatan ketiga menuntun orang kepada pemahaman, bahwa alkitab hanya untuk mereka yang hidup pada zaman alkitab. Karena itu, alkitab tidak lagi diperlukan bagi umat sekarang. Alkitab sudah tidak aktual untuk zaman modern.
Pendekatan keempat merupakan pekerjaan yang sulit dan rumit, karena harus menggunakan berbagai metode yang telah ada, terutama metode-metode kritis. Misalnya Kritik historis, krikti sumber, kritik bentuk, kritik sastra, kritik sosial dll. Mmetode ini bisa juga dikatakan sangat teosentris, karena berusaha untuk memahami apa yang dikehendki Allah dari umat-Nya. Jadi tidak sekedar mencari figur dari tokoh-tokoh yang diceritakan alkitab. Akan tetapi kalau dalam usaha pendekatan ini kita hanya menggunakan  salah satu metode kritis saja akan dapat mejauhkan pembaca dari alkitab. Misalnya jika kita hanya menggunakan metode historis kritis saja. Metode ini hanya bisa menjelaskan kepada kita tentang asal-usul teks itu. Dengan metode itu belum bisa menjelaskan kepada kita apa yang menjadi kerugma dari teks yang kita baca itu. Keuntungan lain dari pendekatan ini kita bisa menemukan beberapa penekanan  kerugma dari satu teks. Kita bisa mengetahui bahwa suatu teks sudah pernah ditujukan kepada dua atau tiga komunitas yang hidup dalam dua atau tiga zaman yang berbeda.

Berbagai metode penafsiran

Pada zaman modern ini di kenal metode diakronis. Menurut Martin Harun, “Pendekatan diakronis ini adalah penggunaan metode-metode tafsir yang biasa menjelaskan arti teks berdasarkan sejarah perkembangan penulisan, peredaksian dan penerimaan atas teks tersebut.  Dengan kata lain, analisis diakronis memandang teks final alkitab sebagai suatu jalinan bahan-bahan yang cukup beragam dan telah melalui suatu tahap perkembangan yang panjang. Dengan demikian arti teks itu pun berkembang sesuai perkembangan zaman (Forum Biblika, no. 8/1998, hlm. 94)”. Yang termasuk metode diakronis ialah, metode-metode kritis, seperti kritik sumber, kritik bentuk, kritik redaksi, sastra, d.l.l. (Forum Biblika, no. 8, 1998, hlm. 94-95).
Di samping metode-metode diakronis dikenal juga metode-metode Sinkronis. Yang dimaksudkan dengan metode-metode sinkronis ialah, metode-metode yang bertolak dari pandangan bahwa alkitab merupakan suatu karya tulis yang utuh. Metode sinkronis berbeda dari metode-metode diakronis. Kalau metode-metode diakronis sangat memperhatikan hal-hal yang ada di balik teks atau historis suatu teks, maka metode-metode sinkronis, sama sekali mengabaikan hal-hal yang ada dibalik atau sejarah yang melatarbelakangi suatu teks. Beberapa metode sinkronis yang dikenal sekarang antara lain, metode naratif yang lebih menaruh perhatian pada struktur lahiriah sebuah narasi. Metode sinkronis yang lain yang digunakan secara luas, ialah metode strukturalis yang menaruh perhatian pada struktur berdasarkan isi/pemahaman sebuah teks.


Beberapa metode diakronis.
Ø  Metode Kritik sumber
Prinsip kerja kritik sumber selalu bertolak dari pertanyaan-pertnyaan, seperti, a) apakah pada teks yang diteliti menunjuk adanya sumber?
b) apa yang dikatakan sumber tersebut?
c) apa yang dilakukan pengarang terhadap sumber tersebut (menyalinkah, mengubahkan, salah pahamkah)? Perhatian terhadap ketiga pokok itu akan membantu kita untuk memahami proses terjadinya sebuah teks, sekaligus memahami maksud dan sumbangan penulis sendiri.
Hal-hal yang bisa membantu kita untuk menemukan adanya sumber-sumber dalam sebuah teks ialah, 1) pernyataan langsung dari pengarang bahwa ia mengutip kata-kata/kalimatnya itu dari sumber tertentu. Misal Yosua 10:13 yang menurut penulis dikutip dari Kitab orang Jujur. 2)ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan internal. Misalnya, ayat tertentu memutuskan alur pemikiran dan/atau menggunakan gaya bahasa yang berbeda dari konteksnya. Juga masalah kosa kata dan corak literer yang amat berbeda dari bagian lain dari sebuah teks. Contoh dari butir 2 antara lain kisah tentang Yesaya dan Hiskia (Yes 36-39) tanpa petunjuk dapat diketahui bersumber pada 2 Raj 18-20. Kitab Tawarikh pasti menggunakan Kitab Samuel dan Raja-raja. Kelima Kitab Musa dipastikan merupakan jalinan berbagai sumber (lihat catatan Introduksi PL). Penelitian berdasarkan sumber itu penting untuk membantu memahmai makna sumber tersebut dalam situasi umat yang lebih awal. Contoh, Kel 19:16-20. Banyak ahli yang berpendapat bahwa teks ini merupakan jalinan  dari beberapa sumber.
Walau pun tidak ada petunjuk langsung mengenai hal itu, tetapi beberapa pertimbangan internal memperlihatkan hal itu.  Teks ini agaknya terdiri dari dua bagian yang bisa dibedakan berdasarkan beberapa hal, antara lain nama Tuhan yang dipakai yaitu Elohim dan YHWH. Kedua bagian yang dimaksud juga  memperlihatkan gejala alam yang berbeda sebagai simbol. Ayat 18 dan 20, TUHAN (YHWH) turun ke atas gunung Sinai disertai gejala alam seperti letusan gunung berapi:api, gumpalan asap dan getaran gunung. Tujuan kedatangan YHWH menjumpai Musa tanpa umat Israel. 
            Sementara penggambaran dalam 16-17,19 berbeda sekali dari ayat 18,20. Ayat-ayat ini sama sekali tidak menggunakan nama YHWH (TUHAN), tetapi menggunakan nama Elohim (Allah). Kehadiran Allah digambarkan dengan gejala alam yang berbeda pula dari gambaran pada ayat 18,20. Ayat-ayat ini menggambarkan bahwa Allah bukannya turun, tetapi Allah tinggal di atas gunung dan menyatakan kehadirannya itu melalui gejala alam seperti angin ribut yang dahsyat, yakni, guruh, kilat, awan gelap, dan bunyi seperti sangkakala. Yang gemetar pada ayat-ayat ini bukan gunungnya, melainkan bangsa Israel. Bangsa Israel dipanggil untuk berjumpa dengan Allah, tetapi mereka takut. Musa hanya berurusan dengan bangsa Israel yang takut dan gemetar di kaki gunung itu. Dari situlah Musa berbicara kepada Allah, dan Allah menjawabnya dari atas gunung.
            Perbedaan yang tampak pada dua bagian teks ini memperlihatkan bahwa teks Kel 19:16-20 merupakan jalinan dua sumber yang berbeda yakni Yahwist dan Elohist. Yahwist (18,20) berusaha menghidupkan kembali teofani Tuhan di Sinai dengan menggunakan gambaran gunung berapi untuk melukiskan YHWH yang turun ke puncak gunung untuk menjumpai Musa. Di Yehuda memang tidak ada gunung berapi. Tetapi penulis sumber Yahwist pernah mendengar tentang letusan gunung berapi di Jazirah Arab.
Ketika Yahwist berbicara tentang tiang awan dan tiang api, agaknya Yahwist mengingat versi teofani yang lebih kuno. Sedangkan ayat 16-17,19, yang berasal dari Israel Utara menggunakan cara yang dikenal di Utara untuk menyatakan teofani Allah, yakni  gejala alam yang sering terjadi di Galilea Atas dan pegunungan Libanon Selatan, seperti kedahsyatan angin ribut. Gambaran-gambaran yang digunakan oleh kedua sumber ini bermaksud untuk membuat umat terkagum-kagum dan takut akan kehadiran Allah. Dalam konteksnya masing-masing sumber memberikan makna tersendiri yakni agar umat tetap setia kepada Allah yang tampak dalam kehidupan umat setiap harinya. Walaupun demikian kedua sumber ini menekankan hal yang berbeda. Yahwist lebih menekankan kekuasaan Allah sebagai pencipta yang menguasai alam (gunung yang gemetar).
Sementara Elohist menekankan keterbatasan umat dan keagungan Allah. Karena itu umat harus selalu taat dan tunduk kepada Allah. Kedua penekanan yang berbeda ini berkaitan dengan konteks masing-masing (yang ditekankan dalam metode kritik bentuk). Yahwist berhadapan dengan yang masih memperlihatkan kedekatan umat dengan Tuhan yang tampak dalam ketaatan umat dengan Tuhan. Sedangkan Elohist berhadapan dengan umat yang tingkat pemberontakan kepada Tuhan sudah memuncak sejak Israel pecah menjadi dua kerajaan yang berakhir dengan dibuangnya Israel Utara ke Asyur.
            Akan tetapi redatur yang menggabungkan kedua sumber ini agaknya lebih menekankan ketokohan Musa sebagai penerima hukum, peraturan, peringatan, dan ketetapan. Pada masa pembuangan mereka sangat memerlukan tokoh Musa agar umat kembali sungguh-sungguh memperhatikan berbagai hukum, terutama dalam rangka mendukung kehidupan Israel baru yang telah mengalami penghukuman Allah di babel (redatur itu, kemungkinan sekali para imam= Priester-P). Alinea ini merupakan pekerjaan metode kritik redaksi. Dalam penelitian suatu teks dengan mengunakan metode diakronis kita memerlukan beberapa metode diakronis untuk sampai kepada makna teks bagi umat sekarang.

Ø  Metode Kritik Bentuk
            Yang dimaksudkan dengan metode penelitian sejarah bentuk ialah penelitian yang menaruh perhatian terhadap tahapan atau proses terjadi teks dalam bentuk sekarang, mulai dari berita mulut ke mulut, penulisan awal, tahap penulisan berikutnya sampai kepada taha penulisan akhir yang menghasilkan bentuk tulisan yang kita miliki sekarang. Dapat dikatakan bahwa penelitian Sejarah Bentuk adalah penelitian yang memusatkan perhatiannya kepada unit terkecil dari suatu tulisan. Akan tetapi penelitian bentuk juga mencakupi usaha menjelaskan dalam keadaan sosial dan dalam keadaan atau kesempatan yang bagaimanakah unit-unit kecil yang membentuk teks terakhir disampaikan (berbicara tentang relevansinya unit-unit itu dengan keadaan sosial yang terjadi ketika unit-unit itu disampaikan). Dengan perkatan lain metode Kritik Bentuk tidak hanya berusaha menemukan bentuk unit-unit terkecil dari sebuat tulisan, tetapi juga berusaha menemukan situsai kehidupan tertentu (Sitz im Leben/Seting in life/konteks sosial). Groenen menyadari dan sangat menekankan metode Kritik Bentuk ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas menafsir teks alkitab. “Setiap ahli alkitab yang mau bekerja secara bertanggung jawab harus menggunakan metode ini.” (Groenen, Hermeneuse, hlm. 84). Hal-hal seperti yang diktakan Groenen ini telah banyak kita bicarakan dalam Bidang studi Introduksi Alkitab.
            Dalam usaha menafsirkan teks-teks Perjanjian Lama, khususnya Kitab Taurat mustinya kita terbantu oleh adanya teori sumber yang akhir-akhir ini tidak disukai benyak orang. Mereka yang tidak menyukainya itu memang mempunyai alasan. Alasan mereka adalah, bahwa dengan memilah-milah teks alkitab dengan mengelompokkan teks-teks  atau ayat-ayat alkitab  menurut teori sumber telah mengaburkan berita alkitab. Memang apa yang dikatakan mereka itu bisa benar, kalau orang hanya sampai kepada kritik sumber. tetapi kalau kita sepakat dengan apa yang kita ketahui dalam studi sebelumnya dan yang dikatakan Groenen, maka teori sumber yang dihasilkan metode penelitian sejarah sumber menjadi sangat penting dalam tugas penafsiran yang menggunakan metode Kritik Bentuk.
Sebab dengan ditentukannya sumber-sumber Kitab Taurat, maka sekaligus kita juga akan mengetahui masa-masa penulisan dari sumber-sumber Kitab Taurat itu. Bukan hanya itu, teori sumber juga membantu kita untuk menentukan unit-unit kecil dari suatu teks berdasarkan teori sumber, sekaligus dengan ditentukannya masa penulisan sebuah sumber akan memudahkan penelitian bentuk menemukan apa yang diinginkan metode tersebut, seperti unit-unit kecil teks yang diteliti, dan konteks sosial dari unit-unit itu. Hal ini sebenarnya sudah jelas juga dari contoh yang diberikan ketika kita membahas metode Kritik sumber (Kel 19:16-20).

Ø  Metode Kritik Redaksi
Metode ini berusaha meneliti cara-cara dan kegiatan para redaktor teakhir ketika menyunting warisan tradisi yang terdiri dari berbagai sumber itu. Martin Harun merumuskan metode Kritik Redaksi sbb.
“Penelitian redaksi adalah salah satu metode pembacaan alkitab yang bertujuan menyelidiki maksud dan tujuan teologis dibalik penyuntingan bahan-bahan tradisional oleh para redaktur kitab-kitab alkitab. Dalam rangka ini Penelitian Redaksi menyelidiki ‘kedudukan dalam kehidupan’ para redaktur tersebut (Foru Biblika, No. 8, 1998, hlm. 42).”
            Perlu disadari bahwa metode ini bukan satu-satunya metode penafsiran. Bahkan metode ini baru bisa dimulai kalau ada masukan dari hasil penelitian metode Kritik Sumber. Perhatian utama metode ini ialah arti teologis/berita yang mau disampaikan para redaktur kepada pembaca yang menjadi sasarannya. Hal yang dikerjakan redaktur ialah menyunting bahan-bahan yang tradisionalsedemikian rupa sehingga relevan dengan dengan situasi dan kebutuhan pendengar, sasaran redaktur.
            Beberapa ahli seperti von Rad dan lainnya berpendapat bahwa Kitab Taurat merupakan redaksi terakhir yang berasal dari penulis-penulis Priester (P) yang hidup di pembuangan dengan maksud memberikan pengharapan kepada bangsa Israel yang ada dalam pembuangan, bahwa mereka sedang dalam proses kembali ke tana air. Karena itu  suasana di padang gurun dipertahankan dalam Kitab Taurat. Pemahaman bahwa bangsa Israel yang di Babel seolah-olah berada di padang gurun dikuatkan oleh nabi-nabi Hosea dan Yeremia. Hosea pernah mengatakan bahwa Israel akan kembali kepadang gurun sebagai penghukuman Allah atas dosa-dosa Israel. Tambahan-tambahan Penulis P yang berkarya di pembuangan itu dimulai dengan cerita penciptaan  (Kej 1:1-2:4a) dan ditutup dengan karya Deuteronomis yang masih dipertahankan oleh P untuk menekankan bahwa mereka yang di Babel akan kembali memasuki tanah Kanaan (Band. Ul 34:1-4) Dalam teks-teks yang berasal dari sumber-sumber tertuapun atau yang lebih tua dari P juga sering kita temukan buah tangan P sebagai redasi terakhir. Karena itu kalau kita membaca teks-teks Kitab Taurat dengan memperhatikan kegiatan redaksi, maka kita pun menemukan makna baru dari teks-teks yang lebih tua. Tetapi sekali lagi penelitian redaksi hanya bisa dilakukan terhadap teks-teks yang telah memperlihatkan adanya unit-unit kecil yang berasal dari sumber yang berbeda dalam suatu teks. Karena itu Kritik redaksi hanya bisa dimulai apabila metode Kritik Sumber telah dilakukan (lihat contoh Kel 19:16-20).

Cara kerja penelitian Redaksi
Penelitian Redaksi ini akan mudah dilakukan apabila kita telah mengetahui secara langsung bahan-bahan tradisional yang digunakan redaktur. Misalnya kita mengetahui bahwa Kitab Keluaran bisa menjadi sumber bagi Kitab Ulangan dan Imamat. Kel 23 menjadi sumber bagi Ul 15 dan imamat 25. Kitab samuel dan Raja-raja menjadi sumber bagi Kita Tawarikh. Misalnya 1 Taw 21:18-22:1 bersumber pada 2 Sam 24:18-25, dan lain-lainnya. Akan tetapi penelitian Redaksi tetap bisa dilakukan tanpa mengetahui secara langsung sumber-sumber yang digunakan redaktur. Dengan membaca teks-teks secara teliti, kita dapat menemukan beberapa cara kerja redaktur:
mengaitkan bahan-bahan tertentu satu dengan yang lain
menambahkan catatannya sendiri pada bahan tradisional
Menyusun ceritanya dalam urutan tertentu
menanggapi atau menafsirkan bahan tradisional
Redaktur mengaitkan bahan-bahan tertentu satu dengan yang lain
Contoh: Kel 3:14-15. Dalam cerita pengutusan Musa, kita membaca jawaban Tuhan atas pertanyaan Musa mengenai nama-Nya. 14. Firman Allah kepada Musa,”Aku adalah Aku.”
Lagi firman-Nya: beginilah kaukatakan kepada orang Israel: Akulah Aku telah mengutus aku kepadamu.” 15. Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa:, Beginilah kaukatakan  kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu…” Dari teks diatas tampak seolah-olah ada dua jawaban yang diterima Musa. Kedua jawaban yang berbeda itu dimulai dengan kata-kata yang sama. Dua jawaban yang berbeda itu dikaitkan oleh redaktur dengan kata-kata, “Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa (awal ayat 15). Dengan demikian jelaslah bahwa jawaban dari Tuhan hanya satu, “Akulah Aku tidak lain dari TUHAN, Allah nenek moyang!

Redaktur menambahkan catatannya sendiri pada bahan tradisional.
Contoh Hos 14:10 yang merupakan tambahan redaktur terhadap Kitab Hosea. Demikianpun Hos  1:1 yang merupakan ayat pembukaan dalam Kitab Hosea. Dengan tambahan redaktur ini , pendengar(pendengar zaman redaktur) dianjurkan untuk menerima isi Kitab Hosea sebagai bimbingan untuk hidup sesuai dengan kehendak TUHAN.

Redaktur menyusun cerita dalam urutan tertentu
Contoh Hak 2:6-23. pasal ini merupakan garis besar serta makna teologis dari cerita-cerita yang terdapat dalam Hak 3-16. Cerita Hak 3-6 disusun menurut skema yang kita temukan dalam Hak 2:6-23.
Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata Tuhan (26:11-13);
Maka bangkitlah murka Tuhan dan Israel diserahkan ke dalam tangan musuh mereka (26:14-15);
Than membangkitkan seorang hakim untuk menyelamatkan Israel (26:16);
Tetapi kemudian Israel melakukan lagi apa yang jahat di mata Tuhan (26:17,19).
Sementara pola Hak 3-16 mengikuti pula pola di atas:
Bangsa israel berdosa;
Ditundukkan oleh musuh-musuh
Berteriak kepada Allah
Diselamatkan melalui perantaraan seorang hakim
Sesudah itu ada periode tentram.

Hal-hal yang perlu di perhatikan  dalan metode redaksi antara lain jangan sampai terjadi tumpang tindih dalam menentukan di mana tangan redaktur kelihatan. Agak sulit bagi kita untuk menentukan di mana letaknya tangan redaktur, jika sumber-sumber bagian alkitab yang kita teliti itu belum kita temukan. Dengan perkataan lain sulit bagi kita untuk menentukan di mana letaknya tangan redaktur apabila kita belum melakukan penelitian dengan menggunakan metode kritik sumber/penelitian sumber.
Hal lain perlu diperhatikan ialah, jangan sampai kita mengabaikan kesatuan teks, karena metode penelitian redaksi. Sebab ketika redaktur menambahkan atau menyela bagian-bagian alkitab yang berasal dari beberapa sumber itu, redaktur pasti mempunyai maksud tertentu dengan teks-teks yang mungkin sudah digabungkan oleh penulis sumber terkemudian dengan beberapa kesamaan dan juga beberapa perbedaannya (lihat contoh sebelumnya). Ketika redaktur membiarkan bahan-bahan tradisional  tetap ada dalam keseluruhan teks, maka sebenarnya redaktur juga menaruh perhatian terhadap teks-teks yang tradisional itu. Kadang-kadang dalam teks-teks sejajar kita tidak menemukan tangan redaktur, tetapi penulis sumber terakhir bisa sekaligus menjadi redaktur. Hal itu bisa terjadi, karena sampai suatu kitab dikanonkan tidak adalah lagi tambahan-tambahan terhadap suatu teks. Perhatikan  2 Taw 1:1-13 yang sejajar dengan 1 Raj 3:3-15. Apakah kita akan muda menemukan tangan redaktur pada teks 2 Taw 1:1-13, sebagai teks yang bersumber pada 1 Raj 3:3-15? Hal yang paling banyak tampak dalam 2 Taw ialah adanya perubahan dan perbedaan anatara kedua teks sejajar itu, tetapi sekaligus juga kesamaannya.
Teolog pembebasan sering mengritik metode-metode diakronis, karena mereka menganggap metode ini tidak pernah sampai kepada hal yang esensial yaitu relevansi teks bagi pergumulan orang miskin.
Akan tetapi, ternyata di antara mereka ada yang mau tidak mau harus menggunakan metode diakronis untuk memperoleh makna esensial teks, yaitu untuk menemukan relevansi teks bagi pergumulan orang tertindas. Misalnya, Milton Schwantes, ketika menganalisis teks Kej 16:1-16. Schwantes menggunakan metode diakronis ketika ia menganalisis teks tesebut. Dalam penelitiannya ternyata ia menggunakan metode kritik sumber, kritik bentuk, dan kritik redaksi. Hasil penelitiannya dengan menggunakan metode diakronis, memperlihatkan bahwa teks tersebut terdiri dari cerita asli (16:1b-2, 4-8, 1-14) dan ayat-ayat sebagai tambahn kemudian (redaktor kemudian, ayat 1a,3,9-10, 15-6).
Cerita asli: Sarai mempunyai seorang hamba perempuan, orang Mesir, Hagar namanya. Berkatalah sarai kepada Abram:”Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak.” Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai. Abram menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu, bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonya itu. Lalu berkatalah sarai kepada kepada Abram;”Penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu; akulah yang memberikan hambaku ke pangkuanmu, tetapi baru saja ia tahu, bahwa ia mengandung, ia memandang rendah akan aku; TUHAN kiranya yang menjadi Hakim antara aku dan engkau.” Kata Abram kepada Sarai:” hambamu itu di bawah kekuasaanmu; perbuatlah kepadanya apa yang kau pandang baik.” Lalu Sarai menindas Hagar, sehingga ia lari meninggalkannya. Lalu malaikat TUHAN menjumpainya dekat suatu mata air di padang gurun, yakni dekat mata air di jalan ke Syur. Katanya:” Hagar, hamba Sarai, dari manakah datangmu dan kemanakah pergimu?” Jawabnya:”Aku lari meninggalkan Sarai nyonyaku.” Selanjutnya kata malaikat TUHAN  itu kepadanya:”Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab Tuhan telah mendengar tentang penindasan atasmu itu. Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.” Kemudian Hagar menamakan TUHAN yang telah berfirman  kepadanya itu dengan sebutan:”Engkaulah El Roi.” Sebab katanya:”Bukankah di sini kulihat Dia yang telah melihat aku?” Sebab itu sumur tadi disebut orang: sumur Lahai Roi; letaknya antara Kadesy dan Bered.                                                                                       
Kalau kita memperhatikan cerita asli seperti yang dianalisis oleh Schwantes, kita dapat melihat bahwa pelarian Hagar merupakan seuatu yang positif, yaitu seorang perempuan yang sadar akan ketertindasannya, dan ia berhasil membebaskan diri dari penindasan yang dialaminya.  Karena itu Schwantes dengan menggunakan metode diakronis justru berhasil menemukan makna esensial dari Kej 16, ketimbang ia mengunakan metode sinkronis yang tidak memperhatikan apa-apa saja yang ada dibalik teks itu. Tanpa menggunakan metode diakronis, kita akan memperoleh makna bahwa pelarian hagar merupakan tindakan negatif mengingat pernyataan pada ayat 1 a, 3, 9-10, 15-16.
            Dengan metode diakronis, schwantes berkesimpulan cerita asli itu berasal dari kaum budak perempuan. Tanpa menggunakan metode kritis/diakronis, teks Kej 16 tidak mungkin sampai kepada makna pembebasan budak, melainkan hanya sampai kepada makna dominasi laki-laki atas perempuan.

Ø  Metode penelitian sosial

            Usaha-usaha untuk memperoleh gambaran/deskripsi mengenai fakta-fakta sosial sudah dilakukan sepanjang sejarah ilmu tafsir, terutama yang dipelopori dan diusahakan oleh teolog-teolog yang muncul pada awal abad ke-20, seperti Gunkel, Dibelius, dan Bultman.
            Akan tetapi, metode-metode Pelitian ilmu-ilmu Sosial baru mulai digunakan sekitar tahun tujuhpuluhan. Walaupun demikian Metode-metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial yang dimaksud tidak terlepas dari deskripsi yang sudah lama diusahakan itu. Metode/teori ilmu soial yang digunakan untuk meneliti fakta sosial alkitab, sebenarnya merupakan pengembangan dari teori-teori sosial yang berasal dari sosiolog-sosiolog terkenal seperti, Karl Marx, Max Weber dan Durkheim pada akhir abad ke-19 dan dua dekade pertama abad ke-20. Dari ketiga sosiolog tersebut lahirlah dua teori terkenal, yaitu teori konflik dan teori fungional.
            Karl Marx yang mengembangkan teori konflik memahami bahwa terbentuknya suatu masyarakat merupakan akibat dari konflik kepentingan antara berbagai kelompok yang ada dalam masyrakat. Marx berpendapat bahwa konflik antara kelompok yang dimaksudkan dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan, sosial, politik, ekonomi dan lain-lainnya. Marx memandang pertentangan antara kelompok itu sebagai pertentangan antar kelas masyarakat.
            Sedangkan Weber yang juga mengembangkan teori sosial konflik membatasi dirinya pada pertentangan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi saja. Berbeda dari Marx, Weber mengunakan istilah kelas dalam pengertian murni ekonomi. Walaupun Weber tidak menolak adanya kelompok-kelompok lain, tetapi kelas ekonomi itulah yang paling berpengaruh. Kelas ekonomi ini disebut oleh Weber sebagai “Status Group (perkumpulan Resmi).” Status Group ini adalah perkumpulan sosial yang mempunyai ciri khusus, dengan berbagai betasan yang mengatur hubungan sosialnya, misalnya, orang Yahudi.
Menurut Weber kekuasaan dapat dibedakan atas tiga kekuasaan yang legitimate. Ketiga kekuasaan yang dimaksud ialah, Kekuasaan yang bersifat hukum (kekuasaan karena hukum); kekuasaan tradisional; dan kekuasaan kharismatis.Dengan cri-ciri kekuasaan ini para ahli PL telah berusaha menentukan kekuasaan para hakim dan raja-raja Israel Karena itu, ada ahli yang mengatakan bahwa para hakim sampai dengan Raja Saul merupakan ciri pemerintahan/kekuasaan kharismatis walaupun Saul sudah didukung oleh kekuasaan hukum.[1]Dari berbagai metode ilmu sosial yang ada, agaknya metode penelitian  Atropologi Sosial dan Antropologi Strukturallah yang banyak digunakan  bagi penelitian alkitab.[2]
Teori Sosial yang kedua yang diperkenalkan Durkheim ialah, teori fungsionalis. Menurut Durkheim, society (masyarakat) adalah kenyataan utama yang menentukan individu secara material, mental dan spiritual. Kesadaran kolektivitas tergantung pada kepercayaan dan perasaan dari mereka yang menjadi anggota masyarakat. Pada tahap awal perkembangan, sebuah masyarakat memiliki kesadaran solidaritas yang bersifat mekanis, di mana semua anggota masyarakat memiliki kesamaan dalam banyak hal. Misalnya keanggotaan kelompok yang sama, perasaan yang sama, kepentingan yang sama, nilai yang sama, kepercayaan yang sama, dan lain-lainnya.
Pada tahap perkembangan selanjutnya, masyarakat yang demikian akan memiliki kesadaran solidaritas organis yang ditandai oleh kesadaran kolektivitas yang lebih berfokus pada individu dan ikatan-ikatan sosial yang tradisional hilang. Tahap perkembangan yang demikian disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan masyarakat oleh masuknya penduduk-penduk baru yang berasal dari kelompok yang berbeda-beda. Misalnya gejala terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan. Keadaan masyarakat yang demikian akan cenderung kepada perjuangan untuk mempertahankan diri.
Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai teori sosial yang digunakan untuk penelitian sosial. Akan tetapi teori sosial yang biasanya digunakan untuk penelitian alkitab adal dua teori.. Kedua teori yang dimaksudkan, seperti yang sudah disinggung  ialah, teori/penelitian Antropologi sosial dan teori/penelitian Antropologi Struktural (Antropologi Kultural).
Yang dimaksudkan dengan metode Penelitian Antropologi Sosial, ialah usaha memperoleh penjelasan tentang organisasi sebuah masyarakat yang cenderung dilihat sebagai organisme yang terdiri dari bagian-bagian, individu, maupun kelompok yang saling berinteraksi dan terikat satu sama lain oleh hubungan sosial.
Yang dimaksudkan dengan Penelitian Antropologi Struktural/Antropologi Kultural adalah sebuah metode baru yang berasal dari  Claude Levi- Strauss. Metode  ini berusaha menerapkannya pada  data-data antropologis prinsip-prinsip Strukturalis yang ditemukan dalam analisis linguistik tertentu. Metode ini banyak digunakan oleh beberapa ahli PB, misalnya, Bruce J. Malina dan lain-lainnya.[3]

Metode Penelitian Antropologi Sosial

Sumbangsi sosiologis Weber terhadap studi PL antara lain pandangannya tentang para nabi. Secara singkat pandangannya tentang nabi-nabi adalah,
Ia menolak pandangan yang mengelompokkan para nabi sebagai kelompok sosial-politik. Mereka bukanlah figur politik. Pemberitaan mereka selalu religius oriented. Mereka juga tidak berasal dari strata sosial terendah. PL memberikan informasi bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari strata sosial yang tinggi. Bahkan menurut Weber ditinjau dari sudut sosiologis, para nabi berasal dari kelas atas, seperti, bangsawan, keluarga imam, dan imam.
Weber berpendapat, bahwa nubuat nubuat para nabi merupakan hasil proses rasionalisasi yang terus menerus, di mana agama memberikan makna kepada eksistensi. Proses penyampaian nubuat ini menandai adanya suatu perubahan ke arah masa depan dan didikuti oleh munculnya pandangan baru yang menyerap masuk ke dalam kehidupan agama. Pandangan baru yang dimaksud meliputi berbagai dimensi kehidupan umat, seperti agama, sosial, politik, d.l.l. Dalam proses ini para nabi sampai kepada pemahaman yang monoteis dinamis, ketimbang henoteis (penulis deuteronomis). Pada proses ini, para nabi juga sampai kepada pemahaman tentang Allah Israel yang universal.[4]
Alt dan Marti Noth yang sangat dipengaruhi oleh teori Weber, juga pernah menerapkan teori sosial Weber dalam studi PL mereka. Keduanya adalah ahli PL yang juga terkenal hingga sekarang. Hasil studi sosial mereka tampak antara lain melalui Alt. Alt menggunakan istilah kharisma untuk menunjuk kepada para penguasa/pemimpin Israel  sebelum zaman kerajaan dan para pemimpin yang mendirikan kerajaan. Mereka bukanlah para pemimpin yang memperoleh jabatannya dari sebuah lembaga. Kewibawaan/kekuasaan mereka berasal dari pribadi-pribadi mereka sendiri. Raja Saul pun termasuk dalam kelompok tersebut. Saul hanya berbeda dari mereka dalam hal dimana Saul dianggkat sebagai raja untuk mengatasi krisis bangsa Israel, tetapi sebenarnya ia melakukan tugasnya berdasarkan pada kewibawaan yang berada pada dirinya sendiri. Bentuk kepemimpinan saul sebenarnya juga ditemukan pada raja-raja Israel Utara. Hanya Raja Omri yang cenderung membangun sebuah dinasti, karena beberapa orang dari garis keturuannya ikut memerintah di Israel Utara. Pola kepemimpinan Omri ini agaknya sejajar dengan pola kepemimpinan Daud yang mendirikan ibu kota dari wilayah yang dimilikinya sendiri. Alt dengan mengadopsi pandangan Weber tentang polis (kota) menerapkan pengertian itu kepada kota Yerusalem dan Samaria. Kota-kota yang menjadi pusat politik dan agama bagi masing-masing Israel yaitu Yehuda dan Israel Utara. Kedua kota mempunyai struktur sosial yang independen.
            Ahli PL kedua yang dipengaruhi Weber ialah Martin Noth.
Weber mempunyai pandangan bahwa Israel pada masa sebelum kerajaan merupakan komunitas yang bersifat ampiktionik. Yang ia maksudkan dengan komunitas ampiktionik ialah komunitas yang bekumpul di sekitar kuil/Bait Allah sebagai komunitas perjanjian. Komunitas perjanjian ini sengaja diciptakan untuk mempersatukan berbagai komunitas yang bersifat sosio-ekonomis. Bertolak dari perspektif Weber itu, Noth dalam penelitiannya dengan cara membandingkan data-data alkitab dengan gejala kemasyarakatan Timur Tengah Kuno sampai pada kesimpulan, bahwa Israel adalah komunitas perjanjian yang sengaja dibentuk dari kaum dan suku-suku yang pada awalnya merupakan kelompok-kelompok independen. Baik Weber, maupun Noth mempunyai pandangan bahwa Israel adalah komunitas agama baru yang diikat oleh perjanjian Yahweh (band. Peristiwa pembaharuan perjanjian di Sikhem, Yos 24).
            Pemahaman Alt dan Noth yang adalah pengikut Weber ini masih sangat mempengaruhi para ahli yang menulis sejarah Israel. Walaupun juga sudah muncul diskusi kritis yang serius terhadap pemahaman-pemahaman di atas. Tetapi juga harus ditegaskan bahwa sebagian besar ahli PL dapat menerima pemahaman di atas.

Teori sosial Durkheim dalam studi PL
            Teori sosial fungsionalis Durkheim dikembangkan antara lain oleh Cause dalam penelitian alkitab. Cause adalah ahli perjanjian Lama yang menaruh perhatian terhadap pentahapan agama dan masyarakat Israel. Menurut Cause, masa awal agama dan masyarakat Israel adalah masa pra-mentalitas logis. Yang ia maksudkan dengan masa pra-mentalitas logis ialah masa dimana agama tidak bisa dibedakan dari agama yang berbau magis. Menurut Cause, masa awal Israel memiliki ciri struktur sosial, keluarga dan kaum yang bersifat nomadik. Struktur sosial seperti ini mempraktikkan sifat kolektivitas primitif atau bersifat organic solidarity yang sangat menekankan tanggung jawab kolektif dalam hal hukum. Hubungan individu dengan kelompok merupakan persekutuan yang bersifat mistik dan dinyatakan melalui ritual tertentu dalam ibadah kepada Yahweh, misalnya upacara kurban. Upacara kurban ini juga memperlihatkan relasi yang mistis dengan Tuhan. Ritual menjadi satu-satunya cara mengekspresikan relasi yang mistik dengan Tuhan.
            Perkembangan agama dan masyarakat Israel dimulai ketika lembaga kerajaan muncul. Munculnya lembaga kerajaan di Israel membuat kewibawaan keluarga menurun. Istana menjadi pusat kekuasaan. Sekaligus dengan itu pemahaman keagamaan yang mistis dan Yahweh sebagai Allah suku-suku berubah menjadi Allah kerajaan dan Allah yang universal. Atas dasar pandangan di atas, Cause memahami bahwa para nabi merupakan figur konservatif yang melawan kerajaan dengan tujuan membangun kembali kultur lama dengan kebiasaan pertanian yang sederhana. Akan tetapi, di lain pihak mereka meruntuhkan kebiasaan masyarakat yang bersifat kesukuan. Hal itu nyata dari kecaman-kecaman mereka terhadap tempat-tempat suci lokal yang pada waktu itu merupakan tempat kaum-kaum dan keluarga-keluarga menyatakan kesatuan sosialnya melalui nyanyian-nyanyian dan perayaan-perayaan agama dengan segala ritualnya, termasuk ritual kurban. Tempat-tempat suci itu juga merupakan tempat mistik dan fondasi kultus bagi solidaritas Israel dan Yahweh. Semua pemahaman seperti itu oleh para nabi digantikan dengan fondasi etis yang menekankan sikap moral sebagai petunjuk adanya relasi yang baik dengan Tuhan.. Dengan moralisasi dan rasionalisasi kultus, para nabi membuka jalan bagi keagamaan dan organisasi yang bersifat individualis, sehingga kehidupan kolektif yang bersifat suku itu hanya menjadi hal yang sekunder.[5]
            Hasil penelitian sosial yang dilakukan Cause ini juga diterima banyak ahli. Misalnya Gerog Fohrer dalam bukunya yang berjudul  History of Israelite Religion, mengatakan bahwa agama Israel pada awalnya memiliki pemahaman-pemahaman yang primitif. Buku ini memang banyak berbicara tentang perkembangan agama Yahwisme.[6] 
Perjanjian Lama dan Metode Ilmu-ilmu Sosial  pada masa-masa selanjutnya
            Teori sosial Weber, Marx, dan Durkheim juga masih mempengaruhi studi-studi alkitab selanjutnya, hingga sekarang.
            Robert Wilson dalam bukunya yang berjudul, Sociological Approaches to the Old Testament, memberikan contoh bagaimana bahan antropologis dapat digunakan untuk mempelajari, sejarah, sastera dan agama Israel.[7]  Mendenhall yang dipengaruhi oleh Max Weber, misalnya, merupakan salah contoh ahli yang menggunakan metode ilmu sosdial untuk menjelaskan organisasi Israel Kuno. Dengan bertitik tolak pada teori Mendenhall tentang revolusi petani-petani melawan dominasi kota-kota, Mendenhall menjelaskan, bahwa kelompok-kelompok tani yang membebaskan diri itu menemukan dasar kesatuan di antara mereka dalam motivasi Perjanjian Tuhan dan tempat ibadah sentral, dilengkapi dengan kerja sama militer pada saat krisis.
            Metode ini lebih dikembangkan lagi oleh  Norman Gottwald dalam bukunya yang  berjudul, The Tribes of  Yahweh. Bukunya itu dikenal dan dipuji banyak orang sebagai hasil penelitian metode sosial. Dalam bukunya itu ia mengumpulkan semua data dari teks-teks alkitab yang relevan, lalu membandingkannya dengan data-data arkrologis dan tulisan-tulisan dunia Timur Tengah Kuno, dan model-model perubahan sosial dari masyarakat-masyarakat sebanding dan kemudian merekonstruksi kelahiran Israel. Ia menyimpulkan bahwa awal Israel adalah persekutuan/kehidupan bersama yang berasal dari berbagai kelompok orang  desa yang melawan kota-kota Kanaan. Para petani, geng-geng yang bersenjata dan bersatu dalam struktur suku Israel yang egaliter dan menentang negara kota yang fiodal.[8]
            Hal lain dalam PL yang mendapat perhatian dari para penggemar ilmu sosial adalah mengenai nabi-nabi dan peranan mereka dalam masyarakat. Karya R. Wilson yang berjudul, Prophecy and Society in Ancient Israel merupakan salah satu contoh dari penggunaan metode sosial dalam memahami kenabian dalam PL. Wilson membandingkan bahan-bahan yang berasal dari antropologi modern yang diuji lebih dahulu dengan dunia Timur Tengah Kuno, ia membongkar ide-ide tradisional yang menganggap nabi sebagai tokoh revolusioner atau tokoh yang kehilangan diri ketika setengah sadar. Menurut Wilson, Nabi tidak lebih dari hanya seorang mengantara  antara dunia ilahi dan manusia, yang oleh masyarakat dianggap sebagai orang yang kemasukan roh (baik atau jahat) atau yang telah berziarah ke dunia ilahi. Masyarakat dapat menolaknya sebagai orang yang kemasukan roh jahat, atau memahaminya selama perkataan dan tindakannya tidak melanggar pola-pola  yang diharapkan.

Metode/teori Antropologi Struktural/Antropologi Kultural
            Metode ini dikembangkan yang oleh Malina disebut juga sebagai metode Antropolgi Kultural. Metode ini tidak bermaksud menawarkan penjelasana alternatif terhadap alkitab. Juga tidak bermaksud menawarkan suatu metode yang lain dari metode historis atau metode kritik yang lain, melainkan hanya ingin menambahkan dimensi lain yang tidak mendapat perhatian dari metode-metode diakronis lainnya[9] atau juga metode sinkronis. Metode ini dikembangkan oleh banyak ahli PB. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Bruce J. Malina yang saya sebutkan dalam catatan kaki no 9.  Dalam bukunya ini Malina memberikan contoh ayat-ayat alkitab yang perlu dijelaskan dengan metode penafsiran yang disebutnya sebagai metode Antropologi Kultural dan yang oleh Wilson menyebutnya sebagai metode Antropologi Struktural. Malina memberikan contoh antara lain Mat 19:12:

            εσίυ γάρ ευνουχοι όιτινες έκ κοιλιας μητρος εγεννήθσαν οϋτως και εισίν εύνοϋχοι οϊτινες εύνουχίσθησαν ύπό τών άνθρώπων και είσίν ευύνοϋχοι οϊτινες εύνούχισαν έαυτούς διά τήν βασιλείαν τών ούρανών.

Mungkin kita berpikir bahwa ayat ini mudah dimengerti jika diterjemahkan kedalam bahasa yang kita gunakan pada abad modern/post modern. Padahal ketika ayat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia misalnya, ternyata ayat itu belum memberikan pemahaman yang tepat seperti yang dimngerti oleh jemaat abad pertama. Kita masih tetap sebagai orang asing dan tidak memahami seperti yang dipahami oleh gereja mula-mula. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut.
Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga….
Terjemahan seperti ini jelas tidak mewakili apa yang dikatakan oleh teks gereja mula-mula itu. Pokok persoalan dalam ayat ialah kata eunoukhoi yang disebutkan 3 kali dalam ayat ini. LAI menerjemahkannya dengan orang yang tidak kawin, sehingga pemahaman kita adalah orang-orang yang tetap lajang. Dengan terjemahkan yang demikian tentu mengingatkan kita pada paulus yang tidak kawin, misalnya. Pada hal kata eunoukh bentuk tunggal dari bentuk jamak eunoukhoi menunjuk pada orang orang yang tidak kawin, karena mereka adalah orang kembirian (orang dikebiri).
Tetapi apakah dengan menerjemahkan kata tersebut, kita sudah memiliki pemahaman yang tepat seperti pemahaman umat gereja mula-mula? Tidak. Karena masih ada pertanyaan-pertanyaan lain yang memerlukan penjelasan. Misalnya, mengapa seseorang laki-laki harus dikembiri? Mengapa mereka disebut orang-orang kembiri di Palestina pada abad pertama? Apa peranan para kembirian dalam relasi sosial? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, seperti apa norma-norma dan nilai soaial yang berlaku di Palestina pada bad pertama? Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Untuk itu kita memerlukan penafsiran yang bisa menjawab persoalan-persoalan itu. Para ahli telah menemukan metode yang dapat menjelaskan hal-hal tersebut, yaitu metode Antropologi Kultural/Antroplogi Struktural. Metode ini antara lain memperhatikan tata cara orang berbahasa dan cara menulis sesuai dengan budaya bahasa dalam konteks ketika ucapan-ucapan dalam alkitab itu disampaikan kepada para pendengarnya. Dengan metode ini, mereka yang membaca alkitab sekarang dapat terbantu untuk memahami secara tepat apa yang dimengerti dan apa yang dimaksudkan para penulis dulu.
Dengan metode ini, orang zaman post modern dapat memahami ucapan-ucapan yang disampaikan kepada para pendengar zaman alkitab.Menurut Malina, kalau alkitab itu penting bagi orang zaman sekarang, maka orang tidak dapat mengabaikan dunia mereka (dalam segala aspek) yang menulis dan yang mendengarkan  firman Allah itu. Sebab dengan cara itu, kita dapat menghubungkan secara obyektif hal-hal konkret yang berlaku pada zaman disampaikan firman-firman itu dengan ucapan-ucapan dalam alkitab. Hal-hal yang konkret dan obyektif dari konteks umat dulu bisa menjadi salah satu penghubung(hermeneutik) dunia dulu dengan dunia kita sekarang. Kita bisa membandingkan keberadaan orang dulu dengan keberadaan orang sekarang dalam segala aspek kehidupannya.
Kita dapat melihat kesamaan dan perbedaan keadaan kita sekarang dengan keadaan mereka dulu, ketika firman-firman itu disampaikan. Seperti yang sudah dikatakan di atas, bahwa salah satu perhatian dari metode Antropologi Kultural ialah faktor budaya berbahasa dan penulisan, maka kita dapat kembali kepada contoh Mat 19:12. Menurut Malina, bentuk dan pola penulisan Mat 19:12 mempunyai kesamaannya dengan bentuk dan pola penulisan sejumlah perumpamaan dalam Kitab Amsal. Misalnya, Amsal 30:33,
Sebab, kalau susu ditekan, mentega dihasilkan,
            Dan kalau hidung ditekan, darah keluar,
            Dan kalau kemarahan ditekan, pertengkaran timbul.

Pola penulisan yang demikian mempunyai cara kerja bahwa baris pertama dan kedua atau lebih adalah gambaran-gambaran yang konkret tentang hal-hal yang abstrak (moral) atau dimensi yang tersembunyi dari pengalaman kemanusiaan yang  terdapat pada baris terakhir Baris pertama dan baris kedua atau lebih memberi makna kepada baris terakhir. Contoh lain Amsal 30:18,19,
Ada tiga hal yang mengherankan aku,
            Bahkan, ada empat hal yang tidak kumengerti:
Jalan rajawali di udara,
            Jalan ular di atas cadas,
Jalan kapal di tengah-tengah laut,
            Dan jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis.

Apakah maksudnya dari tiga gambaran yang konkret pada baris pertama, kedua dan ketiga? Kita boleh mencatat tidak ada satupun di antara rajawali, ular dan kapal yang meninggalkan jejak setelah mereka pergi. Ketiga baris itu merupakan langkah untuk memahami hal-hal yang bastrak pada baris terakhir. Tetapi apa itu yang tersembunyi? Untuk menjawab pertanyaan itu kita memerlukan metode yang sama untuk mengetahui situasi yang bagaimankan yang tersembunyi di balik teks itu.

Ø  Metode Penafsiran Sinkronis

            Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa metode penafsiran Sinkronis ialah metode penelitian yang hanya berkonsentrasi pada teks sebagaimana adanya. Artinya metode ini sama sekali tidak menaruh perhatian pada  segala sesuatu yang ada di balik teks. Ada beberapa metode penafsiran Sinkronis yang digunakan para ahli  alkitab. Misalnya, metode penafsiran Strukturalis yang memberi perhatian terhadap struktur batin sebuah teks. Metode Naratif juga termasuk dalam kelompok metode Sinkronis. Metode Naratif merupakan metode yang lebih memberi perhatian kepada struktur lahiriah sebuah cerita alkitab.

Ø  Metode Naratif
            Walaupun metode penafsiran Naratif baru berkembang pada beberapa dekade terakhir abad 20, tidak berarti metode Naratif baru dikenal dalam sejarah penafsiran alkitab. Perhatian terhadap berbagai narasi alkitab sudah dimulai oleh Gunkel pada tahun 1901. Pa tahun tesebut Gunkel telah menulis tentang narasi-narasi yang terdapat dalam Kitab Kejadian. Ia mengatakan bahwa narasi-narasi yang puitis itu adalah milik yang paling indah  yang manusia bawa masuk ke dalam sejarahnya, legenda-legenda Israel  terutama yang ada dalam Kitab Kejadian adalah barangkali yang paling indah yang pernah dikenal di bumi.[10] Sebenarnya adalah sangat beralasan apabila para ahli mengusahakan metode penafsiran Naratif untuk memahami berbagai teks cerita alkitab. Alasan utama adalah, karena menurut penelitian, lebih dari sepertiga bagian isi alkitab Perjanjian Lama sendiri ditulis dalam bentuk narasi.[11]  
            Untuk mengembang metode penafsiran Naratif, kita perlu memperhatikan unsur penting dalam sebuah narasi Perjanjian Lama. Pertama, unsur yang membentuk struktur permukaan cerita: dunia fiktif, ucapan-ucapan naratif, adegan, babak, ucapan lokutif, ucapan fungsional dan sebagainya.
Yang dimaksudkan dengan dunia fiktif adalah tempat certa itu terjadi. Dalam cerita Easau dan Yakub (Kej 26:23-33), dunia narasinya adalah Bersyeba.
Ucapan naratif tampak misalnya dalam cerita Esau dan Yakub (Kej 28:1), “Kemudian Ishak memanggil Yakub, lalu memberkati dia serta memesankan kepadanya, katanya,’Janganlah mengambil istri dari perempuan Kanaan.’” Fungsi ucapan naratif adalah untuk membuat suatu cerita bergerak atau membuat teks menjadi cerita.
Adegan merupakan unsur yang mewujut dalam sejumlah tindakan atau kejadian yang membentuk semacam berkas yang berporoskan pada kejadian utama. Misalnya, dalam cerita Esau dan Yakub, antara lain kita temukan dalam Kej 27:30-34, yaitu adegan yang mengisahkan  percakapan antara Esau dan ayahnya Ishak setelah Yakub berhasil mendapat berkat dari Ishak. Adegan merupakan bagian dalam narasi yang menjelaskan suatu tindakan atau peristiwa yang terbatas.
Bagian tindakan atau peristiwa yang lebih besar dari pada adegan adalah babak. Dalam narasi Yakub dan Esau (Kej 27:1-29) yang menceritakan proses terjadinya pemberian berkat kepada Yakub sebagai ganti Esau, merupakan satu dari beberapa babak peristiwa yang membentuk narasi.
Ucapan Lokutif. Ucapan Lokutif adalah ucapan-ucapan dalam cerita yang tidak mengerakkan apa yang diceritakan. Contoh asekali lagi kita lihat dalam narasi Esau dan Yakub (Kej 26:33). Ucapan lokutif adalah ucapan-ucapan yang bersifat ideologis dan psikologis. “Lalu dinamainyalah sumur itu Syeba. Sebab itu nama kota itu adalah Bersyeba, sampai sekarang (ucapan ideologis). Sedangkan Kej 27:5, “tetapi Ribka mendengarkannya, ketika Ishak berkata kepada Esau, anaknya “ (ucapan psikologis).
Proses pemilihan kosa kata. Dalam narasi PL pemilihan kosa kata yang menunjuk gerakan dilakukan dengan mengagumkan. Terlebih apabila kita menyadari tentang pentingnya peran kata kerja dalam tata bahasa Ibrani.[12]

Langkah-langkah analisis Naratif

            Martin Sohartono, Sj, secara panjang lebar merumuskan langkah-langkah analisis narasi secara detil dalam Forum Biblika no. 8, 1998.
Langkah pertama adalah membatasi teks. Sebelum mengnalisis suatu kisah terlebih dahulu kita menentukan unit-unit pokok kisah yang dimaksud. Hal ini penting dilakukan untuk memahami dinamika kisah. Kriteria utama yang umum dipakai adalah perubahan tempat, waktu, dan tokoh.
Membuat ringkasan kisah. Langkah ini merupakan sinkronis yang pertama terhadap teks. Ringkasan itu harus singkat dan padat. Ringkasan tersebut perlu didasarkan pada beberapa pertanyaan sebagai berikut: Apa yang terjadi? Siapakah tokoh-tokoh utama dalam kisah itu? Bagaimana kejadian dimulai? Manakah momen-momen hakiki dalam dinamika kisah? Peristiwa mana yang inti (yang tidak dapat dihilangkan) dan manakah yang sampingan yang dapat dihilangkan? Bagaimana akhir kisah itu? Apakah perbedaan hakiki antara yang awal dan yang akhir?
Memahami Plot (alur cerita). Sebuah cerita memiliki alur: ada awal, perkembangan dan akhir kisah. Perlu kita membedakan antara plot dan cerita. Cerita adalah kejadian yang lain menyusul kejadian berikutnya. Sedangkan plot atau alur adalah, kejadian yang lain menyebabkan kejadian berikutnya. Atau dengan perkataan lain plot atau alur adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Hubungannya dapat diwujutkan oleh hubungan temporal atau sebab akibat. Didalam narasi, alur adalah sebuah interelasi fungsional antara unsur-unsur narasi yang timbul dari tindak-tanduk, karakter, suasana hati (pikiran) dan sudut pandangan. Menurut Suhartono,[13]hubungan kausal antara episode yang satu ke episode yang lainnya tidak harus jelas; kerap kali hubungan itu hanya dapat dipahami setelah penelitian yang mendalam terhadap keseluruhan kisah, labih-lebih dalam narasi alkitab.
Biasanya alur ditandai oleh puncak atau klimaks dari perbuatan dramatis dalam rentang laju narasi.[14] Plotlah yang mengatur bagaimana tindak tanduk harus bertalian satu sama lain, bagaimana insiden demi insiden berkaitan satu sama lainnya. Suhartono mencatat plot/alur yang ditinjau dari beberapa sudut, seperti di bawah ini.
Tipe-tipe plot. Ada dua tipe utma plot: plot yang merupakan kesatuan dan plot epusodik. Dalam plot yang merupakan kesatuan, seluruh rentetan episode mempunyai arti bagi narasi dan menentukan hasil akhir; setiap episode mengandaikan episode sebelumnya dan mempersiapkan episode berikutnya. Plot ini dapat kita lihat dalam  narasi Rut atau pun narasi Yunus. Dalam plot yang episodik, setiap episode berdiri sendiri yang hubungan satu dengan yang lainnya hanya karena kesatuan tokoh utama. Tetapi ada juga yang terletak di antara kedua tipe di atas. Kisah Abraham misalnya, sekilas merupakan plot episodik, tetapi juga bisa dilihat  benang merah yang mempersatukan kisah-kisah itu oleh tema,”janji”.
Struktur formal Plot. Struktur formal suatu plot dapat dirumuskan oleh pembaca dengan merangkum suatu kisah dengan sepasang kata sederhana yang memberikan gambaran tentang hakikat kisah tersebut. Pasangan-pasangan kata yang dimaksud sesuai dengan hasil penyelidikan strukturalis, yaitu,perencenaan/pelaksanaan,keinginan/pemenuhan, masalah/pemecahan, konflik/penyelesaian,ketidakseimbangan/keseimbangan,ketidakutuhan/keutuhan, kesulitan/jalan keluar, bahaya/bahaya dihindari, kesalahan/kesalahan dihukum. Untuk menemukan struktur formal ini, bandingkan yang awal dan yang akhir dari satu kisah
Macam-macam plot kesatuan. Sering dibedakan tiga macam plot utama:perubahan pengtahuan, perubahan nilai-nilai (sikap), dan perubahan situasi. Perubahan pengetahuan, ialah seuatu yang lain dari yang diketahui pada awal. Perubahan sikap/nilai-nilai, sesuatu perubahan sikap dari tokoh-tokoh dalam satu kisah. Apakah ada perubahan dari sikap yang baik ke sikap yang jahat atau dari jahat ke baik? Perubahan situasi. Apakah situasi berubah dari buruk ke baik atau dari baik ke buruk
Momen-momen dalam plot. Kisah bergerak dari perkembngan (komplikasi) melalui titik balik menuju suatu penyelesaian. Dari sini para peneliti mengmbangkan  dan membuat lebih rumit skema dasar tersebut menjadi:

  1. Bagian pendahuluan dalam suatu cerita biasanya menyajikan situasi dasar yang akan menolong pembaca memahami adegan selanjutnya. Bagian pendahuluan ini biasanya diisi dengan tulisan-tulisan berbentuk episode atau suatu fragmen dari kejadian. Juga bisa diisi dengan uraian tentang suatu insiden. Yang penting ialah isi pendahuluan harus sanggup merangsang keingintahuan pembaca dan harus mampu meyakinkan pembaca bahwa semua tindak tanduk dalam seluruh narasi merupakan perkembangan logis dari situasi aslinya.

  1.  Bagian perkembangan. Bagian ini merupakan rangkaian dari tahap-tahap yang membentuk seluruh proses narasi. Ia juga disebut batang tubuh yang utama dari seluruh tindak tanduk para tokoh. Dalam bagian perkembangan ini, kita menemukan adegan-adegan yang berusaha meningkatkan ketegangan (komplikasi) yang berkembang dari situasi awal. Secara bertahap narasi meninggalkan situasi umum dan mulai masuk ke dalam situasi konkret. Situasi konkret ini biasanya diungkapkan dengan menceritakankan secara terinci peranan semua unsur dalam narasi seperti perbuatan atau tindak tanduk para tokoh yang menimbulkan konflik, baik secara terbuka mau pun secara tertutup. Misalnya tindak tanduk para tokoh dalam cerita Esau dan Yakub. Kita menyaksikan tindak tanduk Ribka setelah mendengar rencana Ishak yang bermaksud memberkati Esau sebagai anak sulung; tindak tanduk Yakub; tindak tanduk Esau; dan tindak tanduk Ishak. Konflik antara tokoh semakin memuncak melalui perumitan masalah. Titik puncak konflik itu mencapai puncaknya pada bagian perkembangan ini. Itulah sebabnya Suhartono menyebut bagian perkembangan ini dengan Titik Puncak (Klimaks) dan atau titik balik.[15]  Dalam crita Yakub dan Esau kita melihat klimaksnya ketika Esau menyatakan niatnya untuk membalas dendam terhadap Yakub dan akal Ribka agar Yakub meninggalkan rumahnya menuju Haran. Bagian perkembangan ini memperlihatkan suasana kausalitas atau sebab akibat yang tidak kita temukan dalam bagian pendahuluan. Yang perlu diperhatikan dalam kausalitas antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain adalah jalinan satu jaringan yang logis.

Demikian juga peranan tokoh (karakter) harus seimbang dengan fungsinya terhadap seluruh karangan. Sesuai besar kecilnya narasi, bagian perkembangan dapat di bagi atas beberapa tahap, yaitu tahap konflik sebagai akibat dari situasi awal yang mengandung faktor-faktor yang meningkatkan konflik, disusul tahap yang membuat konflik itu semakin gawat, dan akhirnya mencapai tahap puncak atau klimaks dari seluruh narasi. Titik puncak atau klimaks ini juga dapat disebut saat yang menentukan, yaitu saat ketika narasi mengalami pembalikan yang berarti; gerakan yang membawa ke awal konklusi. Misalnya usaha yang akhirnya berhasil, serangan pemungkas, atau penemuan penting. Antara saat yang menentukan ini dengan konkulsi akhir dapat terjadi penundaan. Tujuan pentahapan ini adalah agar narasi dapat memberikan sentuhan perasaan dan menarik perhatian pembaca sehingga pada akhirnya narasi dapat membangkitkan respon emosional setiap pembaca.
3. Bagian penutup. Bagian ini merupakan hal terakhir dari struktur yang berdasarkan alur (plot). Bagian ini merupakan kesimpulan atau pemecahan.. Ketegangan terakhir dihadirkan saat pembaca mengira bahwa akhir cerita telah tercapai, tetapi tiba-tiba muncul suatu peristiwa yang menghambat penyelesaian, walau pun hanya untuk sementara waktu saja. Konklusi adalah hasil hasil cerita. Namun ada pula yang membedakan antara “akhir tertutup” dan “akhir terbuka”. Yang disebut akhir tertutup adalah akhir yang tidak memiliki peristiwa lanjutan yang dapat dipikirkan oleh pembaca. Sedangkan “akhir terbuka” adalah kisah yang berakhir dengan menimbulkan berbagai pertanyaan dan tafsiran yang bisa muncul pada diri pembaca.[16]  “Akhir tertutup” biasa juga  disebut “akhir semu” dapat terjadi jika sang tokoh dibunuh atau lawan dari tokoh itu yang dibunuh. Akan tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa “akhir tertutup” akhir semu” itu sebenarnya tidak ada. Yang ada sebenarnya hanyalah diskusi yang menjadi pangkal persoalan baru.[17] Karena itu pada umumnya bagian penutup ini, pencapaian akhir dari rangkaian tindakan tetap dicapai sehingga makna yang bulat dari narasi dapat diperoleh pembaca.
            Struktur sebuah narasi dapat juga diamati  melalui perbuatan dan tidak tanduk. Memperhatikan perbuatan dan tindak tanduk  dalam struktur narasi adalah penting. Sebab dengan memperhatikan hal-hal itu dari struktur narasi menjadi landasan utama untuk menciptakan sifat dinamis sebuah narasi. Sebagai suatu aspek dalam struktur, perbuatan dan tidak tanduk dapat ditinjau dari komponen-komponen perbuatan itu sendiri mau pun dari kaitannya dengan faktor-faktor lain. Karena itu dalam narasi, perbuatan-perbuatan harus diungkapkan secara rinci dalam komponen-komponennya. Di samping itu, setiap perbuatan atau tindakan perlu dijalin satu sama lain dalam suatu hubungan yang logis, walaupun pengertian masuk akal itu bersifat relatif

            Beberapa unsur lain yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang struktur perbuatan di dalam narasi, ialah

Unsur kausalitas.
Unsur ini memperhatikan hubungan sebab akibat antara perbuatan sebelumnya dengan perbuatan berikutnya. Selalu ada alasan mengapa perbuatan atau tindakan selanjutnya terjadi. Kausalitas harus berusaha menjawab pertanyaan, “mengapa.” Suatu perbuatan atau tindakan akan menimbulkan perbuatan atau tindakan yang lain, sehingga terjadilah rengkaian perbuatan atau tindakan. Inilah wujud sebenarnya dari narasi.[18]
 
Unsur waktu.
Unsur ini dalam narasi menjelaskan bahwa tindak tanduk dalam narasi dapat dilihat baik sebagai rangkaian adegan-adegan, tetapi juga sebagai suatu kesatuan yang diikat oleh waktu. Sebuah narasi dimulai pada saat tertentu dan berakhir bila ada sesuatu yang menyelesaikan peristiwanya dalam waktu tertentu. Sehubungan dengan unsur waktu dalam narasi, maka yang biasanya diberi penekanan adalah;
Bagaimana penulis memperlakukan urutan waktu.
Bagaimana urutan waktu sebanarnya dalam gerak waktu..

            Penulis narasi beiasanya mengatur kedua hal itu secermat mungkin agar pembaca tertarik perhatiannya untuk membaca narasinya.




Unsur karakter (tokoh).
Istilah lain yang berhubungan karakter ialah karakterisasi Yang dimaksudkan dengan karakterisasi adalah usaha penilis narasi menggambarkan tokoh-tokohnya melalui tidankan-tindakan dan ucapan-ucapan para tokoh.
Unsur konflik.
Melalui konflik atau pertikaian yang dialami oleh karakter timbul kekuatan yang merangsang perhatian untuk melihat bagaimana suatu situasi diselesaikan. Keterlibatan manusia menjadi pertimbangan utama untuk mengangkat sebuah masalah dalam narasi mewujud dalam tiga hal yaitu konflik pertarungan melawan alam; melawan manusia dan konflik dalam diri sendiri/konflik batin. Contoh konflik melawan alam, adalah pertarungan seorang pelaut melawan keganasan ombak yang mempora-porandakan perahu tempat ia menggantungkan nyawanya, atau perjuangan yang gigih seorang petani untuk mempetahankan hidupnya di atas tanah yang gersang. Konflik antar manusia  atau antar kelompok atau antar negara timbul dalam bentuk pertiakaian, permusuhan, peperangan, penipuan, penghinaan, penolakan dan segala bentuk rekasi yang timbul dari hal-hal itu. Konflik batin, adalah pertarungan individual melawan dirinya sendiri. Keadaan ini biasanya dikisahkan di dalam narasi melalui penekanan tentang kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dalam batin seseorang, keberanian melawan ketakutan, kejujuran melawan kecurangan, kekikiran melawan  kedermawan dan sebagainya. Pada umumnya dalam narasi ada posisi kekuatan yang menimbulkan ketegangan dan krisis yang mendalam.[19]
            Struktur narasi dapat pula dilihat berdasarkan  tiga lapisan struktur cerita yaitu, struktur permukaan cerita,struktur mendalam/mendasar dan struktur mendalam universal.
Struktur permukaan cerita. Yang dimaksudkan dengan struktur permukaan cerita adalah unsur-unsur bahasa material yang dengan cara tertentu dihubungkan satu sama lain, sehingga membentuk suatu kesatuan literer teratur. Beberapa hal yang perlu dicatat dalam mengenal struktur permukaan adalah sebagai berikut.
Dunia di mana cerita itu berlangsung. Dalam suatu cerita, penulis cerita menyajikan suatu dunia fiksi yaitu dunia rekaan yang direkonstruksi penulis sendiri. Di dalam dunia rekaan ini unsur-unsur beperan sendiri-sendiri dalam keseluruhan. Misalnya unsur ucapan melakukan perannya tetapi tetap berada dalam kesatuan dengan unsur-unsur lain di dalam dunia rekaan.

Unsur-unsur yang membentuk struktur permukaan cerita adalah sebagai berikut.
Ø  Unsur-unsur ucapan, yaitu ucapan-ucapan yang menunjuk awal dan akhir cerita. Dalam menganalisis narasi harus terlebih dahulu menentukan dimana awal cerita dan di mana akhir cerita.
Ø  Ucapan-ucapan naratif, yaitu kesatuan bahasa yang menunjuk unsur-unsur yang membuat cerita menjadi dinamis serta mempunyai dinamika.
Adegan, yaitu sejumlah tindakan/kejadian yang membentuk sebuah berkas yang berporoskan pada tindakan/kejadian utama yang dikitari oleh kejadian-kejadian lain.
Babak, yaitu sejumlah adegan yang berkaitan satu sama lain baik sebagai sebab dan akibat, paralel mau pun susul menyusul. Adegan itu terdiri dari atas tiga langkah, yaitu, awal, tengah dan akhir.
Ø  Ucapan lokutif, ucapan-ucapan yang bersifat ideologis atau psikologis, sehingga tidak membuat cerita dinamis (lihat catatan di atas).
Ø  Ucapan funsional, yaitu ucapan yang menunjuk bagaimana kesatuan bahasa dalam cerita dihubungkan satu sama lain. Menurut Sientje Marentek, ucapan fungsional itu terdiri atas ucapan kenektor dan Circustantes. Konektor adalah ucapan atau kata yang menunjuk bagaimana kesatuan literer dalam cerita dihubungkan satu sama lain. Sedangkan circumstantes adalah ucapan atau kata-kata yang menunjuk kepada hal-hal yang tidak mempunyai otonomi tetapi tetap bersangkutan dengan pemeran dalam cerita serta tindakan/perbuatan/kejadian yang ditujukkan. Yang termasuk dalam circumstantes adalah petunjuk temporal yaitu unsur yang menunjuk waktu cerita mau pun waktu yang diceritakan. Waktu cerita adalah waktu yang meliputi seluruh cerita, satu atau dua tahun, hari Senin sampai hari Kamis. Di samping itu termasuk juga petunjuk lokal, yaitu tempat yang ditunjuk oleh cerita seperti di rumah, di kota dan sebagainya. Tetapi juga termasuk di dalamnya petunjuk-petunjuk “cara” (modus) yaitu ucapan-ucapan dalam cerita yang lebih lanjut mengkualifikasikan pemeran atau tindakan yang digelarkan. Karena itu dikenal pelaku utama atau figur utama di dalam sebuah narasi.[20]

Struktur mendalam/mendasar cerita.
Yang dimaksudkan dengan struktur ini ialah,keteraturan yang ada di belakang teks cerita. Biasanya struktur mendalam/mendasar ini mengendalikan penulis atau pembaca sehingga cerita yang ditulis dan dibaca itu dapat menjadi sarana komunikasi. Struktur mendalam berlaku umum dalam sistem bahasa,  tetapi tidak berlaku untuk bahasa yang berbeda adalah struktur mendalam dalam rangka sistem bahasa tertentu.
struktur bahasa yang berlaku umum untuk sistem bahasa dan berlaku umum untuk semua bahasa.
            Struktur a adalah struktur mendalam dalam rangka sistem bahasa tertentu. Struktur ini menjadi sarana yang disediakan oleh setiap sistem bahasa guna menciptakan suatu karya literer. Srtutur itu dapat diistilahkan sebagai paradigmatik dan syntagmatik.[21]Sedangkan struktur b adalah struktur mendalam yang universal yang meliputi semua sistem bahasa dan berlaku untuk semua manusia dan semua zaman.[22] Struktur mendalam adalah unsur yang sangat berguna dan memungkinkan terjemahan dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain serta memungkinkan sebuah cerita dari masa lampau masih berarti dan bermakna. Di dalam narasi, struktur mendalam universal mencakup semua unsur abstrak yang dikonkritkan dalam karya berupa cerita. Hal itu ditemuai di belakang semua cerita apapun coraknya. Setiap bahasa mempunyai sarana sendiri untuk mewujudkan struktur dasar dan mendalam itu yang tetap sama pada setiap bahasa.
            Unsur-unsur yang merupakan struktur mendalam universal adalah sebagai berikut:
Ø  Plot
Ø  Konfigurasi
Ø  Transformasi dan Sequenz
Ø  Aktant atau pemeran Abstrak

Peranan dan Fungsi Narasi di dalam Hidup Bermasyarakat
Ø  Narasi sebanarnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan hidup itu sendiri adalah cerita. Setiap orang menginginkan cerita dari orang lainnya tentang sesuatu. Peranan dan fungsi narasi dapat dicatat sebagaimana dirinci oleh Sientje Marentek[23] 
Ø  Narasi membangkitkan kesenangan dan sukacita. Dalam saat-saat senggang atau pun menjelang tidur, cerita memberikan sumbangan yang sanagat berarti untuk mengembalikan tenaga dan semangat. Dengan cerita atau membaca narasi yang menarik serta mengesankan, seorang mendengar atau membaca, memperoleh kesenangan dan sukacita.
Ø  Narasi membangkitkan imajinasi. Tidak dapat disangkal bahwa seorang pendengar atau pembaca cerita memperoleh imajinasi dari suatu narasi. Melalui sebuah narasi imajinasi seseorang dapat didorong untuk membayangkan dunia ciptaan seorang pengarang. Dengan demikian pesan yang ada di belakang peristiwa yang diceritakan, menjadi masukan yang berharga bagi daya nalar bahkan bagi kehidupan pendengar atau pembaca tersebut.
Ø  Narasi sebagai sarana komunikasi. Narasi adalah sarana komunikasi, sebab narasi mempertemukan beberapa unsur, yaitu, pencerita, pesan, penerima pesan dan sarana. Narasi juga dapat mempertemukan dunia fiktif (dunia yang direka oleh narator) dengan dunia nyata (dunia penerima pesan). Tujuan komunikasi dapat berupa pemberian informasi dan pemberian sugesti.  Dengan komunikasi informatif, pencerita mau mengugah pikiran pembaca agar mengetahui apa yang dikisahkan. Sedangkan melalui komunikasi sugestif, narator berusaha memberikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya.
Ø  Narasi sebagai sarana pendidikan. Narasi merupakan salah satu sarana yang efektif untuk pendidikan dalam keluarga mau pun dalam lebaga-lembaga pendidikan formal atau pun non formal serta dalam masyarakat. Dengan membaca atau mendengar narasi seseorang dapat belajar memperbaiki dirinya dari figur-figur tertentu dalam sebuah cerita. Kita mengingat apa yang kita pelajari dari cerita Abraham, Musa, Ishak, Daud, Salomo, d.l.l. Kita ingat juga bagaimana kita suka mendengar cerita-cerita dongeng dari orang tua waktu kecil
Ø  Narasi sebagai sarana Protes sosial. Kita ingat cerita nabi Natan yang memprotes sikap Daud terhadap istri Uria. Kita ingat cerita Nuh dan keluarganya yang memprotes sikap bangsa Israel terhadap penduduk Kanaan yang menjadi budak, karena penaklukkan.
Ø  Narasi sebagai sarana yang membangun pengertian dan pemahaman baru.Sifat narasi antara lain adalah sederhana dan mudah dicerna. Di samping itu narasi juga tidak berkesan menggurui atau mengindoktrinasi. Melalui narasi seseorang tidak dipaksa untuk menerima, sebaliknya diundang untuk mengembangkan sesatu. Narasi tidak memutlakkan suatu kebenaran yang harus diterima. Pendekatan cerita selalu mempunyai nada mengusulkan atau menawarkan dalam hal ini pendekatan narasi sangat dekat dengan pendekatan diakronis yang tidak pernah memutlakkan sutau kebenaran, melainkan memungkin orang menentukan pilihan. Berbeda dengan dogma yang harus diterima dan sering menyebabkan orang menjadi pasif dan tidak mengerti walaupun harus menerimanya.
Ø  Narasi sebagai cermin diri. Narasi adalah sebuah cermin bagi pendengar atau pembaca mengidentifikasikan diri dengan para pelaku utama dalam suatu narasi. Pelaku utama dapat menjadi gambaran yang diharapkan oleh pendengar dan pembaca. Jika mereka mengenal apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan di dalam suatu cerita,  maka mereka dapat dipimpin untuk mengenal ciri-ciri yang sama di dalam diri mereka. Untuk hal ini kita pelajari dari berbagai cerita alkitab atau cerita apapun termasuk yang bersifat sekuler, misal novel, legenda dan sebagainya.
Ø  Narasi sebagai ungkapan pengalaman mendalam manusia. Betapapun sederhananya sebuah cerita, narasi mencerminkan pengalaman manusia yang mendalam. Karena itu, relevansi dan nilai narasi sangat besar bagi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, mau pun dalam hubungan antar manusia, alam, dan Khalik. Dalam pemahaman inilah kita dapat mengerti bahwa narasi juga adalah sarana pengungkapan iman. Sebab melalui narasi pengalaman yang dalam yang dialami oleh manusia baik secara pribadi, dalam masyarakat maupun dalam hubungan dengan alam dan Kahalik dapat diungkapkan (Ingat cerita-cerita alkitab).

Struktur Narasi dalam Perjanjian Lama

            Narasi dalam Perjanjian Lama memang ada banyak bentuk. Misalnya, ada berbentuk Saga. Saga dalam PL adalah suatu narasi tradisional yang panjang dan berbentuk prosa. Narasi dalam bentuk ini dibangun di sekitar tema atau objek tertentu. Narasi seperti ini menceritakan perbuatan dan kebajikan seseorang pada masa lampau untuk dijadikan sumbangan kepada dunia narator. Ada yang berbentuk Hikayat;  yaitu narasi pendek yang dicirikan oleh sejumlah kecil karakter. Adegan dalam hikayat berbentuk tunggal dan isi ceritanya sederhana. Contohnya: Kej 2-3:24 (kisah penciptaan manusia serta kejatuhannya). Kain dan Habil termasuk dalam kategori hikayat (Kej 4:1-16).
            Bentuk narasi yang lain ialah novel. Novel adalah narasi yang mengisahkan suatu perkembangan dari pokok ketegangan yang terjadi, menuju suatu akhir yang berupa pemecahan masalah. Susunan karakternya lebih kompleks, berbeda dari saga yang berkarakter tunggal. Penulis novel kadang-kadang memberikan sentuhan khusus di dalam tulisannya agar lebih menarik perhatian pembacanya. Sentuhan itu adakalanya berbentuk humor; misalnya novel Abraham-Lot). Sedangkan novel yang diberi sentuhan teologis, misalnya, novel hamba Abraham; dan sentuhan yang berhubungan dengan masalah keluarga dan masyarakat, misalnya, novel Yusuf.
            Bentuk berikutnya adalah legenda. Legenda adalah sejenis narasi yang menyajikan kisah tentang kepahlawanan atau kesalehan seseorang, misalnya Kej 22 (yang menceritakan kesalehan dan kesetiaan Abraham kepada Allah yang siap mempersembahkan anaknya, Ishak).
            Di samping bentuk-bentuk narasi di atas, ada lagi narasi yang bersifat sejarah. Yang dimaksudkan adalah kisah-kisah  sejarah masa lampau. Cerita sejarah diceritakan sesuai dengan apa yang dimengerti penulis. Contohnya antara lain kisah-kisah dalam Kitab Tawarikh. Ada juga bentuk fabel, yaitu narasi yang mengisahkan suatu dunia fantasi dengan figur khas berupa manusia, binatang atau pun tumbuh-tumbuhan. Sifat susunan narasinya  biasanya statis. Contohnya, cerita mengenai Bileam dan keledainya (Bil 22:22-23)
            Bentuk cerita yang lain yang juga sangat penting ialah bentuk narasi Mite. Jenis narasi ini mempunyai pengertian yang luas. Namun kita perlu membatasi diri  pada pengertian narasi saja. Dalam pengertian narasi mite adalah kisah yang menuturkan tentang suatu dunia nun di atas khayalan. Tujuan penulisan mite adalah untuk memberi petunjuk kepada pembaca di dalam dunianya yang nyata dengan menjelaskan hal-hal yang dijalani dan yang dilakukan oleh yang dipercaya di dalam dunia mereka yang ilahi, misalnya kisah-kisah dalam Kej 1-11.

Struktur Narasi dalam Perjanjian Lama

            Dalam penjelasan di atas sudah tampak kepada kita bahwa narasi dalam PL terdiri dari banyak bentuk dengan coraknya masing-masing. Karena itu tulisan ini tidak bermaksud memaparkan semua struktur berdasarkan pada masing-masing jenis narasi. Hal yang  perlu kita garisbawahi antara lain, bahwa unsur-unsur struktur narasi dalam sastra umum dapat dijumpai dalam narasi yang ditemui dalam Perjanjian Lama.
            Dalam hubungan dengan perhatian kita terhadap struktur narasi dalam PL, kita menaruh perhatian pada contoh yang diuraikan oleh Sientje Marentek.[24]  Sientje Marentek memberikan contoh dari kisah Yakub dan Esau (Kej 25-36). Apabila kita memperhatikan struktur narasi para leluhur, maka kita akan menjumpai unsur-unsur struktur yang terdapat dalam narasi umum. Narasi para leluhur diawali oleh sebuah pendahuluan, menyusul bagian perkembangan dan ada bagian yang mengakhiri (penutup) narasi itu.
            Narasi Yakub dan Esau pun dibangun atas struktur seperti itu. Bagian pendahuluan dari cerita Esau dan Yakub adalah kisah tentang Ishak dengan Ribka, istrinya yang mandul, namun, karena pertolongan Tuhan, ia melahirkan anak kembar yang dinubuatkan bahwa anak yang tua, Esau, menjadi hamba dari anak yang muda, Yakub. Pendahuluan dari cerita Esau dan Yakub (pasal 25-28) mengandung unsur yang mencirikan kesinambungan peristiwa dengan narasi-narasi sebelumnya. Kesinambungan peristiwa itu menjadi alasan sebab akibat bagi bagian perkembangan (Kej 29-31) yang berkisah tentang ketegangan yang terjadi antara Yakub dan Esau setelah Yakub memperoleh hak kesulungan dengan menukarkan hak itu dengan bubur kacang merah, lalu selanjutnya merampas berkat Esau. Bagian perkembangan menjadi  klimaks yang menarik untuk mempersiapkan pembaca menuju akhir (penutup) di dalam pasal 32-35. Pasal-pasal ini berkisah tentang pertemuan kembali Yakub dengan Esau serta riwayat tentang keturunan masing-masing.
            Memperhatikan struktur narasi Esau dan Yakub berdasarkan struktur perbuatan, akan dijumpai bahwa narasi  dibangun dan diikat oleh unsur-unsur tokoh, aksi, karakter, konflik, waktu serta makna yang terikat secara berkesinambungan satu dengan yang lain. Ada tokoh-tokoh yang perannya saling berhubungan: Ishak sebagai suami dan ayah, yang sudah tua; Ribka sebagai istri dan ibu; Esau sebagai anak tertua serta Yakub sebagai anak yang bungsu. Dalam perkembangan selanjutnya , anak yang bungsu itulah yang lebih berkuasa dari pada abangnya.
            Unsur aksi kelihatan dalam tindakan Ishak yang menyuruh Esau untuk berburu dan mempersiapkan makanan baginya agar Ishak dapat memberkati Esau. Kemudian kita melihat aksi Ribka yang menyuruh Yakub mempersiapkan makanan bagi Ishak agar Yakublah yang diberkati Ishak. Aksi-aksi dari tokoh-tokoh itu turut menopang struktur perbuatan dari narasi itu. Begitupun tindakan-tindakan Yakub dan Esau selanjutnya, turut menopang struktur perbuatan narasi tersebut.
            Unsur karakter yang berbeda dari masing-masing tokoh narasi (Ishak yang tua, Ribka yang ambisius, Esau yang acuh, Yakub yang licik dan ulet, Laban yang licik), tetapi yang berkaitan satu sama lainnya memperkuat struktur narasi ini. Demikianpun unsur konflik antara Esau dan Yakub, Yakub dan Laban, menjelaskan struktur yang dapat ditinjau dalam narasi ini.
            Unsur waktu dan makna yang dapat dikemukakan untuk melihat struktur narasi ini, bersama-sama unsur lainnya telah menolong pembaca memperoleh pesan dari narasi ini.

Struktur Narasi dilihat berdasarkan struktur permukaan cerita serta struktur mendalam pada narasi.
            Pertama unsur yang membentuk struktur permukaan narasi:dunia fiktif, ucapan-ucapan naratif, adegan, babak, ucapan lokutif, ucapan fungsional dan sebagainya. Cara ini kita bisa temukan juga dalam cerita Yakub dan Esau. Sama seperti narasi pada umumnya, maka dunia narasi dalam cerita Yakub dan Esau adalah di Bersyeba (Kej 26:23-33).
            Sedangkan ucapan naratif tampak antara lain dalam Kej 28:1,”Kemudian Ishak memanggil Yakub, lalu memberkati dia serta memesankan kepadanya, katanya,’ Janganlah mengambil istri dari perempuan Kanaan.’” Ucapan naratif ini telah membuat narasi ini menjadi sebuah cerita.[25]
            Sementara unsur adegan kita temukan dalam ayat 30-34, yaitu adegan yang mengisahkan percakapan antara Esau dan ayahnya, Ishak setelah Yakub berhasil mendapat berkat dari Ishak. Sedangkan unsur babak kita temukan dalam Kej 27:1-29 yang mengisahkan proses terjadinya pemberian berkat kepada Yakub sebagai ganti Esau. Bagian ini merupakan salah satu babak dari cerita Yakub dan Esau yang panjang itu.
            Ucapan Lokutif yang terdiri dari ucapan ideologis dan psikologis terdapat antara lain dalam Kej 26:33, “Lalu dinamainyalah sumur itu Syeba. Sebab itu nama kota itu adalah Bersyeba, sampai sekarang” (ucapan ideologis). Sedangkan ucapan psikologis adalah Kej 27:5, “Tetapi Ribka mendengarkannya, ketika Ishak berkata kepada Esau, anaknya.” Sementara ucapan fungsional, adalah ucapan yang menjelaskan begaimana kesatuan bahasa dalam cerita dihubungkan satu sama lain, misalnya, Kej 30:29b, “Demikianlah ia bekerja pula pada Laban tujuh tahun lagi”.
            Kedua untuk struktur mendalam/mendasar yang universal perlu diperhatikan unsur-unsur yang membentuknya yaitu, plot/alur, konfigurasi, transformasi, aktant, intelligibilitas serta tingkat pengetahuan yang berbeda. Plot sama dengan alur (lihat catatan sebelumnya).
            Konfigurasi, tampak dalam keteraturan naik turunnya jalan cerita sejak awal sampai akhir. Hal ini dapat ditentukan dalam narasi antara lain melalui penentuan peran masing-masing tokoh dan caranya tokoh-tokoh itu memainkan peranannya. Dalam cerita Yakub dan Esau peran Ribka harus diletakkan pada bagian awal, sebab tanpa pemberitahuan dari Ribka, Yakub tidak mengetahui bahwa Ishak ayahnya akan memberkati Esau. Apabila peran Ribka ditempatkan pada bagian akhir, maka narasi tidak akan berjalan sesuai skema yang dirancangkan.
            Transformasi adalah proses menggarap, memilih dan menggabungkan tindakan satu sama lain dalam narasi. Transformasi terbentuk melalui kata kerja yang implisit dan eksplisit untuk mengungkapkan keadaan. Dalam narasi Yakub dan Esau, trasformasi itu jelas, umpamanya dalam kalimat-kalimat, “Yakubpun melayangkan pandangnya, lalu dilihatnyalah Esau datang dengan didiringi  oleh empat ratus orang. Maka diserahkannyalah sebagian dari anak-anak itu kepada Lea dan sebagian kepada Rahel serta kepada kedua budak perempuan itu …….. (Kej 33:1-4).” Dalam kalimat-kalimat ini tampak dengan jelas proses penggabungan tindakan melalui beberapa kata kerja yang implisit dan eksplisit (melayangkan, dilihat, diserahkan, menempatkan, berjalan, berlari mendapatkan, didekap, dipeluk lehernya, bertangis-tangisan) sehingga suasana cemas yang kemudian berubah menjadi membahagiakan dan mengharukan tergambar dengan jelas.
            Unsur aktant (pemeran abstrak) seperti tokoh pahlawan sebagai subjek Yakub; lawan, Esau; adyuvan/pembantu, Rahel, Lea, hamba-hamba perempuan, dan anak-anak
            Unsur Intelligibilitas, adalah unsur yang menyebabkan cerita dapat dipahami maknanya sehubungan dengan maksud, acuan serta realitas. Dalan narasi Yakub dan Esau, intteligibilitas kita temukan di belakang narasi ketika makna narsai yang antara lain menggarisbawahi tentang persaudaraan yang rukun dan kompak yang tidak dapat dihalangi dengan begitu saja oleh intrik-intrik jahat manusia.
            Tingkat pengetahuan yang berbeda-beda dari pecipta cerita dan pemeran sebagai unsur yang tersembunyi di belakang narasi, tetapi yang turut mengendalikan jalannya cerita merupakan insur yang kuat dalam narasi Yakub dan Esau. Pengarang narasi memahami dengan jelas acuan, maksud, realitas serta tujuan narasi, tetapi para pemeran pasti tidak mengetahui peranan mereka. Perbedaan tingkat pengetahuan ini sangat penting, sebab dengan demikian, situasi khusus yang menarik seperti situasi yang dihadapi Ishak yang tidak megetahui bahwa Yakublah yang datang kepadanya untuk diberkati, tercipta dalam narasi. Demikianpun situasi yang dihadapi Yakub yang cemas bertemu Esau. Pdahal Esau datang menjumpainya dengan perdamaian tampak jelas dalam narasi. 


Struktur/Kiasmus cerita Hana dan Penina

Ayat 1, Elkana (bagian pendahuluan)
            2-3, Hana dan peninia dengan keadaan masing (awal perkembangan)
                 4-5, ketegangan antara Hana dan penina dimulai (menuju klimaks)
                       6-8, ketegangan memuncak (Penina menyakiti Hana, Hana menangis)
                       9-14, tampak Hana mengalami krisis yang mendalam (tampak dalam sikap
                               doa dan nazarnya (klimaks)
                     15-16, ketegangan Han mulai reda (peralihan menuju pemecahan masalah)
                 17-18, Hana mulai menemukan ketenangan (proses pemecahan)
               19-20, Masalah yang menyebabkan ketegangan dan Hana mengalami krisis
                           terpecahkan (menemukan jalan keluar)
            21-27, happy ending
       28, nazar dipenuhi (penutup)
                       




                                                                                                                                                                                      



[1] Andrew D.H. Mayes,  “Sociology and the Old Testament”, The Wold of Ancient Israel (Editor, R.E. Clements, Cambridge, University, 1993, hlm. 39-41.
[2] Lihat, Martin Harun, Forum Biblika, No. 8, 1998, hlm. 79.
[3] Bruce J. Malina, New Testament, Insights from Cultural Anthropology, London, SCM, 1983.
[4] Andrew D.H. Mayes, hlm. 44,45
[5] Andrew D.H. Mayes, hlm.48,49.
[6] Georg Fohrer, History of Israelite Religion, New York, Abingdon, 1972.
[7] Robert Wilson, Sociological Approaches to the Old Testament, Philadelphia, Fortress, 1983.
[8] Norman K. Gottwald, The Tribes of Yahweh, Marryknoll, Orbis Books, 1985 (916 hlm).
[9] Bruce J. Malina, The New Testament World, insight from Cultural Anthropology, London, SCM, 1983, hlm. Iii.
[10] Herman Gunkel seperti dikutip R.N. Whybray, on Robert’s The Art of Biblical Narative, JSTO, 27, 1983, hlm. 75.
[11] Simon Bar-Efrat, Narative Art in the Bible, Sheffield, Almond, 1989, hlm. 9.
[12] Lihay John Markus and Virgil M. Rogers, A Beginner’s Hanbook to Biblical Hebrew, Nashville, Abingdon, 1955, hlm. 20
[13] Suhartono, Forum Biblica, no. 8, 1998, hlm. 58.
[14] Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, Jakarta, Gramedia, 1982, hlm. 146. Secara fungsi, alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah.
[15] Op.cit. hlm 59.
[16] Ibit.
[17] Gorys, Op.cit. hlm. 154.
[18] Ibit. Hlm. 161.
[19] Sebagian bahan ini disaur dari Disertasi Doktor Teologi, Ervin Sientje Marentek-Abraham, STT Jakarta, Jakarta, 1995, halaman-halaman awal.
[20] Sientje Marentek , Ibit, hlm. 48,49.
[21] C. Groenen, Analisis Naratif Kisah Sengsara (Yoh 18-19,  Yogyakarta, Kanisius, 1993, hlm.33,34.
[22] Ibid. hlm. 36.
[23] Op.Cit. hlm. 53-64.
[24] Ibid. hlm. 73-79.
[25] Lihat Groenen, Op.Cit. hlm. 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar