Kitab Taurat
Pdt. Barnabas Lujdi D.Th
Yang dimaksudkan dengan Kitab Taurat adalah
Kitab-kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Kelima kitab ini
biasa juga disebut Pentateukh atau kelima Kitab Musa. Mereka disebut Kitab
Musa, karena menurut tradisi Yahudi, kelima kitab tersebut telah ditulis oleh
Musa. Akan tetapi ditinjau dari sudut studi kritis sulit untuk menerima
pandangan bahwa Musa yang menulis seluruh Kitab Taurat.
Secara keseluruhan isi
Kitab Taurat ialah mulai dari kejadian alam semesta sampai dengan kematian Musa
di gunung Nebo. Jika Kitab Taurat kita baca secara teliti, maka kita akan
terlihat bahwa di sana-sini terdapat cerita-cerita yang hampir sama. Ada cerita
yang hanya mengulangi cerita-cerita yang lain dengan beberapa perbedaan kecil.
Kitab Ulangan misalnya hampir hanya berisi cerita-cerita yang terdapat pada Kel
19 sampai dengan Bil 10, walaupun dalam bentuk yang lebih singkat. Yang lain
misalnya Kej 2:4b-25 sama dengan Kej 1:1-2:4a, bahkan ada cerita yang diulangi
tiga kali, yaitu Kej 12:10-20; 20:1-18; dan 26:1-11. Pengulangan ini perlu
diteliti lebih lanjut.
Kej 1:1-2:4a dan 2:4b-25. Kedua perikop ini
menceritakan dua hal yang sama yaitu tentang alam semesta. Namun di antara
keduanya terpat beberapa perbedaan, yaitu a.l.
Kej 1:1-2:4a menceritakan kejadian alam secara
teratur dan sistematis, mulai hari pertama sampai dengan hari ketujuh,
masing-masing hari dengan isinya sendiri-sendiri. Sedangkan Kej 2:4b-25 tidak
mempunyai perincian sistematis seperti itu.
Selanjutnya Kej 1 memberikan perhatian utama
terhadap seluruh ciptaan. Sedangkan Ke 2 hanya memberi perhatian utama kepada
manusia dengan segala tingkah lakunya. Perbedaan-perbedaan lain dapat
ditambahkan. Namun di atas semua perbedaan itu satu hal yang dalam studi PL cukup
menentukan pengertian terhadap cerita itu ialah,
Bahwa dalam Kej 1 sang pencipta hanya disebut
dengan nama Allah (Elohim). Sedangkan dalam Kej 2, sang pencipta disebut dengan
nama Yahwe Ellohim (TUHAN Allah). Apakah arti dari perbedaan dan persamaan itu?
Di antara hal-hal yang bisa dicatat, ada 2 hal penting:
Kedua perikop itu hendak menceritakan hal yang
sama yaitu tentang permulaan alam semesta. Oleh karena hanya satu saja
permulaan alam semesta, maka kedua cerita itu berasal peristiwa yang satu itu.
Bahwa kedua perikop itu adalah hasil atau cerita dari dua pencerita yang
tidak sama.
Pencerita yang satu dapat bercerita secara teratur
dan sistematis dengan urutan yang baik, sedangkan yang lain rupanya hanya mau
menekankan dan menonjolkan hal yang ia anggap penting, yaitu manusia dengan
segala tingkah lakunya. Akhirnya kedua cerita itu digabungkan begitu saja
mungkin oleh pencerita pertama atau pencerita kedua atau oleh orang lain.
Pengulangan tiga kali dalam Kej 12, 20, dan 26.
Dalam ketiga pasal ini ada cerita yang sama, yaitu bahwa istri-istri nenek
moyang Israel diakui sebagai saudara perempuan oleh suami-suami mereka di
negeri asing. Di sana raja-raja negeri asing itu bermaksud memperistrikan istri
leluhur Israel, tetapi niat ini kemudian dibatalkan, karena para raja yang
dimaksud mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Kej 12, menceritakan Abraham dan istrinya berada
di Mesir. Abraham mengakui Sarai sebagai saudara perempuannya, lalu Firaun
Mesir bermaksud memperistrikan Sarai. Namun setelah diketahui keadaan yang
sebenarnya, Firaun membatalkan niatnya itu.
Kej 20, menceritakan Abraham dan Sarai berada di
Gerar dangan raja Abimelekh. Di sana Abraham juga mengakui Sarai sebagai
saudara perempuannya. Abimelekh pun bermaksud memperistrikan Sarai. Tetapi
setelah ia mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka gagal pula niatnya itu.
Kej 26, menceritakan Ishak dan Ribka di Gerar
dengan raja Abimelekh juga . Di sana Ishak juga mengakui Ribka sebagai saudara
perempuannya. Karena itu Abimelekh pun berniat memperistrikan Ribka, namun
niatnya itu juga dibatalkan setelah ia mengetahui keadaan sebenarnya.
Dalam ketiga cerita ini jelas bahwa masing-masing raja
akan memeperistrikan istri masing-masing nenek moyang Israel dan dengan alasan
tertentu, niat itu dibatalkan. Penelitian yang cermat terhadap teks-teks ini
akan memperlihatkan kepada kita bahwa Kej 12,20 sebenarnya berasal dari sumber
cerita yang sama, hanya penceritanya yang berbeda. Sedangkan Kej 12 dan 26
merupakan dua cerita yang berbeda, tetapi ditulis oleh satu orang. Kej 12 dan
26 sama-sama memakai nama TUHAN (Yahwe), sedangkan Kej 20 memakai nama Allah
(Elohim). Dengan kedua contoh di atas dan bagian-bagian lain di dalam
Pentateukh ternyata ada bagian-bagian yang hanya memakai nama Allah. Penelitian
terhadap bagian-bagian itu membawa kesimpulan, bahwa ada 2 pencerita yang
berbeda yang hasil ceritanya sama-sama terdapat dalam Pentateukh, yaitu
pencerita yang menggunakan nama Yahwe dan pencerita yang menggunakan nama
Elohim. Pencerita yang menggunakan nama TUHAN (Yahwe) oleh para ahli disebut
Yahwist (Y), sedangkan pencerita yang memakai nama Elohim (Allah) biasa disebut
Elohist (E).
Penulis Yahwist
Penelitian secara saksama terhadap seluruh
Pentateukh menunjukkan bahwa penulis Y mempunyai cara berpikir/gaya cerita dan
teologi tersendiri. Cerita tentang nenek moyang Israel oleh pencerita Y
didahului dengan cerita tentang manusia (Mankind) secara umum. Pencerita itu
mulai dengan cerita bahwa pada mulanya manusia itu diciptakan Tuhan laki-laki
dan perempuan (Kej 2:4b-3:24). Dalam bahasa Ibrani manusia disebut Adam.
Manusia dihubungkan dengan tanah (adama). Nama manusia berasal dari nama tanah.
Manusia berhubunagan dengan nama tanah, karena,
ia dibuat dari tanah (Kej 2:7).
ia hidup dan makan dari tanah (Kej 3:17-18).
Manusia mati kembali ke tanah (Kej 3:19)
Selanjut Y menceritakan bahwa hidup manusia itu
adalah hidup dalam ketidakpercayaan, kesombongan, dan kebanggaan yang semuanya
menyebabkan adanya kesengsaraan dan kekurangharmonisan dalam kehidupan. Oleh
karena itu menurut Yahwist, Tuhan membuat pembatasan-pembatasan kepada manusia
dan memberikan pengharapan masa depan. Pembatasan-pembatasan itu tampak dalam adanya peraturan-peraturan dan
kematian manusia itu sendiri. Sementara pengharapan masa depan dimulai oleh pencerita
Yahwist dengan menyebutkan adanya janji dan penggilan Tuhan kepada Abraham (Kej
12). Janji itu antara lain bahwa seluruh bangsa di dunia ini akan memperoleh
berkat melalui Israel.
Selanjut Y menceritakan bahwa Tuhan itu sangat
dekat dengan manusia. Tuhan berada bersama manusia, Tuhan dilukiskan seperti
manusia. Hal itu jelas dari hal-hal seperti Tuhan berjalan pada waktu hari
sejuk dan mencari manusia (Kej 3:8,9); Tuhan bekerja seperti manusia (Kej 2:7);
Tuhan menjadi tukang taman atau kebun (Kej 2:8); dan menjadi pembuat pakaian
(Kej 3:21). Secara singkat bagi penulis Y, Tuhan itu bukanlah tokoh metafisis
supra-natural jauh dari manusia, melainkan tokoh yang dekat dengan manusia,
dekat dengan kehidupan manusia sehari hari. Selanjutnya bagi Y pusat lokasi
cerita Abraham adalah Hebron (Kej 12,13,15,16,18,19). Dalam cerita Yusuf, tokoh
Yahuda sangat menonjol. Karena itu pencerita Y diduga berasal dari Yehuda pada
zaman Daud dan Salomo (abad 10 sM).
2. Penulis Elohist
Di atas telah kita catat bahwa Kej 12 dan 26 adalah hasil
tulisan Yahwist, sedangkan Kej 20 adalah hasil tulisan Elohist. Penulis E lebih
lanjut menunjukkan bahwa dalam Kej 12, niat Firaun dibatalkan karena Firaun
menerima musibah dari Tuhan. Dalam Kej 26, niat
Abimelekh dibatalkan karena Abimelekh melihat Ishak dan Ribka bercumbu
rayu. Sedangkan Kej 20 niat Abimelekh dibatalkan karena Abimelekh berbicara
dengan Allah melalui mimpi. Jelas bahwa di samping sebutan nama Allah, Kej 20
juga memperlihatkan bahwa Allah berhubungan dengan manusia lewat mimpi. Mimpi
menjadi sarana komunikasi Allah dengan manusia. Dalam Kej 28:13-16, 17-22 Yakub
bertemu dengan Allah juga lewat mimpi. Oleh karena itu Kej 28:13-16 dan Kej 20
ditulis oleh penulis yang sama yaitu Elohist. Dari dua contoh tulisan E di atas
(Kej 20 dan 28) dapat dikatakan bahwa Elohist mempunyai cirri-ciri:
Ø Penulis ini memakai nama Elohim (Allah).
Ø Menurut penulis Elohist, Elohim itu jauh
dari manusia. Allah berbicara dengan manusia melalui perantara seperti mimpi
dan para malaikat.
Ø Menekankan konsepsi takut akan Allah yang
menyebabkan manusia bersikap setia atau sama sekali tidak setia kepada Allah.
Ø Elohist senang menggambarkan Allah sebagai
yang mencobai kesetiaan manusia (Kej 22:1-19).
Ø Penulis E banyak mengunakan bentuk cerita
dialog antara Allah dan manusia dan antara manusia dengan sesamanya.
Ø Dalam cerita tentang Abraham E memusatkan
lokasi cerita di Bersheba.
Ø Dalam cerita tentang Yusuf tokoh yang
menonjol adalah Ruben.
Ø Penulis ini senang akan cerita perpisahan
(contoh Kej 27, 48,50).
Ø Penulis ini berasal dari Israel Utara
(mungkin para nabi).
3. Kelompok imam atau Priester (P)
Di luar penulis-penulis Y dan E ternyata masih ada
penulis yang lain yang menunjukkan ciri yang khas. Masih ada bagian-bagian dari
Pentateukh yang tidak bisa dimasukkan dalam ciri Y dan E. Contoh Kej 1:1-2:4a.
Pada satu pihak menggunakan nama Elohim seperti ciri E. Pada pihak yang lain
Allah berfirman langsung kepada manusia seperti ciri Y. Namun perikop ini
mengandung ciri-ciri di luar ciri-ciri Y dan E yaitu, adanya keteraturan urutan
cerita (sistematika yang baik). Keteraturan dan sistematika yang baik seperti
ini terdapat juga dalam cerita-cerita silsilah (Kej 4:17-5:3, 6-10 d.l.l.). Kej
1:1-2:4a juga menceritakan bahwa apa yang terjadi itu, terjadi hanya karena
firman Allah. Allah berfirman adalah terang, maka terang itu ada. Cerita
seperti ini juga terdapat dalam Ke 9 dan 17 :1-16 yang berisi perjanjian antara
Allah dengan Nuh dan Abraham terjadi hanya karena firman di mana Nuh, Abraham
tidak menjawab apa-apa kecuali melakukan firman Allah. Dengan demikian Kej
1:1-2:4a, 9 dan 17 menampilkan ciri yang sama yaitu bahwa firman Tuhan berkuasa
menampilkan apa saja. Ciri-ciri seperti itu ternyata tidak dimiliki oleh Y dan
E, tetapi hanya dimiliki oleh kelompok imam-imam.
Para imam adalah kelompok yang mempunyai,cara kerja, cara berpikir, cara
bercerita yang sistematis, suka kepada keteraturan dengan urutan yang baik.
Para imamlah yang mempunyai kepercayaan dan pegangan bahwa firman Allah itu
berkuasa menjadikan apa saja. Kelompok para imam ini disebut dengan Priester
(P).
Dengan demikian banyak bagian Pentateukh yang
berasal dari kelompok para imam ini. Tulisan para imam ini mempunyai ciri-ciri
seperti,
Berbicra tentang perjanjian Allah dengan Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub
dengan tanda-tanda meterai perjanjian, pelangi, sunat, dan Hari Sabat.
Mementingkan kuasa firman Allah. Firman Allah merupakan asal-usul dari
semua yang ada. Setiap kenyataan adalah akibat dari firman.
Ø Kelompok ini banyak menulis tentang
silsilah (teledot), umur-umur, dan riwayat hidup.
Ø Kelompok ini menonjolkan hukum dan
peraturan-peraturan yang harus dilakukan bangsa Israel.
Ø Kelompok ini juga sangat memperhatikan
kehidupan kultus dan lembaga-lembaga keagamaan seperti Hari Sabat, sunat,
d.l.l.
Kelompok ini berasal dari Yehuda dan berkarya
selama zaman pembuangan di Babel sekitar abad ke-5 sM.. Penelitian lebih jauh
terhadap Pentateukh menunjukkan bahwa penulis Y,E, dan P mempunyai peranan
utama dalam proses terjadinya Kitab Taurat. Tidak ada satu kitab pun dari
Taurat yang tidak memuat Y,E, dan P, bahkan yang menyusun Kitab Taurat dalam
bentuk yang sekarang adalah kelompok penulis P. Apabila Y dan E kebanyakan
menulis dalam bentuk prosa dan cerita (narasi), maka P sebagian terbesar
menulis peraturan-peraturan dan hanya sedikit saja yang berisi cerita biasa
(Kitab Imamat).
4. Penulis Deuteronomis
Hanya satu kitab dalam Pentateukh yang sebagian besar
isinya tidak termasuk dalam ciri Y,E, dan P, yaitu Kitab Ulangan (Deuteronomi).
Kitab ini ditulis oleh kelompok yang disebut Deuteronomis atau D. Penulis D ini
mempunyai ciri-ciri khas seperti,
Sangat menekankan hubungan kasih antara Allah dengan
manusia dan antara sesama (Ul 6:4,5).
Menekankan bahwa ibadah yang benar dan syah ialah ibadah
yang berpusat di Yerusalem (Ul 12). Hal ini bertentangan dengan Kel 20:24 di
mana dikatakan bahwa ibadah boleh dilakukan di mana saja.
Menurut D yang berhak menjadi imam adalah suku lewi,
sedangkan menurut P, yang berhak menjadi imam adalah Harun dan anak-anaknya. Sedangkan
suku Lewi hanya membantu para imam. Penulis atau mashab ulangan berasal dari
abad ke 8 sM. Selanjutnya dalam Kitab Ulangan dapat ditemukan ciri khas D yang
lain, yaitu,
Dasar teologis D tentang hukum
ialah tindakan kasih Allah yang mendahului kesetiaan Israel. Kalau Allah
memberikan hukum-hukum yang harus ditaati Israel, maka hal itu telah didahului
oleh tindakan kasih-Nya kepada Israel. Artinya
kesetiaan Israel kepada Allah melalui pelaksanaan hukum-hukum Allah adalah
respon Israel terhadap tindakan kasih Allah kepada mereka. Bagi penulis D,
melakukan hukum tidak ada hubungannya dengan memperoleh pahala. Contoh
persembahan berbagai korban yang harus disediakan bangsa Israel bagi Allah
setiap hari dimengerti bukan sebagai korban yang membuat Israel selamat (supaya
selamat). Jawaban Israel kepada Allah karena Allah telah lebih dahulu melakukan
tindakan kasih terhadap Israel.
Penulis
menekankan pentingnya hubungan perjanjian antara Allah dengan Israel di gunung
Sinai. Perjanjian yang telah dibuat pada waktu yang lampau itu bagi penulis D
masih tetap berlaku terus baik bagi orang-orang dahulu mau pun bagi orang-orang
sekarang, bahkan bagi orang-orang yang akan datang pun. Seluruh Kitab Ulangan
sebenarnya memang dimaksudkan untuk memproklamasikan secara baru perjanjian
Sinai yang dahulu itu. Perjanjian itu berlangsung terus dan sebagai jaminannya,
Allah berkenan menempatkan nama-Nya di satu tempat yang dipilih-Nya yaitu
Yerusalem. Ibadah di yerusalem adalah satu-satunya ibadah yang sah tempat
perjanjian dihayati kembali. Sekaligus dengan itu, penulis D juga menekankan
pentingnya nama Tuhan dalam hubungan perjanjian. Dari penulis D inilah kita
mengenal teologi nama Tuhan dan teologi perjanjian yang kemudian diikuti oleh penulis P.
Maksud utama
penulis D ialah pemberian hukum agar Israel hidup suci di hadapan Allah (Ul
7:6; 14:2; 26:18-19). Kegagalan untuk menjadi bangsa yang suci bagi Allah
adalah sebab utama hilangnya berkat perjanjian dari tengah bangsa Israel.
Usaha penulis
D ini disambut baik oleh Raja Yosia di Yerusalem pada abad ke-7 sM, sehingga
Raja Yosia mengadakan reformasi yang bertujuan membangun kembali kehidupan yang
suci dan memulihkan bangsa Israel kepada hubungan yang benar dengan Tuhan Allah. Reformasi ini didasarkan pada
perjanjian Sinai. Yosia menghapuskan berhala-berhala dari tengah-tengah bangsa
Israel dan memerintahkan untuk berbakti
hanya di Bait Allah Yerusalem (2 Raj 23:4-15).
Kesimpulan tentang terjadinya Kitab Taurat
Kitab Taurat ditulis oleh paling
kurang 4 kelompok penulis yaitu, Y,E,D, dan P. Para imam (P) adalah kelompok
penulis terakhir yang merangkum hasil penulis-penulis terdahulu. Dalam usahanya
itu P kadang-kadang membiarkan secara utuh tulisan-tulisan Y,E, dan D, tetapi
juga sering mengolahnya kembali.
Oleh karena banyak karangan yang
isinya hampir sama, tetapi berasal dari kelompok penulis yang berbeda, maka
kita temukan dalam Kitab Taurat sekarang adanya doublet (sepasang cerita yang
hampir sama) dan triplet (tiga cerita yang hampir sama).
Jelas bahwa Kitab Taurat ditulis oleh manusia dengan
ciri-ciri kemanusiaannya dan memakan waktu yang sangat panjang (5 abad).
Bentuk sastra yang dipakai
Di dalam Kitab Taurat kita
temukan bentuk sastra tertentu yang digunakan oleh para penulis. Kita temukan
bentuk prosa dan puisi. Bentuk prosa termasuk bentuk yang paling banyak
digunakan, sedangkan bentuk puisi kita temukan a.l. dalam Kej 4:23-24 (nyanyian
Lamekh); Kel 15:1-15 (nyanyian Musa) yang digunakan dalam liturgy badah di Bait
Allah Yerusalem. Dilihat dari sudut isi nyata juga bahwa dalam Kitab Taurat
bayak terdapat hukum-hukum (taurat) dan cerita asal-usul (aetiologis). Contoh
cerita aetiologis a.l. Kej 1:1-2:4a merupakan cerita asal-usul alam semesta
yang memuncak pada asal-usul Sabat. Kej 3 a.l. memuat cerita asal-usul ular
jalar menjalar. Kej 28:10-22 memuat cerita asal-usul nama Bet’el. Kel 15:22-24
merupakan cerita asal-usul nama Mara. Kel 17 :1-7 memuat cerita asal-usul nama
Masa dan Meriba. Kej 21:22-31 mengenai asal-usul nama Bersyeba yang artinya
sumur ketujuh. Sebenarnya nama-nama itu sudah ada sebelumnya, kemudian dibuat
ceritanya, baru memiliki asal-usul yang di tempat itu terjadi
peristiwa-peristiwa tertentu. Isi Kitab Taurat mulai dari kejadian alam samapai
dengan cerita tentang kematian Musa (Kej 1-Ul 34). Mulai dari yang sangat
universal hingga ke lingkungan yang makin sempit dan berakhir dengan munculnya
bangsa Israel, suatu bangsa yang terkecil saja dari ribuan bangsa yang ada.
Hermeneutika
Pengertian Istilah. Ada tiga istilah yang
berhubungan dengan istilah hermeneuse.
Istilah hermeneitika
Istilah hermeneutik
istilah hermeneuse
Ketiga istilah ini berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein, yang artinya menafsirkan atau menerjemahkan. Sedangkan istilah
hermeneus dikenakan kepada seseorang yang mempunyai keahlian menerjemahkan
suatu bahasa ke bahasa lain. Istilah ini kemungkinan berhubungan dengan dewa
hermes yang dianggap sebagai juru bicara para dewa Yunani..
Dari segi etnologi,
hermeneuein sejajar dengan istilah eksagein (exagein) yang berarti mengartikan
atau menafsirkan. Sedangkan kata benda hermeneutika dekat dengan istilah
eksegesis. Namun dalam rangka ilmu tafsiran Kitab Suci, istilah eksagein dan
hermeneuein mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah eksegese atau tafsir berarti menafsirkan atau mengartikan salah
satu teks Kitab Suci. Sedangkan istilah-istilah, hermeneutika, hermeneutik,
dan hermeneuse berhubungan dengan apa yang dibutuhkan untuk menafsirkan salah
satu teks Kitab Suci secara tepat dan baik.
Untuk sementara perlu juga
kita membedakan ketiga istilah: hermeneutika, hermeneutik, dan hermeneuse.
Hermeneutika ialah ilmu yang menentukan kaidah dan patokan yang perlu
diperhatikan dalam menafsirkan salah satu teks alkitab. Kaidah-kaidah itu bersifat
obektif, yang bersangkutan dengan teks itu sendiri.
Hermeneutik, ialah prasyarat dari pihak penafsir sendiri guna menolong
penafsir dalam memahami teks yamg ditafsir. Jadi tidak menyangkut teknik dan
metodik penafsiran.
Hermeneuse, ialah meliputi hal-hal yang berhubungan dengan hermeneutika dan
hermeneutik. Dengan demikian, hermeneuse, ialah ilmu pembantu untuk melakukan
pekerjaan menafsir. Ilmu praktis itu menyelidiki, menganalisis, dan menentukan
apa yang perlu supaya salah satu teks Kitab Suci dapat diartikan dengan baik dan dapat dipahami secara tepat.
Hermeneuse dapat dibagi atas dua, yaitu,
hermeneuse profan yang berhubungan
dengan dukumen manusiawi dan hermeneuse suci yang berhubungan dengan dukumen
yang bersifat manusiawi dan ilahi.
Perkembangan
Hermeneutika ke hermeneutik
Dalam perkembangan sejarah kita dapat
membedakannya atas tahap-tahap yang sangat berbeda. Tahap pertama, menghasilkan
apa yang disebut Hermeneutika dan tahap kedua adalah hermeneutik.
Ø Hermeneutika tradisional alkitabiah.
Orang pertama yang merumuskan suatu hermeneutika
ialah, Origenes yang sehidup sekitar tahun 185/186 –254/255. Dalam karangannya
yang disebut “Peri arkhon” yang terbit sekitar tahun 230. Hermeneutika Origenes
belum dapat dikatan lengkap atau tepat. Setelah Origenes muncul muncul lagi
beberapa tahap hermeneutika, antara lain:
Ø Hermeneutika Alexanderia – Mesir.
Hermeneutika ini muncul sebagai alat bantu
tafsiran alegoris yang memeperhatikan 3 makna alkitab, yaitu makna hurufiah,
makna moril, dan makna rohani.
Ø Hermeneutika Antiokhia – Siria.
Hermeneutika ini sangat mengutamakan makna
hurufiah dan makna historis alkitab tanpa mencari hal-hal yang tidak tampak
dalam teks.
Ø Hermeneutika Reformasi yang dipelopori oleh Luther yang mulai
mengembangkan hermeneutika Siria (Antiokhia).
Ø Hermeneutika modern menghentikan
hermeneutika Luther.
Hermeneutika modern mulai berkembang sejak abad
ke-18-s/d 20, dan masih bertahan sampai abad 21 ini. Hermeneutika ini mempunyai
ciri khas tersendiri, yaitu, menekankan eksegese kritis historis. Berarti
hermeneutikan ini sangat menekankan sifat historis Kitab Suci.
Semua tahap hermeneutika yang baru kita sebut tadi
walau terdapat perbedaan-perbedaan dalam hal makna, namun satu hal yang
menonjol yang menunjukkan persamaan di antara mereka ialah, bahwa semua tahap
itu menekankan teks alkitab itu sendiri, sama-sama mengutamakan makna hurufiah
teks alkitab (sensus literalis) Mereka tanpa memperhatikan subyek atau penafsir
itu sendiri sebagai unsur yang menentukan apakah Kitab Suci itu dimengerti atau
tidak.
Sedangkan perbedaannya
antara hermeneutika-hermeneutika lainnya dengan hermeneutika modern, ialah
bahwa hermeneutika lainnya (klasik) sama sekali tidak memperhatikan aspek
historis alkitab. Mereka menerima alkitab sebagai wahyu yang sudah sedemikian
adanya. Sebaliknya hermeneutika modern sangat menyadari akan sifat historis
Kitab Suci.. Tujuan hermeneutika modern ialah suatu eksegese yang seobyektif
mungkin, tanpa dipengaruhi oleh pra – andai/pra –paham penafsir.
Sejarah selanjutnya
Dalam sejarah selanjutnya,
hermeneutika diperluas dan untuk itu muncul istilah baru, yang disebut
hermeneutik. Perkembangan ini muncul sebagai reaksi terhadap hermeneutika
modern yang sama sekali tidak memperhatikan makna alkitab bagi kehidupan
orang-orang yang hidup di luar zaman alkitab itu sendiri. Hal ini merupakan
akibat dari penekanan yang sangat sepihak pada aspek historis alkitab. Krisis
penafsiran meodern ini mau dihadapi
dengan interpretasi eksistensial (hermeneutik). Hermeneutik ini dipelopori dan
diperluas oleh Rudolf Bultmann. Ia tetap mempertahankan aspek historis alkitab
– sama halnya dengan hermeneutika modern. Di samping itu perlu diikut sertakan
unsur-unsur subyektif penafsir itu sendiri yang sama pentingnya dengan kritik
historis. Bahkan Bultmann sangat mengecilkan arti historis itu bagi penafsir
itu. Apapun hasil penelitian itu, tidak ada sangkut pautnya dengan diri
penafsir itu sendiri.
Menurut Bultmann,
kepercayaan-kepercayaan Kristen tidak ada sangkut pautnya dengan alkitab
sebagai dokumen historis. Yang dicari dari dalam alkitab adalah sebuah
interpretasi terhadap eksistensi manusia sekarang dan setiap detik. Yang
dikatakan alkitab bukanlah sebuah obyek
di luar manusia, melainkan yang difirmankan adalah menyangkut subyek – manusia
itu sendiri pada zaman dan waktu manapun.
Alkitab bukan menjawab
pertanyaan-pertanyaan terjadinya, sejarahnya dulu. Melainkan menjawab dan
memecahkan masalah yang ditimbulkan manusia sekarang. Seseorang dikatan
mengerti alkitab, apabila ia merasakan adanya persoalan dalam dirinya, setelah
ia membaca alkitab. Berita alkitab itu harus disambut dengan memberikan
keputusan menerima atau menolaknya, dan mengatur hidupnya menurut keputusannya.
Menurut Bultmann hanya dengan cara itu aktualisasi alkitab tetap dipertahankan.
Untuk mencapai tujuan itu,
ada prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu bahwa hermeneutik harus dapat
menyingkapkan dan menyadarkan prasyarat diri penafsir. Penafsir harus
menghubungkan eksistensinya serta semua persoalan fundamental dengan alkitab, dan mengajukan pertanyaan
mengenai eksistensinya kepada alkitab.
Hermeneutik yang
dikembangkan Bultmann ini memang mempunyai tujuan yang positif, yaitu
menyelamatkan alkitab dari relativisme historis.
Walaupun demikian ada juga
kritik keras terhadap hermeneutik Bultmannini. Hermeneutik ini sama sekali
mengosongkan Kitab Suci dari sejarah dan karya menyelamatan Allah yang juga
mengandung nilai-nilai historis. Bultmann lupa bahwa pernyataan dan tindakan
penyelamatan Allah itu terjadi dalam sejarah, sehingga nilai historis karya
Allah tidak dapat disingkirkan begitu saja, tanpa memperhatikannya dalam relasi
dengan manusia sekarang. Alkitab memberitahukan sesuatu/kejadian-kejadian dalam
sejarah yang sampai sekarang bermakna bagi eksistensi manusia serta seluruh
persoalannya.
Hermeneutik baru
Hermeneutik ini
menggunakan cara pendekatan yang terdapat dalam hermeneutik modern dan
Bultmann. Di samping itu ia juga memperhatikan prasyarat dari manusia itu
sendiri, supaya pemberitaan yang obyektif dan netral benar-benar bermakna –
kena mengena dengan diri manusia sendiri, supaya berita yang historis itu
menjadi aktual. Sebuah dukumen historis dapat dikatakan bermakna apabila ia
aktual-kena mengena dengan kehidupan pada segala zaman, dan apabila aktual dan
kena mengena dengan baru dikatakan pembaca memahami alkitab. Dengan demikian
kita bisa melihat bahwa hermeneutik baru tetap mempertahankan kritik historis
alkitab, agar penafsir tidak memasukkan pikirannya sendiri, agar jangan terjadi
apa yang disebut eiksegese. Di samping itu ia juga mengutamakan subyak/penafsir
untuk memahami alkitab.
Berhubungan dengan
hermeneutik baru ada persoalan yang perlu dipertanyakan, bagaimanakah
menghidupkan kembali firman Allah. Dengan jalan historis kritis saja tidak
cukup mengaktualkan tradisi historis itu. Atau dengan perkatan lain, bagaimana
tradisi historis yang terdapat dalam alkitab itu menjadi kejadian yang aktual.
Tak jelas bahwa hanya dengan mengenal dan mengetahui historis, latar
belakang sastranya serta teks tidak cukup untuk mengaktualkan berita alkitab.
Oleh karena itu perbedaan antara hermeneutik dengan hermeneutika bukan saja
perbedaan mengenai metode, melainkan perbedaan mengenai struktur.
Sebelum kita datang pada
pemahaman khusus mengenai hermeneutik teologis alkitabiah, terdahulu kita
mencoba memahami hermeneutik umum.
Kalau kita berbicara
tentang hermeneutik, kita tidak bisa mengatakan bahwa hermeneutik itu hanya
menyangkut alkitab. Tetapi sebenarnya hermenetik berasal dari dunia ilmu
pengetahuan pada umumnya. Para ahli filsafat menggunakan kta hermeneutik dalam
arti khusus dan dalam arti yang luas sekali. Hermeneutik dimengerti dalam arti
ilmu pemahaman. Apa arti pemahaman atau arti memahami. Untuk itu kita perlu
membedakan antara memahami dan mengetahui atau mengenal. Mengetahui atau
mengenal hanya mengenai objek belaka,
terlepas dari subjek yang mengetahui pengetahuan. Yang diketahui tidak
eksistensial.
Sedangkan memahami jauh
lebih mendalam daripada mengetahui. Memahami artinya mengerti apa itu adanya,
apa hubungannya dengan objek-objek lain, apa kedudukannya dalam keseluruhan
objek. Yang paling penting ialah apa kedudukan objek itu terhadap subjek itu
sendiri. Apa arti dan makna objek itu bagi pribadi subjek sendiri. Inilah yang
eksistensial. Hal ini hanya bisa tercapai apabila apabila subjek bergaul mesra
dengan objek, sehingga objek itu turut mempengaruhi hidup subjek. Harus pula
disadari bahwa memahami itu merupakan hakikat manusia; paling tidak seseorang
harus memahami dirinya sendiri. Hermeneutik bukan pertama-tama menaruh
perhatian pada objek yang dipahami dan metodik untuk mengenalnya secara tepat
sebagai objek, tetapi yang diutamakan ialah subjek yang memahami.
Yang menjadi masalah ialah
bagaimana menemukan ujung relasi antara subjek dan objek. Itulah yang diperhatikan
dalam Hermeneutik. Pengertian hermeneutik umum inilah yang diambil alih dan
diterapkan ke dalam ilmu tafsir alkitab. Dengan demikian dikenallah apa yang
disebut hermeneutik teologis alkitabiah.
Hermeneutik teologis – alkitabiah
Sebagaimana hermeneutik
umum dipahami, demikian jugalah hermeneutik teologis – alkitabiah itu dipahami.
Masalah utama dalam hermeneutik teologis – alkitabiah ialah, bagaimana orang
benar-benar dapat memahami pernyataan Tuhan yang berupa tindakan dan firman
yang disampaikan kepadanya melalui tradisi yang disampaikan umat Allah
sepanjang sejarah dan bagaimana tradisi itu dapat diungkapkan begitu rupa sehingga tetap aktual?
Hermeneutik teologis juga
mempunyai peranan negatif sejauh ia menjaga supaya orang hanya mengungkapkan
secara teologis apa yang dapat dipertanggungjawabkan dan supaya secara teologis dapat
mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang dikatakannya.
Hermeneutik teologis –
alkitabiah, dengan tidak mengurangi perlunya penekanan pada objek, sangat
mementingkan subjek secara eksistensial ia harus terlibat dalam apa yang
sesungguhnya dusuarakan alkitab. Secara
pribadi orang harus menangkap dan menanggapi apa yang difirmankan Allah kepada
diri itu sendiri. Hermeneutik selalu menuntut suatu sikap dan pandangan
tertentu yang turut menentukan, apakah orang akan memahami objek itu dan
bagaimana memahaminya. Artinya bahwa hermeneutik teologis – alkitabiah menuntut
agar terlebih dahulu seseorang memiliki suatu pandangan yang menyeluruh tentang
alkitab. Mendekati alkitab dengan keyakinan bahwa di dalamnya terdapat sesuatu
yang dapat menolong manusia sekarang. Inilah yang disebut prasyarat dalam
hermeneutik, bahkan merupakan syarat mutlak dalam menafsirkan alkitab.
Dalam hermeneutik
ilmu-ilmu lain juga terdapat prasyarat serupa, misalnya dalam ilmu sejarah.
Namun prasyarat/prapaham seperti di atas belum cukup untuk hermeneutik teologis
– alkitabiah. Untuk hermeneutik teologis – alkitabiah, kita perlu menambahkan
sesuatu yang khas, yaitu yang mengikat dan mewajibkan. Kita menyadari bahwa
alkitab bukanlah tradisi yang begitu saja dapat disamakan dengan
tradisi-tradisi keagamaan lainnya.
Tradisi alkitab adalah
tradisi yang mengikat dan mewajibkan Umat Kristen. Ini berarti pula, bahwa yang
menjadi masalah khusus dalam hermeneutik alkitabiah, adalah bagaimana dapat
menerangkan bahwa tradisi alkitabiah terus mengikat dan mewajibkan Umat Kristen
sekarang. Bagaimana orang dapat memahaminya, sehingga orang benar-benar merasa
diri terikat.
Untuk menerangkan masalah
ini ada dua hal yang perlu kita catat.
Alkitab berisikan kejadian-kejadian historis yang tidak bertahan, bahkan
yang hilang lenyap, sama seperti kejadian-kejadian historis lainnya. Artinya
kejadian yang tercantum dalam alkitab secara definitif itu hilang lenyap dan
tidak terulang lagi.
Akan tetapi di pihak lain, alkitab bukan saja
mengandung laporan tradisi-tradisi historis, melainkan juga mengandung suatu
kesaksian dan berita yamg merupakan isi dari tradisi-tradisi historis itu.
Dalam istilah prof. Dr. Sri Wismoady Wahono, bahwa dalam alkitab terdapat akta
historis dan akta kredo. Orang-orang percaya memahami kejadian-kejadian
historis itu sebagai karya penyelamatan Allah dalam sejarah.
Dalam hermeneutik alkitabiah ini disadari adanya
kaitan antara traddisi alkitabiah yang historis itu dengan pewartaan itu
sendiri. Kedua aspek itu sama sekali tidak dapat dipisahkan. Kesaksian itu
tidak mungkin dapat dipisahkan dari kejadian-kejadian historis. Lebih dari itu
hermeneutik alkitabiah ini mengikat dan mewajibkan orang kristen terhadap
tradisi historis dan pewartaan alkitab. Mengapa demikian? Karena tradisi
historis dan berita alkitab itu berasal dari orang-orang percaya dulu. Itu
berarti bahwa kepercayaan orang dulu sama dengan kepercayaan orang-orang
sekarang. Konsekwensinya ialah, bahwa kepercayaan orang orang sekarang tidak
akan melebihi kepercayaan orang-orang dulu. Mengapa demikian? Karena
kepercayaan orang-orang sekarang ditimbulkan oleh kesaksian sebagaimana
kepercayaan orang dulu yang diberitakan alkitab. Karena itulah kepercayaan
orang sekarang termasuk dalam kepercayaan orang dulu. Kepercayaan itu sampai
kepada umat sekarang melalui sejarah yang tercantum dalam alkitab. Kepercayaan
umat lahir dari dan oleh sejarah, berlangsung dalam sejarah dan dipertahankan
oleh pemberitaan yang tercantum dalam alkitab. Inilah ciri alkitab yang
mengikat dan mewajibkan. Ciri khas inilah yang harus diperhatikan
sungguh-sungguh, sehingga benar-benar orang tertolong dalam memahami alkitab.
Dengan prasyarat mengikat dan mewajibkan itu membuat tradisi historis yang
mengandung kesaksian tentang sejarah tindakan penyelamatan Allah itu menjadi
aktual bagi umat sekarang.
Berdasarkan prasyarat/ciri
hermeneutik alkitabiah yang mengikat dan mewajibkan itu, maka ada ciri lain
yang perlu ditambahkan, yaitu ciri/prasyarat, bahwa hermeneutik tidak dapat
mengambil sikap kritis terhadap kesaksian yang terdapat dalam alkitab. Sikap
kristis hanya dapat dilakukan dalam metode kritis historis. Setelah kritis
historis ditemukan, maka ketika memasuki wilayah makna dan kesaksian, sikap
kritis itu sudah harus ditinggalkan, dan disertai sikap pasrah. Dengan jalan
ini, maka terhindarlah seseorang dari kecenderungan eiksegese.
Berbarengan dengan sikap
ini, orang tidak lagi bebas memilih: menerima atau menolak, justru sebaliknya,
bahwa prapaham dan paham orang harus disesuaikan dengan kesaksian yang diberitakan alkitab,
sehingga melahirkan kepercayaan yang sama. Dengan perkataan lain, bukan manusia
atau umat yang menilai alkitab, tetapi alkitablah yang menilai dan mengeritik
kepercayaan , paham dan pemikiran umat.
Sitz im leben
Ciri lain yang perlu
diperhatikan lagi ialah Sitz im leben. Artinya konteks hermeneutik itu sendiri.
Dengan perkataan lain, lingkungan , rangka situasi di mana hermeneutik itu
berperan dan berfungsi. Yang dimaksudkan dengan Sitz im leben di sini ialah,
lingkungan hermeneutik itu berfungsi. Lingkungan yang dimaksud ialah umat yang
sudah percaya sebagaimana kepercayaan orang dahulu. Mereka inilah yang
berkumpul dan mendengarkan firman Tuhan Allah yang berwibawa, yang
mengungkapkan kepercayaan orang dahulu – tentang tidakan penyelamatan Allah
dalam sejarah. Di lain pihak umat itu diciptakan oleh firman Allah melalui
kepercayaan yang dilahirkan oleh firman Allah. Mereka ini menanggapi firman itu dengan iman, sehingga menjadi firman Allah
yang diperdengarkan kepada jemaat, yang berisikan sesuatu yang terjadi
sekarang, yakni tindakan penyelamatan Allah melaui: pengampunan dosa,
pengaruniaan roh Kudus, menghibur, menasihati, dan sebagainya.
Dengan perkataan lain
hermeneutik sebagai ilmu hanya berupa refleksi atas apa yang terjadi dalam
jemaat.
Oleh karena itu, setiap
penyampaian firman Allah dalam bentuk apa saja harus disampaikan secara
hermeneutis dan bukan bahan informasi belaka. Bahkan harus disampaikan menurut
sitz im leben aslinya, sehingga tetap aktual.
Sitz im leben bukan saja
memperhatikan sitz im leben umat yang mendengarkan firman Allah sekarang,
tetapi juga memperhatikan zitz im leben mereka pada waktu tradisi alkitab itu
ditulis. Mengapa demikian? Karena kesaksian alkitab juga sangat ditentukan oleh Sitz im leben
mereka yang hidup pada waktu itu. Misalnya, ketika kita membaca Amos 4:4-5.
Kita tidak akan memahami dengan baik kesaksian teks ini, apabila kita tidak
memperhatikan apa yang terjadi pada waktu Amos berbicara pada waktu itu. Karena
itu kritik historis sangat penting untuk diperhatikan.
Beberapa kesimpulan mengenai hermeneutik:
Hermeneutik alkitabiah ialah ilmu yang menolong
untuk dapat mengaktualkan berita yang terkandung dalam kejadian historis yang
dipaparkan dalam tradisi alkitab.
Hermeneutik berfungsi untuk melayani berita
alkitab, sehingga kepercayaan orang dahulu yang berlangsung dalam sejarah
menjadi milik umat sekarang – oleh karena itu umat merasa terikat dan wajib
mendengarkan firman itu.
Sebab itu, hermeneutik herus menghindari/melepaskan sikap kritis terhadap
kesaksian itu, kecuali sikap kritis terhadap kritis historisnya. Hermeneutik
harus menolong orang untuk pasrah pada kesaksian itu dan memberi dirinya kepada
kepercayaan, pemahaman, dan pemikirannya untuk dikritik alkitab, dan bukan
sebaliknya.
Tugas
Hermeneuse Alkitabiah dan Prisip yang berperanan di dalamnya
Ø Tugas Hermeneuse
Dari catatan di atas, kita
sudah mengetahui bahwa tugas hermeneutik/hermeneuse alkitabiah mempunyai
persamaannya dengan hermeneutik/hermeneuse umum. Berbedanya hanya dalam
prapaham tertentu. Kali ini kita lebih mempertajam pemahaman kita tentang tugas
hermeneutik/hermeneuse alkitabiah..
Berdasarkan tugas umum
hermeneutik/hermeneuse,, maka tugas itu dapat dibagi atas tiga.
Hermeneuse bertugas menemukan syarat-syarat,
menyingkapkan, dan membuka jalan yang memungkinkan salah satu kesaksian alkitab
dapat dipindahkan kepada manusia/masyarakat yang mempunyai konteks yang berbeda
sekali, baik secara historis, maupun secara kultural rohani, rasa dan pandangan
hidup, paham terhadap dunia, manusia, dan sebagainya. Mengapa berbeda? Karena
dokumen/alkitab terjadi dalam sejarah
Hermeneuse perlu menentukan jalan-jalan manakah yang harus ditempuh, supaya
tradisi historis itu sungguh-sungguh dimengerti dan dapat berarti serta
bermakna secara eksistensial. Untuk itu hermeneuse perlu mengerjakan hal-hal
sbb.
Dengan bantuan hermeneutika tradisional yang
sedikit diperluas (melalui metode kritis lteral historis) hermeneuse berusaha
menemukan isi riil dan makna dokumen alkitab itu dalam konteks historisnya
sendiri dan atas persoalan manakah teks alkitab itu mau memberikan jawaban.
Menentukan manakah konteks historis kultural
manusia yang menerima kesaksian alkitab itu.. Hermeneuse perlu menyingkapkan
bagaimana pada manusia dengan konteks historisnya sekarang ditemukan persoalan
fundamental dan eksisitensial yang sama seperti yang menjadi latar belakang
teks alkitab itu. Untuk ini kita perlu pula mempelajari anthropologi budaya
dsb.
Mempertemukan butir 1 dan 2. Maksudnya bahwa
hermeneuse itu bertugas supaya sifat historisnya dinilai semestinya dan
seteliti mungkin, sehingga konteks historis dilihat dengan jelas. Selanjutnya
konteks historis dari teks alkitab itu
dipertemukan dengan konteks historis yang baru (pendengar firman sekarang). Hal
ini perlu, agar konteks historis teks dan konteks historis yang sekarang tidak
menghalangi isi tradisi itu ditangkap
Untuk itu hermeneuse perlu juga memperlihatkan dan
menonjolkan segi-segi yang relatif dan segi-segi yang umum dalam tradisi
historis, dan apa yang benar-benar relevan di dalamnya.
Dengan perkataan lain
dokumen historis itu harus disampaikan kepada manusia dalam situasi historis
lain sedemikian rupa, sehingga menimbulkan tanggapan, kepercayaan yang sama
dengan kepercayaan yang bersaksi lewat kesaksian alkitab. Hal itu hanya dapat
terjadi, apabila kesaksian itu dialami sebagai jawaban atas persoalan dan
keperluan fundamental manusia, yaitu kebutuhan akan penebusan/penyelamatan dari
eksistensi yang tampaknya hampa dan kosong.
Dengan demikian ciri yang mengikat dan mewajibkan tidak hanya berdasarkan
pada kewibawaan lahiriah (bukan hanya karena alkitab adalah suci), tetapi oleh
karena hermeneuse mampu mengemukakan jawaban atas persoalan fundamental
eksistensi manusia yang membuat orang sungguh-sunggu menyambutnya dan menuntut
orang untuk mengambil sikap, entah menolak sekalipun.
Satu hal yang perlu dicatat, ialah bahwa walaupun ketiga tugas hermeneuse
itu tidak dapat dipisah-pisahkan, namun ketiga pekerjaan itu tidak musti
dikerjakan oleh seorang saja. Tugas itu dapat dibagi-bagi menurut keahliannya.
Ada ahli yang secara serius memperhatikan konteks historis teks-teks alkitab;
ada pula yang memperhatikan konteks historis penerima kesaksian itu sekarang.
Para pelayan firman dapat mengambil alih hasil penelitian itu untuk memasang
jembatan dalam mengaktualisasikan kesaksian alkitab bagi menusia masa kini.
Prapaham
Apa yang dimaksudkan
dengan prapaham telah disinggung dalam penjelasan di atas. Kali ini kita
mencoba memperdalam isi dari prapaham ini.
Prapaham pada umumnya. Prapaham sama dengan pra pengertian. Kita dapat
merumuskannya sebagai berikut. Prapaham adalah suatu pandangan dan pengertian
terhadap dunia, hidup, dan manusia, yang mau tidak mau ada pada siapapun yang
mau memahami sesuatu misalnya, membaca alkitab atau ilmu-ilmu lain. Sebelum
menyelidiki atau memahami sesuatu, seseorang sudah mempunyai prapaham/pra
anggapan/pra pengertian terhadap apa yang mau diselidiki. Walaupun belum tentu
cocok dengan hasil penyelidikannya nanti.
Dalam hermeneutik, prapaham yang tepat (tidak sama dengan benar). Prapaham
yang tepat menjamin bahwa seseorang dapat mengajukan pertanyaan yang tepat dan
menentukan pula jawaban yang tepat. Akan tetapi perlu dicatat bahwa prapaham
itu tidak perlu berperan dalam proses
memahami (alkitab). Sebab penyelidikan
itu bersifat ilmiah, sedangkan prapaham adalah pra anggapan yang pra ilmiah. Dengan demikian
hermeneuse/hermeneutik hanya berupa refleksi terhadap proses memahami. Prapaham
kadang-kadang juga disebut situasi hermeneutik, tidak untuk menekankan isi
prapaham penafsir.
Tafsiran dengan prapaham. Pertama-tama perlu kita bedakan antara pra paham
dari pra sangka. Pra sangka ialah sesuatu keputusan mutlak yang diambil sebelum
ada penyelidikan. Kira-kira demikian
jalan pikirannya. Ia ingin memperoleh sesuatu dari alkitab yang sesuai
dengan pendapatnya sendiri. Akibatnya terjadilah apa yang disebut eiksegese.
Sedangkan pra paham lebih cocok dikatakan sebagai latar belakang yang dari
dalamnya orang mengajukan pertanyaan, dan pertanyaan itu harus benar-benar
pertanyaan dan bukanlah jawaban yang berkedok pertanyaan. Seseorang yang
menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, mendorongnya untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tertentu dan mengharapkan jawaban tanpa menentukan
jawaban mana yang akan ditemukan Ia
bukan hanya mempunyai masalah, tetapi juga sudah ada salah satu jawaban atas
masalahnya. Sebab tidak mungkin orang menhadapi alkitab dengan sikap netral dan
dingin tanpa mempunyai latar belakang yang membuat orang itu secara pribadi
merasa terlibat pada apa yang diharapkan dari alkitab itu. Keterlibatan itu dirangsang oleh harapan
untuk menemukan jalan-jalan yang dapat menjawab masalahnya. Kalau tidak ada
masalah dan kalau tidak ada harapan memperoleh jawaban dari alkitab, orang
tidak mungkin dapat penyelidiki alkitab. Berarti bagaimanapun, setiap orang
yang menghadapi alkitab harus selalu ada pra paham. Yang perlu dijaga ialah,
jangan sampai prapaham berubah menjadi
prasangka.
Pra paham yang tepat. Tugas hermeneuse selanjutnya sebagai bagian dari
hermeneutik untuk menemukan pra paham
yang tepat pada orang-orang yang secara eksistensial memahami alkitab. Dalam
hal ini dibedakan pra paham terhadap alkitab secara menyeluruh, dan pra paham
terhadap masing-masing bagian alkitab.
Pra paham yang tepat terhadap Kitab Suci secara menyeluruh. Dalam catatan
sebelumnya, kita sudah membahas ciri khas alkitab, yang dengan pra paham itu
orang mendekati alkitab (mengikat dan mewajibkan). Tanpa pra paham yang tepat
orang tidak mungkin dapat mendekati Kitab Suci secara tepat dan orang juga
tidak mungkin dapat mengajukan pertanyaan yang tepat. .
Menghadapi alkitab tidak mungkin tanpa prapaham. Walaupun prapaham itu
tidak perlu lengkap dan seluruhnya tepat.
Paling kurang harus ada
prapaham bahwa alkitab itu perlu dianggap sebagai kitab keagamaan yang dapat
memberikan jawaban terhadap masalah-masalah keagamaan dan bukan jawaban atas
masalah sosial-politik. Kitab Suci memang mempunyai dimensi sosial-politik,
tetapi belum tentu mampu memecahkan masalah sosial politik secara konkret dalam
pengertian alkitab secara hurufiah. Orang dapat mengajukan pertanyaan dengan
prapaham latar belakang sosial politik, namun bukan untuk menemukan jawabam
atas masalah-masalah sosial politik, tetapi untuk menemukan dimensi
sosial-politik.. Misalnya kita tidak
menemukan teks-teks alkitab yang berbicara tentang narkoba. Kita juga tidak
menemukan teks alkitab berbicara tentang sistim pemerintahan di Indonesia.
Prapaham itu masih bisa
dikoreksi melalui pemahaman itu sendiri. Akan tetapi perlu diingat bahwa
prapaham itu tidak boleh seluruhnya salah. Prapaham lain seperti yang kita
catat sebelumnya, alkitab sebagai kesaksian jemaat yang percaya tentang
tindakan dan penmyelematan Allah dalam sejarah, yang menurut tradisi iman
kristen mencapai puncaknya pada diri
Yesus. Di samping itu alkitab juga merupakan kesaksian yang mengandung berita
yang menimbulkan kepercayaan yang sama pada pembaca alkitab.. harus pula
disadari bahwa kesaksian itu diberitakan dengan mengunakan bahasa yang sesuai
dengan kultur historis orang percaya dulu, walaupun bahasa dan situasi sejarah itu tidak lebih
daripada alat saja, yang berfungsi untuk menemukan apa yang hendak disaksikan
alkitab. Bahasa itu hendak menyaksikan suatu realitas karya penyelalamatan
Allah dalam sejarah. Bersamaan dengan itu, bahasa itu bermaksud membahasakan
respons orang yang menyambut realitas itu.
Karena itu, hermeneuse,
pertama-tama harus mencari realitas itu melalui bahasa yang berbeda-beda;
setelah setelah realitas itu tercapai barulah
tafsir Kitab Suci itu tepat.
Suatu hal yang perlu kita
ingat pula dalam mendekati alkitab ialah, bahwa kesaksian alkitab itu sendiri
sebenarnya adalah sebuah interpretasi terhadap tindakan dan karya penyelamatan
Allah. Interpretasi itu sendiri ditentukan oleh situasi historis dan
eksistensial tertentu. Dengan perkataan lain orang percaya dulu juga mempunyai
prapaham yang turut mempengaruhi interpretasinya, walaupun prapaham itu
dikoreksi pula atas dasar realitas yang diinterpretasi. Sebenarnya kita tidak
lagi menemukan realitas yang semurni-murninya. Penafsiran mengenai Tuhan Yesus
dalam Injil-injil misalnya. Tuhan Yesus menurut injil Matius tentu sudah mengalami
interpretasi sesuai dengan cara pandang Penulis injil Matius, yang tentu
berkaitan dengan realitas historis penafsir/penulis injil Matius. Demikian pun
Tuhan Yesus menurut penafsir/penulis injil-injil Markus, Lukas, dan Yohanes.
Coba bandingkan narasi peristiwa angin ribut dalam Injil Matius 8:23-27, dengan
Luk 8:22-25 dan Mark 4:35-41.
Hal yang terakhir yang
perlu diperhatikan dalam kita mendekati Kitab Suci ialah : bahwa Alkitab
sebagai sarana hermeneuse mempunyai struktur dialog. Allah bertindak dan
berfirman mengenai tindakan-Nya dan jemaat memberikan responsnya. Struktur
dialog ini perlu diketahui dan dirasakan sebelum orang benar-benar dapat
memahami alkitab.
Prapaham terhadap isi Alkitab
Prapaham yang dimaksud
ialah prapaham dalam rangka usaha memahami isi dari bagian alkitab. Pada
prapaham pertama yang telah kita catat, menentukan prapapaham yang tepat,
sehingga orang juga dapat mengajukan prapaham yang tepat. Demikian juga dalam
hal mendekati isi dari bagian-bagian alkitab. Namun dalam mendekati isi
bagian-bagian alkitab itu selain mengajukan pertanyaan yang tepat, juga
pertanyaan-pertanyaan itu harus konkrit. Masalah konkrit yang diajukan itu
sendiri harus pula secara eksisitehsial. Itu berarti bahwa masalah konkrit itu
mempunyai sangkut paut dengan masalah konkrit jemaat. Sedikit tidaknya masalah
konkret itu sudah diketahui dan untuk itu sudah ada pula. Jawabannya paling
tidak, memuaskan. Misalnya orang mengajukan pertanyaan tentang keadilan atau
kejahatan. Sebelum seseorang mencoba memahami bagian alkitab, ia sudah
mempunyai prapaham tentang keadilan atau kejahatan itu. Misalnya bagian alkitab
yang ingin kita dekati ialah Mikha 3:1-12.
Lingkaran Hermeneutik
Yang
dimaksudkan dengan lingkran hermeneutik ialah, pertemuan antara prapaham dengan
apa yang difirman dalam alkitab. Di sinilah letaknya inti proses memahami.
Dalam pertemuan antara prapaham dengan apa yang difirmankan itu, perlu ada
keterbukaan dari prapaham itu. Prapaham itu perlu membuka diri untuk dikeritik
dan diperbaiki oleh apa yang difirmankan. Dalam proses ini, prapaham itu
dikonfrontasikan dengan apa yang dikatakan atau dengan apa yang difirmankan,
sehingga terjadilah semacam krisis atau
penilaian, yang menyebabkan prapaham itu dijelaskan terus menerus tanpa batas
waktu. Menurut Dilthey (ahli hermenetik), lingkaran hermeneutik termasuk ke
dalam proses memahami sendiri dan menjadi unsur hakiki.. Artinya, dalam proses
memahami alkitab itu mutlak harus terjadi pertemuan antara prapaham dengan apa
yang difirmankan dan juga secara mutlak harus terjadi proses yang konfrontatif
antara prapaham dengan apa yang difirmankan atau yang dipahami, sehingga
terjadi krisis atau penilaian yang didasarkan pada sifat terbukanya prapham
itu. Tanpa unsur hakiki ini, seseorang tidak akan dapat memahami firman Allah
secara baik dan tepat.
Metode-metode penafsiran
Untuk meneliti teks-teks
Kitab Suci, para ahli sejak gereja
mula-mula sampai dengan zaman modern ini telah menggunakan berbagai metode
tafsiran. Salah satu bahasan kita ketika belajar Bidang Studi Introduksi
alkitab, kita sudah mengetahui pendekatan-pendekatan yang dirangkum oleh Martin
Achard dalam bukunya yang berjudul,”An Approach to the Old Testament.
Untuk menyegarkan
kembali ingatan kita, saya mencatat kembali pendekatan-pendekatan yang dimaksud secara singkat.
Pendekatan Atomistis. Asal kata atom (bagin terkecil).
Pendekatan ini bertolak dari suatu keyakinan bahwa alkitab itu adalah Firman
Allah. Setiap kitab, halaman ayat telah mendapat inspirasi dari Allah. Tuhan
berada di atas semua penulis, keadaan, persoalan yang bersangkut paut dengan
alkitab. Dasar pendekatan ini ialah 2 Tim 3:16 dan 2 Pet 1:21.
Pendekatan Historis. Pendekatan ini menyadari bahwa alkitab
ini ditulis dalam waktu dan sejarah yang panjang dan ditulis dalam konteks
sejarah Israel (alkitab ada sejarahnya). Pembacaan historis ini sering juga
menganggap bahwa semua yang dicatat dalam PL adalah fakta sejarah. Pendekatan
itu tidak memperhatikan makna teks-teks untuk masa kini.
Pendekatan Tipologis. PL adalah persiapan bagi PB. Semua
yang ada dalam PB sudah tercatat dalam PL. PB merupakan pemenuhan terhadap
berita-berita PL. Mengabaikan kepelbagaian dan melupakan sama sekali
tindakan-tindakan penyelamatan Allah dalam sejarah umat PL.
Pembacaan secara teologis. Pendekatan ini menuntut usaha yang
serius untuk menemukan kerugma/berita asli dari kitab-kitab/teks alkitab. Usaha
ini bermaksud untuk mempertemukan pembaca dengan Tuhan. Tuhan yang berbicara
melalui Amos kepada umatNya pada abad ke-8 sM, berbicara lagi dengan umatNya
yang sekarang. Dan umat dituntut untuk memberikan jawaban.
Catatan singkat mengenai keempat pendekatan di
atas.
Pendekatan 1 dan 3 sangat hidup di kalangan kau fundamentalis. Tetapi kaum
fundamentalis sebenarnya juga lahir dari dari cara pendekatan seperti itu.
Pendekatan seperti itu bisa melahirkan umat yang memiliki sifat fanatisme
agama yang berlebihan. Sebab melaksanakan ayat-ayat alkitab secara hurufiah
adalah keharusan, sebab itu semua ayat-ayat atau kata-kta berasal dari Allah.
Menurut Regerson, tafsiran alkitab yang berdasarkan suatu doktrin atau dogma
termasuk dalam penafsiran yang fundamentalistis.
Pendekatan ketiga menuntun orang kepada pemahaman,
bahwa alkitab hanya untuk mereka yang hidup pada zaman alkitab. Karena itu,
alkitab tidak lagi diperlukan bagi umat sekarang. Alkitab sudah tidak aktual
untuk zaman modern.
Pendekatan keempat merupakan pekerjaan yang sulit dan rumit, karena harus
menggunakan berbagai metode yang telah ada, terutama metode-metode kritis.
Misalnya Kritik historis, krikti sumber, kritik bentuk, kritik sastra, kritik
sosial dll. Mmetode ini bisa juga dikatakan sangat teosentris, karena berusaha
untuk memahami apa yang dikehendki Allah dari umat-Nya. Jadi tidak sekedar
mencari figur dari tokoh-tokoh yang diceritakan alkitab. Akan tetapi kalau
dalam usaha pendekatan ini kita hanya menggunakan salah satu metode kritis saja akan dapat
mejauhkan pembaca dari alkitab. Misalnya jika kita hanya menggunakan metode
historis kritis saja. Metode ini hanya bisa menjelaskan kepada kita tentang
asal-usul teks itu. Dengan metode itu belum bisa menjelaskan kepada kita apa
yang menjadi kerugma dari teks yang kita baca itu. Keuntungan lain dari
pendekatan ini kita bisa menemukan beberapa penekanan kerugma dari satu teks. Kita bisa mengetahui
bahwa suatu teks sudah pernah ditujukan kepada dua atau tiga komunitas yang
hidup dalam dua atau tiga zaman yang berbeda.
Berbagai metode penafsiran
Pada zaman modern ini di kenal metode diakronis.
Menurut Martin Harun, “Pendekatan diakronis ini adalah penggunaan metode-metode
tafsir yang biasa menjelaskan arti teks berdasarkan sejarah perkembangan
penulisan, peredaksian dan penerimaan atas teks tersebut. Dengan kata lain, analisis diakronis
memandang teks final alkitab sebagai suatu jalinan bahan-bahan yang cukup
beragam dan telah melalui suatu tahap perkembangan yang panjang. Dengan
demikian arti teks itu pun berkembang sesuai perkembangan zaman (Forum Biblika,
no. 8/1998, hlm. 94)”. Yang termasuk metode diakronis ialah, metode-metode
kritis, seperti kritik sumber, kritik bentuk, kritik redaksi, sastra, d.l.l.
(Forum Biblika, no. 8, 1998, hlm. 94-95).
Di samping metode-metode diakronis dikenal juga
metode-metode Sinkronis. Yang dimaksudkan dengan metode-metode sinkronis ialah,
metode-metode yang bertolak dari pandangan bahwa alkitab merupakan suatu karya
tulis yang utuh. Metode sinkronis berbeda dari metode-metode diakronis. Kalau
metode-metode diakronis sangat memperhatikan hal-hal yang ada di balik teks
atau historis suatu teks, maka metode-metode sinkronis, sama sekali mengabaikan
hal-hal yang ada dibalik atau sejarah yang melatarbelakangi suatu teks.
Beberapa metode sinkronis yang dikenal sekarang antara lain, metode naratif
yang lebih menaruh perhatian pada struktur lahiriah sebuah narasi. Metode
sinkronis yang lain yang digunakan secara luas, ialah metode strukturalis yang
menaruh perhatian pada struktur berdasarkan isi/pemahaman sebuah teks.
Beberapa metode diakronis.
Ø Metode Kritik sumber
Prinsip kerja kritik sumber selalu bertolak dari
pertanyaan-pertnyaan, seperti, a) apakah pada teks yang diteliti menunjuk
adanya sumber?
b) apa yang dikatakan sumber tersebut?
c) apa yang dilakukan pengarang terhadap sumber tersebut (menyalinkah,
mengubahkan, salah pahamkah)? Perhatian terhadap ketiga pokok itu akan membantu
kita untuk memahami proses terjadinya sebuah teks, sekaligus memahami maksud
dan sumbangan penulis sendiri.
Hal-hal yang bisa membantu kita untuk menemukan adanya
sumber-sumber dalam sebuah teks ialah, 1) pernyataan langsung dari pengarang
bahwa ia mengutip kata-kata/kalimatnya itu dari sumber tertentu. Misal Yosua
10:13 yang menurut penulis dikutip dari Kitab orang Jujur. 2)ditentukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan internal. Misalnya, ayat tertentu
memutuskan alur pemikiran dan/atau menggunakan gaya bahasa yang berbeda dari
konteksnya. Juga masalah kosa kata dan corak literer yang amat berbeda dari
bagian lain dari sebuah teks. Contoh dari butir 2 antara lain kisah tentang
Yesaya dan Hiskia (Yes 36-39) tanpa petunjuk dapat diketahui bersumber pada 2
Raj 18-20. Kitab Tawarikh pasti menggunakan Kitab Samuel dan Raja-raja. Kelima
Kitab Musa dipastikan merupakan jalinan berbagai sumber (lihat catatan
Introduksi PL). Penelitian berdasarkan sumber itu penting untuk membantu
memahmai makna sumber tersebut dalam situasi umat yang lebih awal. Contoh, Kel
19:16-20. Banyak ahli yang berpendapat bahwa teks ini merupakan jalinan dari beberapa sumber.
Walau pun tidak ada petunjuk langsung mengenai hal
itu, tetapi beberapa pertimbangan internal memperlihatkan hal itu. Teks ini agaknya terdiri dari dua bagian yang
bisa dibedakan berdasarkan beberapa hal, antara lain nama Tuhan yang dipakai
yaitu Elohim dan YHWH. Kedua bagian yang dimaksud juga memperlihatkan gejala alam yang berbeda
sebagai simbol. Ayat 18 dan 20, TUHAN (YHWH) turun ke atas gunung Sinai
disertai gejala alam seperti letusan gunung berapi:api, gumpalan asap dan
getaran gunung. Tujuan kedatangan YHWH menjumpai Musa tanpa umat Israel.
Sementara penggambaran
dalam 16-17,19 berbeda sekali dari ayat 18,20. Ayat-ayat ini sama sekali tidak
menggunakan nama YHWH (TUHAN), tetapi menggunakan nama Elohim (Allah).
Kehadiran Allah digambarkan dengan gejala alam yang berbeda pula dari gambaran
pada ayat 18,20. Ayat-ayat ini menggambarkan bahwa Allah bukannya turun, tetapi
Allah tinggal di atas gunung dan menyatakan kehadirannya itu melalui gejala
alam seperti angin ribut yang dahsyat, yakni, guruh, kilat, awan gelap, dan
bunyi seperti sangkakala. Yang gemetar pada ayat-ayat ini bukan gunungnya,
melainkan bangsa Israel. Bangsa Israel dipanggil untuk berjumpa dengan Allah,
tetapi mereka takut. Musa hanya berurusan dengan bangsa Israel yang takut dan
gemetar di kaki gunung itu. Dari situlah Musa berbicara kepada Allah, dan Allah
menjawabnya dari atas gunung.
Perbedaan yang tampak pada
dua bagian teks ini memperlihatkan bahwa teks Kel 19:16-20 merupakan jalinan
dua sumber yang berbeda yakni Yahwist dan Elohist. Yahwist (18,20) berusaha
menghidupkan kembali teofani Tuhan di Sinai dengan menggunakan gambaran gunung
berapi untuk melukiskan YHWH yang turun ke puncak gunung untuk menjumpai Musa.
Di Yehuda memang tidak ada gunung berapi. Tetapi penulis sumber Yahwist pernah
mendengar tentang letusan gunung berapi di Jazirah Arab.
Ketika Yahwist berbicara tentang tiang awan dan
tiang api, agaknya Yahwist mengingat versi teofani yang lebih kuno. Sedangkan
ayat 16-17,19, yang berasal dari Israel Utara menggunakan cara yang dikenal di
Utara untuk menyatakan teofani Allah, yakni
gejala alam yang sering terjadi di Galilea Atas dan pegunungan Libanon
Selatan, seperti kedahsyatan angin ribut. Gambaran-gambaran yang digunakan oleh
kedua sumber ini bermaksud untuk membuat umat terkagum-kagum dan takut akan
kehadiran Allah. Dalam konteksnya masing-masing sumber memberikan makna
tersendiri yakni agar umat tetap setia kepada Allah yang tampak dalam kehidupan
umat setiap harinya. Walaupun demikian kedua sumber ini menekankan hal yang
berbeda. Yahwist lebih menekankan kekuasaan Allah sebagai pencipta yang
menguasai alam (gunung yang gemetar).
Sementara Elohist menekankan keterbatasan umat dan
keagungan Allah. Karena itu umat harus selalu taat dan tunduk kepada Allah.
Kedua penekanan yang berbeda ini berkaitan dengan konteks masing-masing (yang
ditekankan dalam metode kritik bentuk). Yahwist berhadapan dengan yang masih
memperlihatkan kedekatan umat dengan Tuhan yang tampak dalam ketaatan umat
dengan Tuhan. Sedangkan Elohist berhadapan dengan umat yang tingkat
pemberontakan kepada Tuhan sudah memuncak sejak Israel pecah menjadi dua
kerajaan yang berakhir dengan dibuangnya Israel Utara ke Asyur.
Akan tetapi redatur yang
menggabungkan kedua sumber ini agaknya lebih menekankan ketokohan Musa sebagai
penerima hukum, peraturan, peringatan, dan ketetapan. Pada masa pembuangan mereka
sangat memerlukan tokoh Musa agar umat kembali sungguh-sungguh memperhatikan
berbagai hukum, terutama dalam rangka mendukung kehidupan Israel baru yang
telah mengalami penghukuman Allah di babel (redatur itu, kemungkinan sekali
para imam= Priester-P). Alinea ini merupakan pekerjaan metode kritik redaksi.
Dalam penelitian suatu teks dengan mengunakan metode diakronis kita memerlukan
beberapa metode diakronis untuk sampai kepada makna teks bagi umat sekarang.
Ø Metode Kritik Bentuk
Yang dimaksudkan dengan
metode penelitian sejarah bentuk ialah penelitian yang menaruh perhatian
terhadap tahapan atau proses terjadi teks dalam bentuk sekarang, mulai dari
berita mulut ke mulut, penulisan awal, tahap penulisan berikutnya sampai kepada
taha penulisan akhir yang menghasilkan bentuk tulisan yang kita miliki
sekarang. Dapat dikatakan bahwa penelitian Sejarah Bentuk adalah penelitian
yang memusatkan perhatiannya kepada unit terkecil dari suatu tulisan. Akan
tetapi penelitian bentuk juga mencakupi usaha menjelaskan dalam keadaan sosial
dan dalam keadaan atau kesempatan yang bagaimanakah unit-unit kecil yang
membentuk teks terakhir disampaikan (berbicara tentang relevansinya unit-unit
itu dengan keadaan sosial yang terjadi ketika unit-unit itu disampaikan).
Dengan perkatan lain metode Kritik Bentuk tidak hanya berusaha menemukan bentuk
unit-unit terkecil dari sebuat tulisan, tetapi juga berusaha menemukan situsai
kehidupan tertentu (Sitz im Leben/Seting in life/konteks sosial). Groenen
menyadari dan sangat menekankan metode Kritik Bentuk ini sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari tugas menafsir teks alkitab. “Setiap ahli alkitab yang
mau bekerja secara bertanggung jawab harus menggunakan metode ini.” (Groenen,
Hermeneuse, hlm. 84). Hal-hal seperti yang diktakan Groenen ini telah banyak
kita bicarakan dalam Bidang studi Introduksi Alkitab.
Dalam usaha menafsirkan
teks-teks Perjanjian Lama, khususnya Kitab Taurat mustinya kita terbantu oleh
adanya teori sumber yang akhir-akhir ini tidak disukai benyak orang. Mereka yang
tidak menyukainya itu memang mempunyai alasan. Alasan mereka adalah, bahwa
dengan memilah-milah teks alkitab dengan mengelompokkan teks-teks atau ayat-ayat alkitab menurut teori sumber telah mengaburkan berita
alkitab. Memang apa yang dikatakan mereka itu bisa benar, kalau orang hanya
sampai kepada kritik sumber. tetapi kalau kita sepakat dengan apa yang kita
ketahui dalam studi sebelumnya dan yang dikatakan Groenen, maka teori sumber
yang dihasilkan metode penelitian sejarah sumber menjadi sangat penting dalam
tugas penafsiran yang menggunakan metode Kritik Bentuk.
Sebab dengan ditentukannya sumber-sumber Kitab
Taurat, maka sekaligus kita juga akan mengetahui masa-masa penulisan dari
sumber-sumber Kitab Taurat itu. Bukan hanya itu, teori sumber juga membantu
kita untuk menentukan unit-unit kecil dari suatu teks berdasarkan teori sumber,
sekaligus dengan ditentukannya masa penulisan sebuah sumber akan memudahkan
penelitian bentuk menemukan apa yang diinginkan metode tersebut, seperti
unit-unit kecil teks yang diteliti, dan konteks sosial dari unit-unit itu. Hal
ini sebenarnya sudah jelas juga dari contoh yang diberikan ketika kita membahas
metode Kritik sumber (Kel 19:16-20).
Ø Metode Kritik Redaksi
Metode ini berusaha meneliti cara-cara dan
kegiatan para redaktor teakhir ketika menyunting warisan tradisi yang terdiri
dari berbagai sumber itu. Martin Harun merumuskan metode Kritik Redaksi sbb.
“Penelitian redaksi adalah salah satu metode pembacaan alkitab yang
bertujuan menyelidiki maksud dan tujuan teologis dibalik penyuntingan
bahan-bahan tradisional oleh para redaktur kitab-kitab alkitab. Dalam rangka
ini Penelitian Redaksi menyelidiki ‘kedudukan dalam kehidupan’ para redaktur
tersebut (Foru Biblika, No. 8, 1998, hlm. 42).”
Perlu disadari bahwa
metode ini bukan satu-satunya metode penafsiran. Bahkan metode ini baru bisa
dimulai kalau ada masukan dari hasil penelitian metode Kritik Sumber. Perhatian
utama metode ini ialah arti teologis/berita yang mau disampaikan para redaktur
kepada pembaca yang menjadi sasarannya. Hal yang dikerjakan redaktur ialah
menyunting bahan-bahan yang tradisionalsedemikian rupa sehingga relevan dengan
dengan situasi dan kebutuhan pendengar, sasaran redaktur.
Beberapa ahli seperti von
Rad dan lainnya berpendapat bahwa Kitab Taurat merupakan redaksi terakhir yang
berasal dari penulis-penulis Priester (P) yang hidup di pembuangan dengan
maksud memberikan pengharapan kepada bangsa Israel yang ada dalam pembuangan,
bahwa mereka sedang dalam proses kembali ke tana air. Karena itu suasana di padang gurun dipertahankan dalam
Kitab Taurat. Pemahaman bahwa bangsa Israel yang di Babel seolah-olah berada di
padang gurun dikuatkan oleh nabi-nabi Hosea dan Yeremia. Hosea pernah
mengatakan bahwa Israel akan kembali kepadang gurun sebagai penghukuman Allah
atas dosa-dosa Israel. Tambahan-tambahan Penulis P yang berkarya di pembuangan
itu dimulai dengan cerita penciptaan
(Kej 1:1-2:4a) dan ditutup dengan karya Deuteronomis yang masih
dipertahankan oleh P untuk menekankan bahwa mereka yang di Babel akan kembali
memasuki tanah Kanaan (Band. Ul 34:1-4) Dalam teks-teks yang berasal dari
sumber-sumber tertuapun atau yang lebih tua dari P juga sering kita temukan
buah tangan P sebagai redasi terakhir. Karena itu kalau kita membaca teks-teks
Kitab Taurat dengan memperhatikan kegiatan redaksi, maka kita pun menemukan
makna baru dari teks-teks yang lebih tua. Tetapi sekali lagi penelitian redaksi
hanya bisa dilakukan terhadap teks-teks yang telah memperlihatkan adanya
unit-unit kecil yang berasal dari sumber yang berbeda dalam suatu teks. Karena
itu Kritik redaksi hanya bisa dimulai apabila metode Kritik Sumber telah
dilakukan (lihat contoh Kel 19:16-20).
Cara kerja penelitian Redaksi
Penelitian Redaksi ini akan mudah dilakukan
apabila kita telah mengetahui secara langsung bahan-bahan tradisional yang
digunakan redaktur. Misalnya kita mengetahui bahwa Kitab Keluaran bisa menjadi
sumber bagi Kitab Ulangan dan Imamat. Kel 23 menjadi sumber bagi Ul 15 dan
imamat 25. Kitab samuel dan Raja-raja menjadi sumber bagi Kita Tawarikh.
Misalnya 1 Taw 21:18-22:1 bersumber pada 2 Sam 24:18-25, dan lain-lainnya. Akan
tetapi penelitian Redaksi tetap bisa dilakukan tanpa mengetahui secara langsung
sumber-sumber yang digunakan redaktur. Dengan membaca teks-teks secara teliti,
kita dapat menemukan beberapa cara kerja redaktur:
mengaitkan bahan-bahan tertentu satu dengan yang lain
menambahkan catatannya sendiri pada bahan tradisional
Menyusun ceritanya dalam urutan tertentu
menanggapi atau menafsirkan bahan tradisional
Redaktur mengaitkan bahan-bahan tertentu satu dengan yang lain
Contoh: Kel 3:14-15. Dalam cerita pengutusan Musa, kita membaca jawaban
Tuhan atas pertanyaan Musa mengenai nama-Nya. 14. Firman Allah kepada Musa,”Aku
adalah Aku.”
Lagi firman-Nya: beginilah kaukatakan kepada orang Israel: Akulah Aku telah
mengutus aku kepadamu.” 15. Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa:,
Beginilah kaukatakan kepada orang
Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah
Yakub, telah mengutus aku kepadamu…” Dari teks diatas tampak seolah-olah ada
dua jawaban yang diterima Musa. Kedua jawaban yang berbeda itu dimulai dengan
kata-kata yang sama. Dua jawaban yang berbeda itu dikaitkan oleh redaktur
dengan kata-kata, “Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa (awal ayat 15).
Dengan demikian jelaslah bahwa jawaban dari Tuhan hanya satu, “Akulah Aku tidak
lain dari TUHAN, Allah nenek moyang!
Redaktur menambahkan catatannya sendiri pada bahan
tradisional.
Contoh Hos 14:10 yang merupakan tambahan redaktur
terhadap Kitab Hosea. Demikianpun Hos
1:1 yang merupakan ayat pembukaan dalam Kitab Hosea. Dengan tambahan
redaktur ini , pendengar(pendengar zaman redaktur) dianjurkan untuk menerima
isi Kitab Hosea sebagai bimbingan untuk hidup sesuai dengan kehendak TUHAN.
Redaktur
menyusun cerita dalam urutan tertentu
Contoh Hak 2:6-23. pasal ini merupakan garis besar
serta makna teologis dari cerita-cerita yang terdapat dalam Hak 3-16. Cerita
Hak 3-6 disusun menurut skema yang kita temukan dalam Hak 2:6-23.
Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata Tuhan (26:11-13);
Maka bangkitlah murka Tuhan dan Israel diserahkan ke dalam tangan musuh
mereka (26:14-15);
Than membangkitkan seorang hakim untuk menyelamatkan Israel (26:16);
Tetapi kemudian Israel melakukan lagi apa yang jahat di mata Tuhan
(26:17,19).
Sementara pola Hak 3-16 mengikuti pula pola di atas:
Bangsa israel berdosa;
Ditundukkan oleh musuh-musuh
Berteriak kepada Allah
Diselamatkan melalui perantaraan seorang hakim
Sesudah itu ada periode tentram.
Hal-hal yang perlu di perhatikan dalan metode redaksi antara lain jangan
sampai terjadi tumpang tindih dalam menentukan di mana tangan redaktur
kelihatan. Agak sulit bagi kita untuk menentukan di mana letaknya tangan
redaktur, jika sumber-sumber bagian alkitab yang kita teliti itu belum kita
temukan. Dengan perkataan lain sulit bagi kita untuk menentukan di mana
letaknya tangan redaktur apabila kita belum melakukan penelitian dengan
menggunakan metode kritik sumber/penelitian sumber.
Hal lain perlu diperhatikan ialah, jangan sampai
kita mengabaikan kesatuan teks, karena metode penelitian redaksi. Sebab ketika
redaktur menambahkan atau menyela bagian-bagian alkitab yang berasal dari
beberapa sumber itu, redaktur pasti mempunyai maksud tertentu dengan teks-teks
yang mungkin sudah digabungkan oleh penulis sumber terkemudian dengan beberapa
kesamaan dan juga beberapa perbedaannya (lihat contoh sebelumnya). Ketika
redaktur membiarkan bahan-bahan tradisional
tetap ada dalam keseluruhan teks, maka sebenarnya redaktur juga menaruh
perhatian terhadap teks-teks yang tradisional itu. Kadang-kadang dalam
teks-teks sejajar kita tidak menemukan tangan redaktur, tetapi penulis sumber
terakhir bisa sekaligus menjadi redaktur. Hal itu bisa terjadi, karena sampai
suatu kitab dikanonkan tidak adalah lagi tambahan-tambahan terhadap suatu teks.
Perhatikan 2 Taw 1:1-13 yang sejajar
dengan 1 Raj 3:3-15. Apakah kita akan muda menemukan tangan redaktur pada teks
2 Taw 1:1-13, sebagai teks yang bersumber pada 1 Raj 3:3-15? Hal yang paling
banyak tampak dalam 2 Taw ialah adanya perubahan dan perbedaan anatara kedua
teks sejajar itu, tetapi sekaligus juga kesamaannya.
Teolog pembebasan sering
mengritik metode-metode diakronis, karena mereka menganggap metode ini tidak
pernah sampai kepada hal yang esensial yaitu relevansi teks bagi pergumulan
orang miskin.
Akan tetapi, ternyata di antara mereka ada yang mau tidak mau harus
menggunakan metode diakronis untuk memperoleh makna esensial teks, yaitu untuk
menemukan relevansi teks bagi pergumulan orang tertindas. Misalnya, Milton
Schwantes, ketika menganalisis teks Kej 16:1-16. Schwantes menggunakan metode
diakronis ketika ia menganalisis teks tesebut. Dalam penelitiannya ternyata ia
menggunakan metode kritik sumber, kritik bentuk, dan kritik redaksi. Hasil
penelitiannya dengan menggunakan metode diakronis, memperlihatkan bahwa teks
tersebut terdiri dari cerita asli (16:1b-2, 4-8, 1-14) dan ayat-ayat sebagai
tambahn kemudian (redaktor kemudian, ayat 1a,3,9-10, 15-6).
Cerita asli:
Sarai mempunyai seorang hamba perempuan, orang Mesir, Hagar namanya. Berkatalah
sarai kepada Abram:”Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak.
Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat
memperoleh seorang anak.” Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai. Abram
menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu, bahwa
ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonya itu. Lalu berkatalah sarai
kepada kepada Abram;”Penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu;
akulah yang memberikan hambaku ke pangkuanmu, tetapi baru saja ia tahu, bahwa
ia mengandung, ia memandang rendah akan aku; TUHAN kiranya yang menjadi Hakim
antara aku dan engkau.” Kata Abram kepada Sarai:” hambamu itu di bawah
kekuasaanmu; perbuatlah kepadanya apa yang kau pandang baik.” Lalu Sarai
menindas Hagar, sehingga ia lari meninggalkannya. Lalu malaikat TUHAN
menjumpainya dekat suatu mata air di padang gurun, yakni dekat mata air di
jalan ke Syur. Katanya:” Hagar, hamba Sarai, dari manakah datangmu dan kemanakah
pergimu?” Jawabnya:”Aku lari meninggalkan Sarai nyonyaku.” Selanjutnya kata
malaikat TUHAN itu kepadanya:”Engkau
mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya
Ismael, sebab Tuhan telah mendengar tentang penindasan atasmu itu. Seorang
laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu;
tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan
dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.” Kemudian
Hagar menamakan TUHAN yang telah berfirman
kepadanya itu dengan sebutan:”Engkaulah El Roi.” Sebab katanya:”Bukankah
di sini kulihat Dia yang telah melihat aku?” Sebab itu sumur tadi disebut
orang: sumur Lahai Roi; letaknya antara Kadesy dan Bered.
Kalau kita memperhatikan cerita asli seperti yang
dianalisis oleh Schwantes, kita dapat melihat bahwa pelarian Hagar merupakan
seuatu yang positif, yaitu seorang perempuan yang sadar akan ketertindasannya,
dan ia berhasil membebaskan diri dari penindasan yang dialaminya. Karena itu Schwantes dengan menggunakan
metode diakronis justru berhasil menemukan makna esensial dari Kej 16,
ketimbang ia mengunakan metode sinkronis yang tidak memperhatikan apa-apa saja
yang ada dibalik teks itu. Tanpa menggunakan metode diakronis, kita akan
memperoleh makna bahwa pelarian hagar merupakan tindakan negatif mengingat
pernyataan pada ayat 1 a, 3, 9-10, 15-16.
Dengan metode diakronis,
schwantes berkesimpulan cerita asli itu berasal dari kaum budak perempuan.
Tanpa menggunakan metode kritis/diakronis, teks Kej 16 tidak mungkin sampai
kepada makna pembebasan budak, melainkan hanya sampai kepada makna dominasi
laki-laki atas perempuan.
Ø
Metode penelitian sosial
Usaha-usaha untuk
memperoleh gambaran/deskripsi mengenai fakta-fakta sosial sudah dilakukan
sepanjang sejarah ilmu tafsir, terutama yang dipelopori dan diusahakan oleh
teolog-teolog yang muncul pada awal abad ke-20, seperti Gunkel, Dibelius, dan
Bultman.
Akan tetapi, metode-metode
Pelitian ilmu-ilmu Sosial baru mulai digunakan sekitar tahun tujuhpuluhan.
Walaupun demikian Metode-metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial yang dimaksud tidak
terlepas dari deskripsi yang sudah lama diusahakan itu. Metode/teori ilmu soial
yang digunakan untuk meneliti fakta sosial alkitab, sebenarnya merupakan
pengembangan dari teori-teori sosial yang berasal dari sosiolog-sosiolog
terkenal seperti, Karl Marx, Max Weber dan Durkheim pada akhir abad ke-19 dan
dua dekade pertama abad ke-20. Dari ketiga sosiolog tersebut lahirlah dua teori
terkenal, yaitu teori konflik dan teori fungional.
Karl Marx yang
mengembangkan teori konflik memahami bahwa terbentuknya suatu masyarakat
merupakan akibat dari konflik kepentingan antara berbagai kelompok yang ada
dalam masyrakat. Marx berpendapat bahwa konflik antara kelompok yang
dimaksudkan dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan, sosial, politik,
ekonomi dan lain-lainnya. Marx memandang pertentangan antara kelompok itu
sebagai pertentangan antar kelas masyarakat.
Sedangkan Weber yang juga
mengembangkan teori sosial konflik membatasi dirinya pada pertentangan yang
dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi saja. Berbeda dari Marx, Weber
mengunakan istilah kelas dalam pengertian murni ekonomi. Walaupun Weber tidak
menolak adanya kelompok-kelompok lain, tetapi kelas ekonomi itulah yang paling
berpengaruh. Kelas ekonomi ini disebut oleh Weber sebagai “Status Group
(perkumpulan Resmi).” Status Group ini adalah perkumpulan sosial yang mempunyai
ciri khusus, dengan berbagai betasan yang mengatur hubungan sosialnya, misalnya,
orang Yahudi.
Menurut Weber kekuasaan dapat dibedakan atas tiga
kekuasaan yang legitimate. Ketiga kekuasaan yang dimaksud ialah, Kekuasaan yang
bersifat hukum (kekuasaan karena hukum); kekuasaan tradisional; dan kekuasaan
kharismatis.Dengan cri-ciri kekuasaan ini para ahli PL telah berusaha
menentukan kekuasaan para hakim dan raja-raja Israel Karena itu, ada ahli yang
mengatakan bahwa para hakim sampai dengan Raja Saul merupakan ciri
pemerintahan/kekuasaan kharismatis walaupun Saul sudah didukung oleh kekuasaan
hukum.[1]Dari
berbagai metode ilmu sosial yang ada, agaknya metode penelitian Atropologi Sosial dan Antropologi
Strukturallah yang banyak digunakan bagi
penelitian alkitab.[2]
Teori Sosial yang kedua yang diperkenalkan
Durkheim ialah, teori fungsionalis. Menurut Durkheim, society (masyarakat)
adalah kenyataan utama yang menentukan individu secara material, mental dan
spiritual. Kesadaran kolektivitas tergantung pada kepercayaan dan perasaan dari
mereka yang menjadi anggota masyarakat. Pada tahap awal perkembangan, sebuah
masyarakat memiliki kesadaran solidaritas yang bersifat mekanis, di mana semua
anggota masyarakat memiliki kesamaan dalam banyak hal. Misalnya keanggotaan
kelompok yang sama, perasaan yang sama, kepentingan yang sama, nilai yang sama,
kepercayaan yang sama, dan lain-lainnya.
Pada tahap perkembangan selanjutnya, masyarakat
yang demikian akan memiliki kesadaran solidaritas organis yang ditandai oleh
kesadaran kolektivitas yang lebih berfokus pada individu dan ikatan-ikatan
sosial yang tradisional hilang. Tahap perkembangan yang demikian disebabkan
oleh pertumbuhan dan perkembangan masyarakat oleh masuknya penduduk-penduk baru
yang berasal dari kelompok yang berbeda-beda. Misalnya gejala terkonsentrasinya
penduduk di daerah perkotaan. Keadaan masyarakat yang demikian akan cenderung
kepada perjuangan untuk mempertahankan diri.
Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai
teori sosial yang digunakan untuk penelitian sosial. Akan tetapi teori sosial
yang biasanya digunakan untuk penelitian alkitab adal dua teori.. Kedua teori
yang dimaksudkan, seperti yang sudah disinggung
ialah, teori/penelitian Antropologi sosial dan teori/penelitian
Antropologi Struktural (Antropologi Kultural).
Yang dimaksudkan dengan metode Penelitian
Antropologi Sosial, ialah usaha memperoleh penjelasan tentang organisasi sebuah
masyarakat yang cenderung dilihat sebagai organisme yang terdiri dari
bagian-bagian, individu, maupun kelompok yang saling berinteraksi dan terikat
satu sama lain oleh hubungan sosial.
Yang dimaksudkan dengan Penelitian Antropologi
Struktural/Antropologi Kultural adalah sebuah metode baru yang berasal
dari Claude Levi- Strauss. Metode ini berusaha menerapkannya pada data-data antropologis prinsip-prinsip
Strukturalis yang ditemukan dalam analisis linguistik tertentu. Metode ini
banyak digunakan oleh beberapa ahli PB, misalnya, Bruce J. Malina dan
lain-lainnya.[3]
Metode
Penelitian Antropologi Sosial
Sumbangsi sosiologis Weber terhadap studi PL
antara lain pandangannya tentang para nabi. Secara singkat pandangannya tentang
nabi-nabi adalah,
Ia menolak pandangan yang mengelompokkan para nabi
sebagai kelompok sosial-politik. Mereka bukanlah figur politik. Pemberitaan
mereka selalu religius oriented. Mereka juga tidak berasal dari strata sosial terendah.
PL memberikan informasi bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari strata
sosial yang tinggi. Bahkan menurut Weber ditinjau dari sudut sosiologis, para
nabi berasal dari kelas atas, seperti, bangsawan, keluarga imam, dan imam.
Weber berpendapat, bahwa nubuat nubuat para nabi
merupakan hasil proses rasionalisasi yang terus menerus, di mana agama
memberikan makna kepada eksistensi. Proses penyampaian nubuat ini menandai
adanya suatu perubahan ke arah masa depan dan didikuti oleh munculnya pandangan
baru yang menyerap masuk ke dalam kehidupan agama. Pandangan baru yang dimaksud
meliputi berbagai dimensi kehidupan umat, seperti agama, sosial, politik,
d.l.l. Dalam proses ini para nabi sampai kepada pemahaman yang monoteis
dinamis, ketimbang henoteis (penulis deuteronomis). Pada proses ini, para nabi juga sampai kepada pemahaman tentang Allah
Israel yang universal.[4]
Alt dan Marti Noth yang sangat dipengaruhi oleh
teori Weber, juga pernah menerapkan teori sosial Weber dalam studi PL mereka.
Keduanya adalah ahli PL yang juga terkenal hingga sekarang. Hasil studi sosial
mereka tampak antara lain melalui Alt. Alt menggunakan istilah kharisma untuk
menunjuk kepada para penguasa/pemimpin Israel
sebelum zaman kerajaan dan para pemimpin yang mendirikan kerajaan.
Mereka bukanlah para pemimpin yang memperoleh jabatannya dari sebuah lembaga.
Kewibawaan/kekuasaan mereka berasal dari pribadi-pribadi mereka sendiri. Raja
Saul pun termasuk dalam kelompok tersebut. Saul hanya berbeda dari mereka dalam
hal dimana Saul dianggkat sebagai raja untuk mengatasi krisis bangsa Israel,
tetapi sebenarnya ia melakukan tugasnya berdasarkan pada kewibawaan yang berada
pada dirinya sendiri. Bentuk kepemimpinan saul sebenarnya juga ditemukan pada
raja-raja Israel Utara. Hanya Raja Omri yang cenderung membangun sebuah
dinasti, karena beberapa orang dari garis keturuannya ikut memerintah di Israel
Utara. Pola kepemimpinan Omri ini agaknya sejajar dengan pola kepemimpinan Daud
yang mendirikan ibu kota dari wilayah yang dimilikinya sendiri. Alt dengan
mengadopsi pandangan Weber tentang polis (kota) menerapkan pengertian itu
kepada kota Yerusalem dan Samaria. Kota-kota yang menjadi pusat politik dan
agama bagi masing-masing Israel yaitu Yehuda dan Israel Utara. Kedua kota
mempunyai struktur sosial yang independen.
Ahli PL kedua yang
dipengaruhi Weber ialah Martin Noth.
Weber mempunyai pandangan bahwa Israel pada masa sebelum kerajaan merupakan
komunitas yang bersifat ampiktionik. Yang ia maksudkan dengan komunitas
ampiktionik ialah komunitas yang bekumpul di sekitar kuil/Bait Allah sebagai
komunitas perjanjian. Komunitas perjanjian ini sengaja diciptakan untuk
mempersatukan berbagai komunitas yang bersifat sosio-ekonomis. Bertolak dari
perspektif Weber itu, Noth dalam penelitiannya dengan cara membandingkan
data-data alkitab dengan gejala kemasyarakatan Timur Tengah Kuno sampai pada
kesimpulan, bahwa Israel adalah komunitas perjanjian yang sengaja dibentuk dari
kaum dan suku-suku yang pada awalnya merupakan kelompok-kelompok independen.
Baik Weber, maupun Noth mempunyai pandangan bahwa Israel adalah komunitas agama
baru yang diikat oleh perjanjian Yahweh (band. Peristiwa pembaharuan perjanjian
di Sikhem, Yos 24).
Pemahaman Alt dan Noth
yang adalah pengikut Weber ini masih sangat mempengaruhi para ahli yang menulis
sejarah Israel. Walaupun juga sudah muncul diskusi kritis yang serius terhadap
pemahaman-pemahaman di atas. Tetapi juga harus ditegaskan bahwa sebagian besar
ahli PL dapat menerima pemahaman di atas.
Teori sosial Durkheim dalam studi PL
Teori sosial fungsionalis
Durkheim dikembangkan antara lain oleh Cause dalam penelitian alkitab. Cause
adalah ahli perjanjian Lama yang menaruh perhatian terhadap pentahapan agama
dan masyarakat Israel. Menurut Cause, masa awal agama dan masyarakat Israel
adalah masa pra-mentalitas logis. Yang ia maksudkan dengan masa pra-mentalitas
logis ialah masa dimana agama tidak bisa dibedakan dari agama yang berbau
magis. Menurut Cause, masa awal Israel memiliki ciri struktur sosial, keluarga
dan kaum yang bersifat nomadik. Struktur sosial seperti ini mempraktikkan sifat
kolektivitas primitif atau bersifat organic solidarity yang sangat menekankan
tanggung jawab kolektif dalam hal hukum. Hubungan individu dengan kelompok
merupakan persekutuan yang bersifat mistik dan dinyatakan melalui ritual
tertentu dalam ibadah kepada Yahweh, misalnya upacara kurban. Upacara kurban
ini juga memperlihatkan relasi yang mistis dengan Tuhan. Ritual menjadi
satu-satunya cara mengekspresikan relasi yang mistik dengan Tuhan.
Perkembangan agama dan
masyarakat Israel dimulai ketika lembaga kerajaan muncul. Munculnya lembaga
kerajaan di Israel membuat kewibawaan keluarga menurun. Istana menjadi pusat
kekuasaan. Sekaligus dengan itu pemahaman keagamaan yang mistis dan Yahweh
sebagai Allah suku-suku berubah menjadi Allah kerajaan dan Allah yang
universal. Atas dasar pandangan di atas, Cause memahami bahwa para nabi
merupakan figur konservatif yang melawan kerajaan dengan tujuan membangun
kembali kultur lama dengan kebiasaan pertanian yang sederhana. Akan tetapi, di
lain pihak mereka meruntuhkan kebiasaan masyarakat yang bersifat kesukuan. Hal
itu nyata dari kecaman-kecaman mereka terhadap tempat-tempat suci lokal yang
pada waktu itu merupakan tempat kaum-kaum dan keluarga-keluarga menyatakan
kesatuan sosialnya melalui nyanyian-nyanyian dan perayaan-perayaan agama dengan
segala ritualnya, termasuk ritual kurban. Tempat-tempat suci itu juga merupakan
tempat mistik dan fondasi kultus bagi solidaritas Israel dan Yahweh. Semua
pemahaman seperti itu oleh para nabi digantikan dengan fondasi etis yang
menekankan sikap moral sebagai petunjuk adanya relasi yang baik dengan Tuhan..
Dengan moralisasi dan rasionalisasi kultus, para nabi membuka jalan bagi
keagamaan dan organisasi yang bersifat individualis, sehingga kehidupan
kolektif yang bersifat suku itu hanya menjadi hal yang sekunder.[5]
Hasil penelitian sosial
yang dilakukan Cause ini juga diterima banyak ahli. Misalnya Gerog Fohrer dalam
bukunya yang berjudul History of
Israelite Religion, mengatakan bahwa agama Israel pada awalnya memiliki
pemahaman-pemahaman yang primitif. Buku ini memang banyak berbicara tentang
perkembangan agama Yahwisme.[6]
Perjanjian Lama dan Metode Ilmu-ilmu Sosial
pada masa-masa selanjutnya
Teori sosial Weber, Marx,
dan Durkheim juga masih mempengaruhi studi-studi alkitab selanjutnya, hingga
sekarang.
Robert Wilson dalam
bukunya yang berjudul, Sociological Approaches to the Old Testament, memberikan
contoh bagaimana bahan antropologis dapat digunakan untuk mempelajari, sejarah,
sastera dan agama Israel.[7] Mendenhall yang dipengaruhi oleh Max Weber,
misalnya, merupakan salah contoh ahli yang menggunakan metode ilmu sosdial
untuk menjelaskan organisasi Israel Kuno. Dengan bertitik tolak pada teori
Mendenhall tentang revolusi petani-petani melawan dominasi kota-kota,
Mendenhall menjelaskan, bahwa kelompok-kelompok tani yang membebaskan diri itu
menemukan dasar kesatuan di antara mereka dalam motivasi Perjanjian Tuhan dan
tempat ibadah sentral, dilengkapi dengan kerja sama militer pada saat krisis.
Metode ini lebih
dikembangkan lagi oleh Norman Gottwald
dalam bukunya yang berjudul, The Tribes
of Yahweh. Bukunya itu dikenal dan
dipuji banyak orang sebagai hasil penelitian metode sosial. Dalam bukunya itu
ia mengumpulkan semua data dari teks-teks alkitab yang relevan, lalu
membandingkannya dengan data-data arkrologis dan tulisan-tulisan dunia Timur
Tengah Kuno, dan model-model perubahan sosial dari masyarakat-masyarakat
sebanding dan kemudian merekonstruksi kelahiran Israel. Ia menyimpulkan bahwa
awal Israel adalah persekutuan/kehidupan bersama yang berasal dari berbagai
kelompok orang desa yang melawan
kota-kota Kanaan. Para petani, geng-geng yang bersenjata dan bersatu dalam
struktur suku Israel yang egaliter dan menentang negara kota yang fiodal.[8]
Hal lain dalam PL yang
mendapat perhatian dari para penggemar ilmu sosial adalah mengenai nabi-nabi
dan peranan mereka dalam masyarakat. Karya R. Wilson yang berjudul, Prophecy
and Society in Ancient Israel merupakan salah satu contoh dari penggunaan
metode sosial dalam memahami kenabian dalam PL. Wilson membandingkan
bahan-bahan yang berasal dari antropologi modern yang diuji lebih dahulu dengan
dunia Timur Tengah Kuno, ia membongkar ide-ide tradisional yang menganggap nabi
sebagai tokoh revolusioner atau tokoh yang kehilangan diri ketika setengah
sadar. Menurut Wilson, Nabi tidak lebih dari hanya seorang mengantara antara dunia ilahi dan manusia, yang oleh
masyarakat dianggap sebagai orang yang kemasukan roh (baik atau jahat) atau
yang telah berziarah ke dunia ilahi. Masyarakat dapat menolaknya sebagai orang
yang kemasukan roh jahat, atau memahaminya selama perkataan dan tindakannya
tidak melanggar pola-pola yang
diharapkan.
Metode/teori Antropologi Struktural/Antropologi Kultural
Metode ini dikembangkan
yang oleh Malina disebut juga sebagai metode Antropolgi Kultural. Metode ini
tidak bermaksud menawarkan penjelasana alternatif terhadap alkitab. Juga tidak
bermaksud menawarkan suatu metode yang lain dari metode historis atau metode
kritik yang lain, melainkan hanya ingin menambahkan dimensi lain yang tidak
mendapat perhatian dari metode-metode diakronis lainnya[9]
atau juga metode sinkronis. Metode ini dikembangkan oleh banyak ahli PB. Salah
satunya adalah buku yang ditulis oleh Bruce J. Malina yang saya sebutkan dalam
catatan kaki no 9. Dalam bukunya ini
Malina memberikan contoh ayat-ayat alkitab yang perlu dijelaskan dengan metode
penafsiran yang disebutnya sebagai metode Antropologi Kultural dan yang oleh
Wilson menyebutnya sebagai metode Antropologi Struktural. Malina memberikan
contoh antara lain Mat 19:12:
εσίυ γάρ ευνουχοι
όιτινες έκ κοιλιας μητρος εγεννήθσαν οϋτως και εισίν εύνοϋχοι οϊτινες
εύνουχίσθησαν ύπό τών άνθρώπων και είσίν ευύνοϋχοι οϊτινες εύνούχισαν έαυτούς
διά τήν βασιλείαν τών ούρανών.
Mungkin kita berpikir bahwa ayat ini mudah
dimengerti jika diterjemahkan kedalam bahasa yang kita gunakan pada abad
modern/post modern. Padahal ketika ayat ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia misalnya, ternyata ayat itu belum memberikan pemahaman yang tepat
seperti yang dimngerti oleh jemaat abad pertama. Kita masih tetap sebagai orang
asing dan tidak memahami seperti yang dipahami oleh gereja mula-mula. Lembaga
Alkitab Indonesia menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut.
Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang
lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh
orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya
sendiri oleh karena Kerajaan Sorga….
Terjemahan seperti ini jelas tidak mewakili apa
yang dikatakan oleh teks gereja mula-mula itu. Pokok persoalan dalam ayat ialah
kata eunoukhoi yang disebutkan 3 kali dalam ayat ini. LAI
menerjemahkannya dengan orang yang tidak kawin, sehingga pemahaman kita adalah
orang-orang yang tetap lajang. Dengan terjemahkan yang demikian tentu
mengingatkan kita pada paulus yang tidak kawin, misalnya. Pada hal kata eunoukh
bentuk tunggal dari bentuk jamak eunoukhoi menunjuk pada orang orang yang tidak
kawin, karena mereka adalah orang kembirian (orang dikebiri).
Tetapi apakah dengan menerjemahkan kata tersebut,
kita sudah memiliki pemahaman yang tepat seperti pemahaman umat gereja
mula-mula? Tidak. Karena masih ada pertanyaan-pertanyaan lain yang memerlukan
penjelasan. Misalnya, mengapa seseorang laki-laki harus dikembiri? Mengapa
mereka disebut orang-orang kembiri di Palestina pada abad pertama? Apa peranan
para kembirian dalam relasi sosial? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, seperti
apa norma-norma dan nilai soaial yang berlaku di Palestina pada bad pertama?
Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Untuk itu kita
memerlukan penafsiran yang bisa menjawab persoalan-persoalan itu. Para ahli
telah menemukan metode yang dapat menjelaskan hal-hal tersebut, yaitu metode
Antropologi Kultural/Antroplogi Struktural. Metode ini antara lain
memperhatikan tata cara orang berbahasa dan cara menulis sesuai dengan budaya
bahasa dalam konteks ketika ucapan-ucapan dalam alkitab itu disampaikan kepada
para pendengarnya. Dengan metode ini, mereka yang membaca alkitab sekarang
dapat terbantu untuk memahami secara tepat apa yang dimengerti dan apa yang
dimaksudkan para penulis dulu.
Dengan metode ini, orang zaman post modern dapat
memahami ucapan-ucapan yang disampaikan kepada para pendengar zaman
alkitab.Menurut Malina, kalau alkitab itu penting bagi orang zaman sekarang,
maka orang tidak dapat mengabaikan dunia mereka (dalam segala aspek) yang
menulis dan yang mendengarkan firman
Allah itu. Sebab dengan cara itu, kita dapat menghubungkan secara obyektif
hal-hal konkret yang berlaku pada zaman disampaikan firman-firman itu dengan
ucapan-ucapan dalam alkitab. Hal-hal yang konkret dan obyektif dari konteks
umat dulu bisa menjadi salah satu penghubung(hermeneutik) dunia dulu dengan dunia
kita sekarang. Kita bisa membandingkan keberadaan orang dulu dengan keberadaan
orang sekarang dalam segala aspek kehidupannya.
Kita dapat melihat kesamaan dan perbedaan keadaan
kita sekarang dengan keadaan mereka dulu, ketika firman-firman itu disampaikan.
Seperti yang sudah dikatakan di atas, bahwa salah satu perhatian dari metode
Antropologi Kultural ialah faktor budaya berbahasa dan penulisan, maka kita
dapat kembali kepada contoh Mat 19:12. Menurut Malina, bentuk dan pola
penulisan Mat 19:12 mempunyai kesamaannya dengan bentuk dan pola penulisan
sejumlah perumpamaan dalam Kitab Amsal. Misalnya, Amsal 30:33,
Sebab, kalau susu ditekan, mentega dihasilkan,
Dan kalau hidung ditekan,
darah keluar,
Dan kalau kemarahan
ditekan, pertengkaran timbul.
Pola penulisan yang demikian mempunyai cara kerja
bahwa baris pertama dan kedua atau lebih adalah gambaran-gambaran yang konkret
tentang hal-hal yang abstrak (moral) atau dimensi yang tersembunyi dari
pengalaman kemanusiaan yang terdapat
pada baris terakhir Baris pertama dan baris kedua atau lebih memberi makna
kepada baris terakhir. Contoh lain Amsal 30:18,19,
Ada tiga hal yang mengherankan aku,
Bahkan, ada empat hal yang
tidak kumengerti:
Jalan rajawali di udara,
Jalan ular di atas cadas,
Jalan kapal di tengah-tengah laut,
Dan jalan seorang
laki-laki dengan seorang gadis.
Apakah maksudnya dari tiga gambaran yang konkret
pada baris pertama, kedua dan ketiga? Kita boleh mencatat tidak ada satupun di
antara rajawali, ular dan kapal yang meninggalkan jejak setelah mereka pergi.
Ketiga baris itu merupakan langkah untuk memahami hal-hal yang bastrak pada
baris terakhir. Tetapi apa itu yang tersembunyi? Untuk menjawab pertanyaan itu
kita memerlukan metode yang sama untuk mengetahui situasi yang bagaimankan yang
tersembunyi di balik teks itu.
Ø
Metode Penafsiran Sinkronis
Sebagaimana telah
disinggung di atas bahwa metode penafsiran Sinkronis ialah metode penelitian
yang hanya berkonsentrasi pada teks sebagaimana adanya. Artinya metode ini sama
sekali tidak menaruh perhatian pada
segala sesuatu yang ada di balik teks. Ada beberapa metode penafsiran
Sinkronis yang digunakan para ahli
alkitab. Misalnya, metode penafsiran Strukturalis yang memberi perhatian
terhadap struktur batin sebuah teks. Metode Naratif juga termasuk dalam
kelompok metode Sinkronis. Metode Naratif merupakan metode yang lebih memberi
perhatian kepada struktur lahiriah sebuah cerita alkitab.
Ø Metode Naratif
Walaupun metode penafsiran
Naratif baru berkembang pada beberapa dekade terakhir abad 20, tidak berarti
metode Naratif baru dikenal dalam sejarah penafsiran alkitab. Perhatian
terhadap berbagai narasi alkitab sudah dimulai oleh Gunkel pada tahun 1901. Pa
tahun tesebut Gunkel telah menulis tentang narasi-narasi yang terdapat dalam
Kitab Kejadian. Ia mengatakan bahwa narasi-narasi yang puitis itu adalah milik
yang paling indah yang manusia bawa
masuk ke dalam sejarahnya, legenda-legenda Israel terutama yang ada dalam Kitab Kejadian adalah
barangkali yang paling indah yang pernah dikenal di bumi.[10]
Sebenarnya adalah sangat beralasan apabila para ahli mengusahakan metode
penafsiran Naratif untuk memahami berbagai teks cerita alkitab. Alasan utama
adalah, karena menurut penelitian, lebih dari sepertiga bagian isi alkitab
Perjanjian Lama sendiri ditulis dalam bentuk narasi.[11]
Untuk mengembang metode
penafsiran Naratif, kita perlu memperhatikan unsur penting dalam sebuah narasi
Perjanjian Lama. Pertama, unsur yang membentuk struktur permukaan cerita: dunia
fiktif, ucapan-ucapan naratif, adegan, babak, ucapan lokutif, ucapan fungsional
dan sebagainya.
Yang dimaksudkan dengan dunia fiktif adalah tempat
certa itu terjadi. Dalam cerita Easau dan Yakub (Kej 26:23-33), dunia narasinya
adalah Bersyeba.
Ucapan naratif tampak misalnya dalam cerita Esau
dan Yakub (Kej 28:1), “Kemudian Ishak memanggil Yakub, lalu memberkati dia
serta memesankan kepadanya, katanya,’Janganlah mengambil istri dari perempuan
Kanaan.’” Fungsi ucapan naratif adalah untuk membuat suatu cerita bergerak atau
membuat teks menjadi cerita.
Adegan merupakan unsur yang mewujut dalam sejumlah
tindakan atau kejadian yang membentuk semacam berkas yang berporoskan pada
kejadian utama. Misalnya, dalam cerita Esau dan Yakub, antara lain kita temukan
dalam Kej 27:30-34, yaitu adegan yang mengisahkan percakapan antara Esau dan ayahnya Ishak
setelah Yakub berhasil mendapat berkat dari Ishak. Adegan merupakan bagian
dalam narasi yang menjelaskan suatu tindakan atau peristiwa yang terbatas.
Bagian tindakan atau peristiwa yang lebih besar
dari pada adegan adalah babak. Dalam narasi Yakub dan Esau (Kej 27:1-29) yang
menceritakan proses terjadinya pemberian berkat kepada Yakub sebagai ganti
Esau, merupakan satu dari beberapa babak peristiwa yang membentuk narasi.
Ucapan Lokutif. Ucapan Lokutif adalah ucapan-ucapan
dalam cerita yang tidak mengerakkan apa yang diceritakan. Contoh asekali lagi
kita lihat dalam narasi Esau dan Yakub (Kej 26:33). Ucapan lokutif adalah
ucapan-ucapan yang bersifat ideologis dan psikologis. “Lalu dinamainyalah sumur
itu Syeba. Sebab itu nama kota itu adalah Bersyeba, sampai sekarang (ucapan
ideologis). Sedangkan Kej 27:5, “tetapi Ribka mendengarkannya, ketika Ishak
berkata kepada Esau, anaknya “ (ucapan psikologis).
Proses pemilihan kosa kata. Dalam narasi PL
pemilihan kosa kata yang menunjuk gerakan dilakukan dengan mengagumkan.
Terlebih apabila kita menyadari tentang pentingnya peran kata kerja dalam tata
bahasa Ibrani.[12]
Langkah-langkah
analisis Naratif
Martin Sohartono, Sj,
secara panjang lebar merumuskan langkah-langkah analisis narasi secara detil
dalam Forum Biblika no. 8, 1998.
Langkah pertama adalah membatasi teks. Sebelum mengnalisis suatu kisah
terlebih dahulu kita menentukan unit-unit pokok kisah yang dimaksud. Hal ini
penting dilakukan untuk memahami dinamika kisah. Kriteria utama yang umum
dipakai adalah perubahan tempat, waktu, dan tokoh.
Membuat ringkasan kisah. Langkah ini merupakan
sinkronis yang pertama terhadap teks. Ringkasan itu harus singkat dan padat.
Ringkasan tersebut perlu didasarkan pada beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Apa yang terjadi? Siapakah tokoh-tokoh utama dalam kisah itu? Bagaimana
kejadian dimulai? Manakah momen-momen hakiki dalam dinamika kisah? Peristiwa
mana yang inti (yang tidak dapat dihilangkan) dan manakah yang sampingan yang
dapat dihilangkan? Bagaimana akhir kisah itu? Apakah perbedaan hakiki antara
yang awal dan yang akhir?
Memahami Plot (alur cerita). Sebuah cerita
memiliki alur: ada awal, perkembangan dan akhir kisah. Perlu kita membedakan
antara plot dan cerita. Cerita adalah kejadian yang lain menyusul kejadian
berikutnya. Sedangkan plot atau alur adalah, kejadian yang lain menyebabkan
kejadian berikutnya. Atau dengan perkataan lain plot atau alur adalah jalinan
peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Hubungannya dapat diwujutkan
oleh hubungan temporal atau sebab akibat. Didalam narasi, alur adalah sebuah
interelasi fungsional antara unsur-unsur narasi yang timbul dari tindak-tanduk,
karakter, suasana hati (pikiran) dan sudut pandangan. Menurut Suhartono,[13]hubungan
kausal antara episode yang satu ke episode yang lainnya tidak harus jelas;
kerap kali hubungan itu hanya dapat dipahami setelah penelitian yang mendalam
terhadap keseluruhan kisah, labih-lebih dalam narasi alkitab.
Biasanya alur ditandai oleh puncak atau klimaks
dari perbuatan dramatis dalam rentang laju narasi.[14]
Plotlah yang mengatur bagaimana tindak tanduk harus bertalian satu sama lain,
bagaimana insiden demi insiden berkaitan satu sama lainnya. Suhartono mencatat
plot/alur yang ditinjau dari beberapa sudut, seperti di bawah ini.
Tipe-tipe plot. Ada dua tipe utma plot: plot yang
merupakan kesatuan dan plot epusodik. Dalam plot yang merupakan kesatuan,
seluruh rentetan episode mempunyai arti bagi narasi dan menentukan hasil akhir;
setiap episode mengandaikan episode sebelumnya dan mempersiapkan episode
berikutnya. Plot ini dapat kita lihat dalam
narasi Rut atau pun narasi Yunus. Dalam plot yang episodik, setiap
episode berdiri sendiri yang hubungan satu dengan yang lainnya hanya karena
kesatuan tokoh utama. Tetapi ada juga yang terletak di antara kedua tipe di
atas. Kisah Abraham misalnya, sekilas merupakan plot episodik, tetapi juga bisa
dilihat benang merah yang mempersatukan
kisah-kisah itu oleh tema,”janji”.
Struktur formal Plot. Struktur formal suatu plot dapat
dirumuskan oleh pembaca dengan merangkum suatu kisah dengan sepasang kata
sederhana yang memberikan gambaran tentang hakikat kisah tersebut.
Pasangan-pasangan kata yang dimaksud sesuai dengan hasil penyelidikan
strukturalis, yaitu,perencenaan/pelaksanaan,keinginan/pemenuhan,
masalah/pemecahan,
konflik/penyelesaian,ketidakseimbangan/keseimbangan,ketidakutuhan/keutuhan,
kesulitan/jalan keluar, bahaya/bahaya dihindari, kesalahan/kesalahan dihukum.
Untuk menemukan struktur formal ini, bandingkan yang awal dan yang akhir dari
satu kisah
Macam-macam plot kesatuan. Sering dibedakan tiga
macam plot utama:perubahan pengtahuan, perubahan nilai-nilai (sikap), dan
perubahan situasi. Perubahan pengetahuan, ialah seuatu yang lain dari yang
diketahui pada awal. Perubahan sikap/nilai-nilai, sesuatu perubahan sikap dari
tokoh-tokoh dalam satu kisah. Apakah ada perubahan dari sikap yang baik ke
sikap yang jahat atau dari jahat ke baik? Perubahan situasi. Apakah situasi
berubah dari buruk ke baik atau dari baik ke buruk
Momen-momen dalam plot. Kisah bergerak dari perkembngan
(komplikasi) melalui titik balik menuju suatu penyelesaian. Dari sini para
peneliti mengmbangkan dan membuat lebih
rumit skema dasar tersebut menjadi:
- Bagian
pendahuluan dalam
suatu cerita biasanya menyajikan situasi dasar yang akan menolong pembaca
memahami adegan selanjutnya. Bagian pendahuluan ini biasanya diisi dengan
tulisan-tulisan berbentuk episode atau suatu fragmen dari kejadian. Juga
bisa diisi dengan uraian tentang suatu insiden. Yang penting ialah isi
pendahuluan harus sanggup merangsang keingintahuan pembaca dan harus mampu
meyakinkan pembaca bahwa semua tindak tanduk dalam seluruh narasi
merupakan perkembangan logis dari situasi aslinya.
- Bagian perkembangan. Bagian ini merupakan rangkaian dari
tahap-tahap yang membentuk seluruh proses narasi. Ia juga disebut batang
tubuh yang utama dari seluruh tindak tanduk para tokoh. Dalam bagian
perkembangan ini, kita menemukan adegan-adegan yang berusaha meningkatkan
ketegangan (komplikasi) yang berkembang dari situasi awal. Secara bertahap
narasi meninggalkan situasi umum dan mulai masuk ke dalam situasi konkret.
Situasi konkret ini biasanya diungkapkan dengan menceritakankan secara
terinci peranan semua unsur dalam narasi seperti perbuatan atau tindak
tanduk para tokoh yang menimbulkan konflik, baik secara terbuka mau pun
secara tertutup. Misalnya tindak tanduk para tokoh dalam cerita Esau dan
Yakub. Kita menyaksikan tindak tanduk Ribka setelah mendengar rencana
Ishak yang bermaksud memberkati Esau sebagai anak sulung; tindak tanduk
Yakub; tindak tanduk Esau; dan tindak tanduk Ishak. Konflik antara tokoh
semakin memuncak melalui perumitan masalah. Titik puncak konflik itu
mencapai puncaknya pada bagian perkembangan ini. Itulah sebabnya Suhartono
menyebut bagian perkembangan ini dengan Titik Puncak (Klimaks) dan atau
titik balik.[15] Dalam crita Yakub dan Esau kita melihat
klimaksnya ketika Esau menyatakan niatnya untuk membalas dendam terhadap
Yakub dan akal Ribka agar Yakub meninggalkan rumahnya menuju Haran. Bagian
perkembangan ini memperlihatkan suasana kausalitas atau sebab akibat yang
tidak kita temukan dalam bagian pendahuluan. Yang perlu diperhatikan dalam
kausalitas antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain adalah jalinan
satu jaringan yang logis.
Demikian juga peranan tokoh (karakter) harus
seimbang dengan fungsinya terhadap seluruh karangan. Sesuai besar kecilnya
narasi, bagian perkembangan dapat di bagi atas beberapa tahap, yaitu tahap
konflik sebagai akibat dari situasi awal yang mengandung faktor-faktor yang
meningkatkan konflik, disusul tahap yang membuat konflik itu semakin gawat, dan
akhirnya mencapai tahap puncak atau klimaks dari seluruh narasi. Titik puncak
atau klimaks ini juga dapat disebut saat yang menentukan, yaitu saat ketika
narasi mengalami pembalikan yang berarti; gerakan yang membawa ke awal
konklusi. Misalnya usaha yang akhirnya berhasil, serangan pemungkas, atau
penemuan penting. Antara saat yang menentukan ini dengan konkulsi akhir dapat
terjadi penundaan. Tujuan pentahapan ini adalah agar narasi dapat memberikan
sentuhan perasaan dan menarik perhatian pembaca sehingga pada akhirnya narasi
dapat membangkitkan respon emosional setiap pembaca.
3. Bagian penutup. Bagian ini merupakan hal
terakhir dari struktur yang berdasarkan alur (plot). Bagian ini merupakan
kesimpulan atau pemecahan.. Ketegangan terakhir dihadirkan saat pembaca mengira
bahwa akhir cerita telah tercapai, tetapi tiba-tiba muncul suatu peristiwa yang
menghambat penyelesaian, walau pun hanya untuk sementara waktu saja. Konklusi
adalah hasil hasil cerita. Namun ada pula yang membedakan antara “akhir
tertutup” dan “akhir terbuka”. Yang disebut akhir tertutup adalah akhir yang
tidak memiliki peristiwa lanjutan yang dapat dipikirkan oleh pembaca. Sedangkan
“akhir terbuka” adalah kisah yang berakhir dengan menimbulkan berbagai
pertanyaan dan tafsiran yang bisa muncul pada diri pembaca.[16] “Akhir tertutup” biasa juga disebut “akhir semu” dapat terjadi jika sang
tokoh dibunuh atau lawan dari tokoh itu yang dibunuh. Akan tetapi beberapa ahli
berpendapat bahwa “akhir tertutup” akhir semu” itu sebenarnya tidak ada. Yang
ada sebenarnya hanyalah diskusi yang menjadi pangkal persoalan baru.[17]
Karena itu pada umumnya bagian penutup ini, pencapaian akhir dari rangkaian
tindakan tetap dicapai sehingga makna yang bulat dari narasi dapat diperoleh
pembaca.
Struktur sebuah narasi
dapat juga diamati melalui perbuatan dan
tidak tanduk. Memperhatikan perbuatan dan tindak tanduk dalam struktur narasi adalah penting. Sebab
dengan memperhatikan hal-hal itu dari struktur narasi menjadi landasan utama
untuk menciptakan sifat dinamis sebuah narasi. Sebagai suatu aspek dalam
struktur, perbuatan dan tidak tanduk dapat ditinjau dari komponen-komponen
perbuatan itu sendiri mau pun dari kaitannya dengan faktor-faktor lain. Karena
itu dalam narasi, perbuatan-perbuatan harus diungkapkan secara rinci dalam
komponen-komponennya. Di samping itu, setiap perbuatan atau tindakan perlu
dijalin satu sama lain dalam suatu hubungan yang logis, walaupun pengertian
masuk akal itu bersifat relatif
Beberapa unsur lain
yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang struktur perbuatan di dalam
narasi, ialah
Unsur kausalitas.
Unsur ini memperhatikan hubungan sebab akibat
antara perbuatan sebelumnya dengan perbuatan berikutnya. Selalu ada alasan
mengapa perbuatan atau tindakan selanjutnya terjadi. Kausalitas harus berusaha
menjawab pertanyaan, “mengapa.” Suatu perbuatan atau tindakan akan menimbulkan
perbuatan atau tindakan yang lain, sehingga terjadilah rengkaian perbuatan atau
tindakan. Inilah wujud sebenarnya dari narasi.[18]
Unsur waktu.
Unsur ini dalam narasi menjelaskan bahwa tindak
tanduk dalam narasi dapat dilihat baik sebagai rangkaian adegan-adegan, tetapi
juga sebagai suatu kesatuan yang diikat oleh waktu. Sebuah narasi dimulai pada
saat tertentu dan berakhir bila ada sesuatu yang menyelesaikan peristiwanya
dalam waktu tertentu. Sehubungan dengan unsur waktu dalam narasi, maka yang
biasanya diberi penekanan adalah;
Bagaimana penulis memperlakukan urutan waktu.
Bagaimana urutan waktu sebanarnya dalam gerak waktu..
Penulis narasi beiasanya
mengatur kedua hal itu secermat mungkin agar pembaca tertarik perhatiannya
untuk membaca narasinya.
Unsur karakter (tokoh).
Istilah lain yang berhubungan karakter ialah
karakterisasi Yang dimaksudkan dengan karakterisasi adalah usaha penilis narasi
menggambarkan tokoh-tokohnya melalui tidankan-tindakan dan ucapan-ucapan para
tokoh.
Unsur konflik.
Melalui konflik atau pertikaian yang dialami oleh
karakter timbul kekuatan yang merangsang perhatian untuk melihat bagaimana
suatu situasi diselesaikan. Keterlibatan manusia menjadi pertimbangan utama
untuk mengangkat sebuah masalah dalam narasi mewujud dalam tiga hal yaitu
konflik pertarungan melawan alam; melawan manusia dan konflik dalam diri
sendiri/konflik batin. Contoh konflik melawan alam, adalah pertarungan seorang
pelaut melawan keganasan ombak yang mempora-porandakan perahu tempat ia
menggantungkan nyawanya, atau perjuangan yang gigih seorang petani untuk mempetahankan
hidupnya di atas tanah yang gersang. Konflik antar manusia atau antar kelompok atau antar negara timbul
dalam bentuk pertiakaian, permusuhan, peperangan, penipuan, penghinaan,
penolakan dan segala bentuk rekasi yang timbul dari hal-hal itu. Konflik batin,
adalah pertarungan individual melawan dirinya sendiri. Keadaan ini biasanya
dikisahkan di dalam narasi melalui penekanan tentang kekuatan-kekuatan yang
saling bertentangan dalam batin seseorang, keberanian melawan ketakutan,
kejujuran melawan kecurangan, kekikiran melawan
kedermawan dan sebagainya. Pada umumnya dalam narasi ada posisi kekuatan
yang menimbulkan ketegangan dan krisis yang mendalam.[19]
Struktur narasi dapat pula
dilihat berdasarkan tiga lapisan
struktur cerita yaitu, struktur permukaan cerita,struktur mendalam/mendasar dan
struktur mendalam universal.
Struktur permukaan cerita. Yang dimaksudkan dengan struktur permukaan
cerita adalah unsur-unsur bahasa material yang dengan cara tertentu dihubungkan
satu sama lain, sehingga membentuk suatu kesatuan literer teratur. Beberapa hal
yang perlu dicatat dalam mengenal struktur permukaan adalah sebagai berikut.
Dunia di mana cerita itu berlangsung. Dalam suatu
cerita, penulis cerita menyajikan suatu dunia fiksi yaitu dunia rekaan yang direkonstruksi
penulis sendiri. Di dalam dunia rekaan ini unsur-unsur beperan sendiri-sendiri
dalam keseluruhan. Misalnya unsur ucapan melakukan perannya tetapi tetap berada
dalam kesatuan dengan unsur-unsur lain di dalam dunia rekaan.
Unsur-unsur yang membentuk struktur permukaan cerita
adalah sebagai berikut.
Ø Unsur-unsur ucapan, yaitu ucapan-ucapan yang menunjuk awal
dan akhir cerita. Dalam menganalisis narasi harus terlebih dahulu menentukan
dimana awal cerita dan di mana akhir cerita.
Ø Ucapan-ucapan naratif, yaitu kesatuan bahasa yang menunjuk
unsur-unsur yang membuat cerita menjadi dinamis serta mempunyai dinamika.
Adegan, yaitu sejumlah tindakan/kejadian yang membentuk sebuah berkas yang
berporoskan pada tindakan/kejadian utama yang dikitari oleh kejadian-kejadian
lain.
Babak, yaitu sejumlah adegan yang berkaitan satu sama lain baik sebagai
sebab dan akibat, paralel mau pun susul menyusul. Adegan itu terdiri dari atas
tiga langkah, yaitu, awal, tengah dan akhir.
Ø Ucapan lokutif, ucapan-ucapan yang bersifat ideologis atau
psikologis, sehingga tidak membuat cerita dinamis (lihat catatan di atas).
Ø Ucapan funsional, yaitu ucapan yang menunjuk bagaimana kesatuan
bahasa dalam cerita dihubungkan satu sama lain. Menurut Sientje Marentek,
ucapan fungsional itu terdiri atas ucapan kenektor dan Circustantes. Konektor
adalah ucapan atau kata yang menunjuk bagaimana kesatuan literer dalam cerita
dihubungkan satu sama lain. Sedangkan circumstantes adalah ucapan atau
kata-kata yang menunjuk kepada hal-hal yang tidak mempunyai otonomi tetapi
tetap bersangkutan dengan pemeran dalam cerita serta
tindakan/perbuatan/kejadian yang ditujukkan. Yang termasuk dalam circumstantes
adalah petunjuk temporal yaitu unsur yang menunjuk waktu cerita mau pun waktu
yang diceritakan. Waktu cerita adalah waktu yang meliputi seluruh cerita, satu
atau dua tahun, hari Senin sampai hari Kamis. Di samping itu termasuk juga
petunjuk lokal, yaitu tempat yang ditunjuk oleh cerita seperti di rumah, di
kota dan sebagainya. Tetapi juga termasuk di dalamnya petunjuk-petunjuk “cara”
(modus) yaitu ucapan-ucapan dalam cerita yang lebih lanjut mengkualifikasikan
pemeran atau tindakan yang digelarkan. Karena itu dikenal pelaku utama atau
figur utama di dalam sebuah narasi.[20]
Struktur mendalam/mendasar cerita.
Yang dimaksudkan dengan struktur ini ialah,keteraturan yang ada di belakang
teks cerita. Biasanya struktur mendalam/mendasar ini mengendalikan penulis atau
pembaca sehingga cerita yang ditulis dan dibaca itu dapat menjadi sarana
komunikasi. Struktur mendalam berlaku umum dalam sistem bahasa, tetapi tidak berlaku untuk bahasa yang
berbeda adalah struktur mendalam dalam rangka sistem bahasa tertentu.
struktur bahasa yang berlaku umum untuk sistem bahasa dan berlaku umum
untuk semua bahasa.
Struktur a adalah struktur
mendalam dalam rangka sistem bahasa tertentu. Struktur ini menjadi sarana yang
disediakan oleh setiap sistem bahasa guna menciptakan suatu karya literer.
Srtutur itu dapat diistilahkan sebagai paradigmatik dan syntagmatik.[21]Sedangkan
struktur b adalah struktur mendalam yang universal yang meliputi semua sistem
bahasa dan berlaku untuk semua manusia dan semua zaman.[22]
Struktur mendalam adalah unsur yang sangat berguna dan memungkinkan terjemahan
dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain serta memungkinkan sebuah
cerita dari masa lampau masih berarti dan bermakna. Di dalam narasi, struktur
mendalam universal mencakup semua unsur abstrak yang dikonkritkan dalam karya
berupa cerita. Hal itu ditemuai di belakang semua cerita apapun coraknya.
Setiap bahasa mempunyai sarana sendiri untuk mewujudkan struktur dasar dan
mendalam itu yang tetap sama pada setiap bahasa.
Unsur-unsur yang merupakan
struktur mendalam universal adalah sebagai berikut:
Ø Plot
Ø Konfigurasi
Ø Transformasi dan Sequenz
Ø Aktant atau pemeran Abstrak
Peranan dan Fungsi Narasi di
dalam Hidup Bermasyarakat
Ø Narasi sebanarnya tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia. Bahkan hidup itu sendiri adalah cerita. Setiap orang
menginginkan cerita dari orang lainnya tentang sesuatu. Peranan dan fungsi narasi
dapat dicatat sebagaimana dirinci oleh Sientje Marentek[23]
Ø Narasi membangkitkan kesenangan dan
sukacita. Dalam saat-saat senggang atau pun menjelang tidur, cerita memberikan
sumbangan yang sanagat berarti untuk mengembalikan tenaga dan semangat. Dengan
cerita atau membaca narasi yang menarik serta mengesankan, seorang mendengar
atau membaca, memperoleh kesenangan dan sukacita.
Ø Narasi membangkitkan imajinasi. Tidak
dapat disangkal bahwa seorang pendengar atau pembaca cerita memperoleh
imajinasi dari suatu narasi. Melalui sebuah narasi imajinasi seseorang dapat
didorong untuk membayangkan dunia ciptaan seorang pengarang. Dengan demikian
pesan yang ada di belakang peristiwa yang diceritakan, menjadi masukan yang
berharga bagi daya nalar bahkan bagi kehidupan pendengar atau pembaca tersebut.
Ø Narasi sebagai sarana komunikasi. Narasi
adalah sarana komunikasi, sebab narasi mempertemukan beberapa unsur, yaitu,
pencerita, pesan, penerima pesan dan sarana. Narasi juga dapat mempertemukan
dunia fiktif (dunia yang direka oleh narator) dengan dunia nyata (dunia
penerima pesan). Tujuan komunikasi dapat berupa pemberian informasi dan
pemberian sugesti. Dengan komunikasi
informatif, pencerita mau mengugah pikiran pembaca agar mengetahui apa yang
dikisahkan. Sedangkan melalui komunikasi sugestif, narator berusaha memberikan
sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya.
Ø Narasi sebagai sarana pendidikan. Narasi
merupakan salah satu sarana yang efektif untuk pendidikan dalam keluarga mau
pun dalam lebaga-lembaga pendidikan formal atau pun non formal serta dalam
masyarakat. Dengan membaca atau mendengar narasi seseorang dapat belajar
memperbaiki dirinya dari figur-figur tertentu dalam sebuah cerita. Kita
mengingat apa yang kita pelajari dari cerita Abraham, Musa, Ishak, Daud,
Salomo, d.l.l. Kita ingat juga bagaimana kita suka mendengar cerita-cerita
dongeng dari orang tua waktu kecil
Ø Narasi sebagai sarana Protes sosial. Kita
ingat cerita nabi Natan yang memprotes sikap Daud terhadap istri Uria. Kita ingat
cerita Nuh dan keluarganya yang memprotes sikap bangsa Israel terhadap penduduk
Kanaan yang menjadi budak, karena penaklukkan.
Ø Narasi sebagai sarana yang membangun
pengertian dan pemahaman baru.Sifat narasi antara lain adalah sederhana dan
mudah dicerna. Di samping itu narasi juga tidak berkesan menggurui atau
mengindoktrinasi. Melalui narasi seseorang tidak dipaksa untuk menerima,
sebaliknya diundang untuk mengembangkan sesatu. Narasi tidak memutlakkan suatu
kebenaran yang harus diterima. Pendekatan cerita selalu mempunyai nada
mengusulkan atau menawarkan dalam hal ini pendekatan narasi sangat dekat dengan
pendekatan diakronis yang tidak pernah memutlakkan sutau kebenaran, melainkan
memungkin orang menentukan pilihan. Berbeda dengan dogma yang harus diterima
dan sering menyebabkan orang menjadi pasif dan tidak mengerti walaupun harus
menerimanya.
Ø Narasi sebagai cermin diri. Narasi adalah
sebuah cermin bagi pendengar atau pembaca mengidentifikasikan diri dengan para
pelaku utama dalam suatu narasi. Pelaku utama dapat menjadi gambaran yang
diharapkan oleh pendengar dan pembaca. Jika mereka mengenal apa yang diinginkan
dan yang tidak diinginkan di dalam suatu cerita, maka mereka dapat dipimpin untuk mengenal
ciri-ciri yang sama di dalam diri mereka. Untuk hal ini kita pelajari dari
berbagai cerita alkitab atau cerita apapun termasuk yang bersifat sekuler,
misal novel, legenda dan sebagainya.
Ø Narasi sebagai ungkapan pengalaman
mendalam manusia. Betapapun sederhananya sebuah cerita, narasi mencerminkan
pengalaman manusia yang mendalam. Karena itu, relevansi dan nilai narasi sangat
besar bagi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, mau pun dalam hubungan antar
manusia, alam, dan Khalik. Dalam pemahaman inilah kita dapat mengerti bahwa
narasi juga adalah sarana pengungkapan iman. Sebab melalui narasi pengalaman
yang dalam yang dialami oleh manusia baik secara pribadi, dalam masyarakat
maupun dalam hubungan dengan alam dan Kahalik dapat diungkapkan (Ingat
cerita-cerita alkitab).
Struktur
Narasi dalam Perjanjian Lama
Narasi dalam Perjanjian
Lama memang ada banyak bentuk. Misalnya, ada berbentuk Saga. Saga dalam PL
adalah suatu narasi tradisional yang panjang dan berbentuk prosa. Narasi dalam
bentuk ini dibangun di sekitar tema atau objek tertentu. Narasi seperti ini
menceritakan perbuatan dan kebajikan seseorang pada masa lampau untuk dijadikan
sumbangan kepada dunia narator. Ada yang berbentuk Hikayat; yaitu narasi pendek yang dicirikan oleh
sejumlah kecil karakter. Adegan dalam hikayat berbentuk tunggal dan isi ceritanya
sederhana. Contohnya: Kej 2-3:24 (kisah penciptaan manusia serta kejatuhannya).
Kain dan Habil termasuk dalam kategori hikayat (Kej 4:1-16).
Bentuk narasi yang lain
ialah novel. Novel adalah narasi yang mengisahkan suatu perkembangan dari pokok
ketegangan yang terjadi, menuju suatu akhir yang berupa pemecahan masalah.
Susunan karakternya lebih kompleks, berbeda dari saga yang berkarakter tunggal.
Penulis novel kadang-kadang memberikan sentuhan khusus di dalam tulisannya agar
lebih menarik perhatian pembacanya. Sentuhan itu adakalanya berbentuk humor;
misalnya novel Abraham-Lot). Sedangkan novel yang diberi sentuhan teologis,
misalnya, novel hamba Abraham; dan sentuhan yang berhubungan dengan masalah
keluarga dan masyarakat, misalnya, novel Yusuf.
Bentuk berikutnya adalah
legenda. Legenda adalah sejenis narasi yang menyajikan kisah tentang
kepahlawanan atau kesalehan seseorang, misalnya Kej 22 (yang menceritakan
kesalehan dan kesetiaan Abraham kepada Allah yang siap mempersembahkan anaknya,
Ishak).
Di samping bentuk-bentuk
narasi di atas, ada lagi narasi yang bersifat sejarah. Yang dimaksudkan adalah
kisah-kisah sejarah masa lampau. Cerita
sejarah diceritakan sesuai dengan apa yang dimengerti penulis. Contohnya antara
lain kisah-kisah dalam Kitab Tawarikh. Ada juga bentuk fabel, yaitu narasi yang
mengisahkan suatu dunia fantasi dengan figur khas berupa manusia, binatang atau
pun tumbuh-tumbuhan. Sifat susunan narasinya
biasanya statis. Contohnya, cerita mengenai Bileam dan keledainya (Bil
22:22-23)
Bentuk cerita yang lain
yang juga sangat penting ialah bentuk narasi Mite. Jenis narasi ini mempunyai
pengertian yang luas. Namun kita perlu membatasi diri pada pengertian narasi saja. Dalam pengertian
narasi mite adalah kisah yang menuturkan tentang suatu dunia nun di atas
khayalan. Tujuan penulisan mite adalah untuk memberi petunjuk kepada pembaca di
dalam dunianya yang nyata dengan menjelaskan hal-hal yang dijalani dan yang
dilakukan oleh yang dipercaya di dalam dunia mereka yang ilahi, misalnya kisah-kisah
dalam Kej 1-11.
Struktur
Narasi dalam Perjanjian Lama
Dalam penjelasan di atas
sudah tampak kepada kita bahwa narasi dalam PL terdiri dari banyak bentuk
dengan coraknya masing-masing. Karena itu tulisan ini tidak bermaksud
memaparkan semua struktur berdasarkan pada masing-masing jenis narasi. Hal
yang perlu kita garisbawahi antara lain,
bahwa unsur-unsur struktur narasi dalam sastra umum dapat dijumpai dalam narasi
yang ditemui dalam Perjanjian Lama.
Dalam hubungan dengan
perhatian kita terhadap struktur narasi dalam PL, kita menaruh perhatian pada
contoh yang diuraikan oleh Sientje Marentek.[24] Sientje Marentek memberikan contoh dari kisah
Yakub dan Esau (Kej 25-36). Apabila kita memperhatikan struktur narasi para
leluhur, maka kita akan menjumpai unsur-unsur struktur yang terdapat dalam
narasi umum. Narasi para leluhur diawali oleh sebuah pendahuluan, menyusul
bagian perkembangan dan ada bagian yang mengakhiri (penutup) narasi itu.
Narasi Yakub dan Esau pun
dibangun atas struktur seperti itu. Bagian pendahuluan dari cerita Esau dan
Yakub adalah kisah tentang Ishak dengan Ribka, istrinya yang mandul, namun,
karena pertolongan Tuhan, ia melahirkan anak kembar yang dinubuatkan bahwa anak
yang tua, Esau, menjadi hamba dari anak yang muda, Yakub. Pendahuluan dari
cerita Esau dan Yakub (pasal 25-28) mengandung unsur yang mencirikan
kesinambungan peristiwa dengan narasi-narasi sebelumnya. Kesinambungan
peristiwa itu menjadi alasan sebab akibat bagi bagian perkembangan (Kej 29-31)
yang berkisah tentang ketegangan yang terjadi antara Yakub dan Esau setelah
Yakub memperoleh hak kesulungan dengan menukarkan hak itu dengan bubur kacang
merah, lalu selanjutnya merampas berkat Esau. Bagian perkembangan menjadi klimaks yang menarik untuk mempersiapkan
pembaca menuju akhir (penutup) di dalam pasal 32-35. Pasal-pasal ini berkisah
tentang pertemuan kembali Yakub dengan Esau serta riwayat tentang keturunan
masing-masing.
Memperhatikan struktur
narasi Esau dan Yakub berdasarkan struktur perbuatan, akan dijumpai bahwa
narasi dibangun dan diikat oleh
unsur-unsur tokoh, aksi, karakter, konflik, waktu serta makna yang terikat
secara berkesinambungan satu dengan yang lain. Ada tokoh-tokoh yang perannya
saling berhubungan: Ishak sebagai suami dan ayah, yang sudah tua; Ribka sebagai
istri dan ibu; Esau sebagai anak tertua serta Yakub sebagai anak yang bungsu.
Dalam perkembangan selanjutnya , anak yang bungsu itulah yang lebih berkuasa
dari pada abangnya.
Unsur aksi kelihatan dalam
tindakan Ishak yang menyuruh Esau untuk berburu dan mempersiapkan makanan
baginya agar Ishak dapat memberkati Esau. Kemudian kita melihat aksi Ribka yang
menyuruh Yakub mempersiapkan makanan bagi Ishak agar Yakublah yang diberkati
Ishak. Aksi-aksi dari tokoh-tokoh itu turut menopang struktur perbuatan dari
narasi itu. Begitupun tindakan-tindakan Yakub dan Esau selanjutnya, turut
menopang struktur perbuatan narasi tersebut.
Unsur karakter yang
berbeda dari masing-masing tokoh narasi (Ishak yang tua, Ribka yang ambisius,
Esau yang acuh, Yakub yang licik dan ulet, Laban yang licik), tetapi yang
berkaitan satu sama lainnya memperkuat struktur narasi ini. Demikianpun unsur
konflik antara Esau dan Yakub, Yakub dan Laban, menjelaskan struktur yang dapat
ditinjau dalam narasi ini.
Unsur waktu dan makna yang
dapat dikemukakan untuk melihat struktur narasi ini, bersama-sama unsur lainnya
telah menolong pembaca memperoleh pesan dari narasi ini.
Struktur
Narasi dilihat berdasarkan struktur permukaan cerita serta struktur mendalam
pada narasi.
Pertama unsur yang
membentuk struktur permukaan narasi:dunia fiktif, ucapan-ucapan naratif,
adegan, babak, ucapan lokutif, ucapan fungsional dan sebagainya. Cara ini kita
bisa temukan juga dalam cerita Yakub dan Esau. Sama seperti narasi pada
umumnya, maka dunia narasi dalam cerita Yakub dan Esau adalah di Bersyeba (Kej
26:23-33).
Sedangkan ucapan naratif
tampak antara lain dalam Kej 28:1,”Kemudian Ishak memanggil Yakub, lalu
memberkati dia serta memesankan kepadanya, katanya,’ Janganlah mengambil istri
dari perempuan Kanaan.’” Ucapan naratif ini telah membuat narasi ini menjadi
sebuah cerita.[25]
Sementara unsur adegan
kita temukan dalam ayat 30-34, yaitu adegan yang mengisahkan percakapan antara
Esau dan ayahnya, Ishak setelah Yakub berhasil mendapat berkat dari Ishak.
Sedangkan unsur babak kita temukan dalam Kej 27:1-29 yang mengisahkan proses
terjadinya pemberian berkat kepada Yakub sebagai ganti Esau. Bagian ini
merupakan salah satu babak dari cerita Yakub dan Esau yang panjang itu.
Ucapan Lokutif yang
terdiri dari ucapan ideologis dan psikologis terdapat antara lain dalam Kej
26:33, “Lalu dinamainyalah sumur itu Syeba. Sebab itu nama kota itu adalah
Bersyeba, sampai sekarang” (ucapan ideologis). Sedangkan ucapan psikologis
adalah Kej 27:5, “Tetapi Ribka mendengarkannya, ketika Ishak berkata kepada
Esau, anaknya.” Sementara ucapan fungsional, adalah ucapan yang menjelaskan
begaimana kesatuan bahasa dalam cerita dihubungkan satu sama lain, misalnya,
Kej 30:29b, “Demikianlah ia bekerja pula pada Laban tujuh tahun lagi”.
Kedua untuk struktur
mendalam/mendasar yang universal perlu diperhatikan unsur-unsur yang
membentuknya yaitu, plot/alur, konfigurasi, transformasi, aktant,
intelligibilitas serta tingkat pengetahuan yang berbeda. Plot sama dengan alur
(lihat catatan sebelumnya).
Konfigurasi, tampak dalam
keteraturan naik turunnya jalan cerita sejak awal sampai akhir. Hal ini dapat
ditentukan dalam narasi antara lain melalui penentuan peran masing-masing tokoh
dan caranya tokoh-tokoh itu memainkan peranannya. Dalam cerita Yakub dan Esau
peran Ribka harus diletakkan pada bagian awal, sebab tanpa pemberitahuan dari
Ribka, Yakub tidak mengetahui bahwa Ishak ayahnya akan memberkati Esau. Apabila
peran Ribka ditempatkan pada bagian akhir, maka narasi tidak akan berjalan sesuai
skema yang dirancangkan.
Transformasi adalah proses
menggarap, memilih dan menggabungkan tindakan satu sama lain dalam narasi.
Transformasi terbentuk melalui kata kerja yang implisit dan eksplisit untuk
mengungkapkan keadaan. Dalam narasi Yakub dan Esau, trasformasi itu jelas,
umpamanya dalam kalimat-kalimat, “Yakubpun melayangkan pandangnya, lalu
dilihatnyalah Esau datang dengan didiringi
oleh empat ratus orang. Maka diserahkannyalah sebagian dari anak-anak
itu kepada Lea dan sebagian kepada Rahel serta kepada kedua budak perempuan itu
…….. (Kej 33:1-4).” Dalam kalimat-kalimat ini tampak dengan jelas proses
penggabungan tindakan melalui beberapa kata kerja yang implisit dan eksplisit
(melayangkan, dilihat, diserahkan, menempatkan, berjalan, berlari mendapatkan,
didekap, dipeluk lehernya, bertangis-tangisan) sehingga suasana cemas yang
kemudian berubah menjadi membahagiakan dan mengharukan tergambar dengan jelas.
Unsur aktant (pemeran
abstrak) seperti tokoh pahlawan sebagai subjek Yakub; lawan, Esau; adyuvan/pembantu,
Rahel, Lea, hamba-hamba perempuan, dan anak-anak
Unsur Intelligibilitas,
adalah unsur yang menyebabkan cerita dapat dipahami maknanya sehubungan dengan
maksud, acuan serta realitas. Dalan narasi Yakub dan Esau, intteligibilitas
kita temukan di belakang narasi ketika makna narsai yang antara lain
menggarisbawahi tentang persaudaraan yang rukun dan kompak yang tidak dapat
dihalangi dengan begitu saja oleh intrik-intrik jahat manusia.
Tingkat pengetahuan yang
berbeda-beda dari pecipta cerita dan pemeran sebagai unsur yang tersembunyi di
belakang narasi, tetapi yang turut mengendalikan jalannya cerita merupakan
insur yang kuat dalam narasi Yakub dan Esau. Pengarang narasi memahami dengan
jelas acuan, maksud, realitas serta tujuan narasi, tetapi para pemeran pasti
tidak mengetahui peranan mereka. Perbedaan tingkat pengetahuan ini sangat
penting, sebab dengan demikian, situasi khusus yang menarik seperti situasi
yang dihadapi Ishak yang tidak megetahui bahwa Yakublah yang datang kepadanya
untuk diberkati, tercipta dalam narasi. Demikianpun situasi yang dihadapi Yakub
yang cemas bertemu Esau. Pdahal Esau datang menjumpainya dengan perdamaian
tampak jelas dalam narasi.
Struktur/Kiasmus cerita Hana dan Penina
Ayat 1, Elkana (bagian pendahuluan)
2-3, Hana dan peninia
dengan keadaan masing (awal perkembangan)
4-5, ketegangan antara Hana dan penina
dimulai (menuju klimaks)
6-8, ketegangan memuncak (Penina
menyakiti Hana, Hana menangis)
9-14, tampak Hana mengalami krisis
yang mendalam (tampak dalam sikap
doa dan nazarnya (klimaks)
15-16, ketegangan Han mulai reda
(peralihan menuju pemecahan masalah)
17-18, Hana mulai menemukan ketenangan
(proses pemecahan)
19-20, Masalah yang menyebabkan ketegangan
dan Hana mengalami krisis
terpecahkan (menemukan jalan
keluar)
21-27, happy ending
28, nazar dipenuhi (penutup)
[1] Andrew D.H. Mayes,
“Sociology and the Old Testament”, The Wold of Ancient Israel (Editor,
R.E. Clements, Cambridge ,
University, 1993, hlm. 39-41.
[2] Lihat, Martin Harun, Forum Biblika, No. 8, 1998, hlm. 79.
[3] Bruce J. Malina, New Testament, Insights from Cultural
Anthropology, London ,
SCM, 1983.
[4] Andrew D.H. Mayes, hlm. 44,45
[5] Andrew D.H. Mayes, hlm.48,49.
[6] Georg Fohrer, History of Israelite Religion, New York , Abingdon, 1972.
[7] Robert Wilson, Sociological Approaches to the Old Testament, Philadelphia , Fortress,
1983.
[8] Norman K. Gottwald, The Tribes of Yahweh, Marryknoll, Orbis Books,
1985 (916 hlm).
[9] Bruce J. Malina, The New Testament World, insight from Cultural
Anthropology, London, SCM, 1983, hlm. Iii.
[10] Herman Gunkel seperti dikutip R.N. Whybray, on Robert’s The Art of
Biblical Narative, JSTO, 27, 1983, hlm. 75.
[11] Simon Bar-Efrat, Narative Art in the Bible, Sheffield ,
Almond, 1989, hlm. 9.
[12] Lihay John Markus and Virgil M. Rogers, A Beginner’s Hanbook to
Biblical Hebrew, Nashville ,
Abingdon, 1955, hlm. 20
[13] Suhartono, Forum Biblica, no. 8, 1998, hlm. 58.
[14] Gorys Keraf, Argumentasi dan
Narasi, Jakarta, Gramedia, 1982, hlm. 146. Secara fungsi, alur merupakan
kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah.
[15] Op.cit. hlm 59.
[16] Ibit.
[17] Gorys, Op.cit. hlm. 154.
[18] Ibit. Hlm. 161.
[19] Sebagian bahan ini disaur dari Disertasi Doktor Teologi, Ervin
Sientje Marentek-Abraham, STT Jakarta, Jakarta ,
1995, halaman-halaman awal.
[20] Sientje Marentek , Ibit, hlm. 48,49.
[21] C. Groenen, Analisis Naratif Kisah Sengsara (Yoh 18-19, Yogyakarta ,
Kanisius, 1993, hlm.33,34.
[22] Ibid. hlm. 36.
[23] Op.Cit. hlm. 53-64.
[24] Ibid. hlm. 73-79.
[25] Lihat Groenen, Op.Cit. hlm. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar